Keturunan Sunda juga Menjadi Raja di Majapahit




AKIBAT psikologis dari peristiwa Bubat yang seperti sengaja ditutupi itu, sampai sekarang menjadikan masyarakat Sunda secara umum memiliki asumsi bahwa dalam peristiwa Bubat itu Raja Sunda beserta seluruh rombongannya gugur tak bersisa. Timbulnya asumsi semacam itu dapat dipahami karena sejak pecahnya peristiwa memilukan tersebut hubungan Majapahit dengan Sunda dapat dikatakan terputus.
Apa yang terjadi di Majapahit tidak banyak diketahui pihak Sunda, demikian sebaliknya. Namun di balik semua asumsi tentang habis tanpa sisanya rombongan Sunda dalam peristiwa Bubat, perlu dilakukan penelitian untuk memperjelas apakah asumsi tersebut memiliki dasar yang bisa dibenarkan secara historis.Lepas dari benar dan tidaknya asumsi-asumsi seputar habisnya, rombongan Raja Sunda dalam peristiwa Bubat, di tengah masyarakat Jawa berkembang cerita-cerita lisan dan catatan historiografi -yang disertai silsilah genealogi keluarga-keluarga bangsawan keturunan Majapahit yang mengaitkan genealogi sejumlah keluarga feodal Jawa dengan orang-orang Sunda yang terlibat dalam peristiwa Bubat.
Cerita-cerita itu berkembang secara turun-temurun di dalam kelu-arga-keluarga yang memiliki hubungan dengan raja-raja Majapahit akhir, terutama keturunan Sri Prabu Kertawijaya (Maharaja Majapahit 1447-1451) yang masyhur dikenal dengan nama Prabu Brawijaya V.Dalam naskah "Tedhak Poe-sponegaran" (catatan silsilah genealogis keturunan Kyai Tumenggung Poespanegara, Bupati Gresik pertama, 1688-1696) diperoleh penjelasan bahwa Kiai Tumenggung Poespanegara adalah keturunan kesepuluh Maharaja Majapahit Sri Prabu Kertawijaya.
Dijelaskan dalam naskah tersebut bahwa Sri Prabu Kertawijaya adalah putra Prabu Brawijaya IV Sri Prabu Wikramawardhana dari seorang selir putri Sunda bernama Citraresmi. Dari perkawinan itu lahir Ratu Puteri Suhita dan adiknya Dyah Kertawijaya yang kelak menjadi Sri Prabu Kertawijaya. Tidak ada penjelasan tentang siapa putri Sunda bernama Citraresmi itu kecuali cerita lisan keluarga bahwa putri yang menjadi leluhur keturunan Sri Prabu Kertawijaya itu adalah putri seorang Sunda bernama Sutraja. Senapati Sutraja yang dikisahkan gugur dalam peristiwa Bubat, rupanya meninggalkan seorang istri yang mengandung yang dijadikan abdi oleh Bhre Paguhan Singhawardhana, ayahanda dari Prabu Wikramawardhana.
Meski tidak ada catatan resmi tentang selir Prabu Wikramawardhana bernama Citraresmi yang melahirkan Ratu Stri Suhita dan Sri Kertawijaya, yang pasti nama Citraresmi, Suhita, dan Kertawijaya bukanlah nama yang lazim digunakan di Jawa pada masa Majapahit maupun masa sesudahnya.Sumber lain yang berhubungan dengan orang-orang Sunda yang terkait peristiwa Bubat adalah silsilah genealogi keturunan Aria Damar Adipati Palembang. Dalam semua historiografi Jawa, disebutkan bahwa Aria Damar adalah putra Sri Prabu Kertawijaya dengan seorang perempuan bernama Endang Sasmitapura. Aria Damar dibesarkan oleh ibu dan uwaknya, Ki Kumbarawa di pertapaan Wanasalam (nama hutan di selatan Majapahit). Selama menjalankan tugas sebagai panglima perang Majapahit, Aria Damar dikisahkan memiliki empat istri. Dari istri bernama Sagung Ayu Tabanan lahir putra bernama Arya Jasan yang menurunkan raja-raja Tabanan di Bali.
Dari istri bernama Wanita lahir putra bernama Arya Menak Sunaya yang menurunkan raja-raja Madura. Dari istri bernama Nyi Sahilan lahir putra bernama Raden Sahun Pangeran Pandanarang yang menurunkan Semarang dan Sunan Tembayat. Dari istri Cina bernama Retno Subanci lahir putra bernama Raden Kusen yang setelah dewasa menjadi Adipati Terung yang menurunkan bupati-bupati di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.Dalam silsilah genealogi keturunan Aria Damar diperoleh penjelasan tentang kakek Aria Damar dari pihak ibu, yang bernama Kaki Palupa. Siapakah Kaki Palupa? Dalam cerita lisan dituturkan bahwa Kaki Palupa adalah seorang kepala prajurit Sunda yang selamat dari peristiwa pembunuhan Bubat karena memiliki ilmu bhairawa.
Kaki Palupa dikisahkan tinggal di hutan Wanasalam dan mendirikan pertapaan di sana. Dari pernikahan Kaki Palupa dengan Nyi Palupuy, lahir Ki Kumbarawa dan Endang Sasmitapura. Lepas dari benar dan tidaknya kisah tersebut dengan fakta sejarah, yang pasti nama Palupa, Palupuy, Kumbarawa, dan Endang Sasmitapura bukanlah nama yang lazim digunakan di Jawa pada masa Majapahit maupun masa sesudahnya.BERDASARKAN uraian singkat di atas, dapat ditarik sejumlah simpulan dari cerita yang berkaitan dengan peristiwa Bubat yang berhubungan dengan pelacakan jejak sejarah atas peristiwa tragis tersebut.Pertama, dalam peristiwa Bubat tidak semua pengiring Raja Sunda yang digelari nama anumerta Sri Maharaja Linggabhuwana Sang Mokteng Bubat tersebut, gugur. Sebagian mereka tinggal bersama keluarga raja Majapahit dan keluarga-keluarga keturunan Sunda yang tinggal di Majapahit semenjak masa Sri Kertarajasa -Raden Wijaya atau Jaka Sesuruh yang berasal dari Kerajaan Sunda- merintis berdirinya Kerajaan Majapahit.
Kedua, dengan naik tahtanya Prabu Stri Suhita (Maharani Majapahit 1427 -1447) yang diteruskan Sri Prabu Kertawijaya (Maharaja Majapahit 1447-1451), tahta Majapahit yang ditegakkan orang Sunda bernama Raden Wijaya atau Jaka Sesuruh, kembali diduduki oleh raja-raja keturunan Sunda.Fakta historis terkait sisa peninggalan Prabu Stri Suhita yang ter-abadikan dalam wujud kompleks Candi Sukuh di kaki Gunung Lawu dan peninggalan Sri Prabu Kertawijaya dalam wujud kompleks Candi Cetho, menunjukkan ciri aneh yang sangat berbeda dengan candi-candi peninggalan Majapahit lain, baik dalam hal susunan, struktur, ragam hias, simbol-simbol ikonografis, jenis cerita relief, bahkan pantheon dewa-dewa yang justru menunjukkan kemiripan dengan arca Sanghyang Dengdek di Gunung Pu-lasari Banten, arca Caringin, arca Gunung Raksa, dan arca Pulau Panaitan.
Bernet Kempers (1959), Soek-mono (1973) dan Nigel Bullough (1995) yang tidak cukup mengetahui bahwa Suhita dan Kertawijaya berdarah Sunda, menyikapi keanehan yang terdapat pada Candi Sukuh dan Candi Cetho dengan simpulan bahwa pada era kedua maharaja kakak beradik itu, terdapat tanda-tanda kebangkitan kembali anasir animisme lama berupa pemujaan arwah leluhur.Ketiga, di antara puluhan silsilah genealogi yang dimiliki keluarga-keluarga bangsawan Jawa yang mengaku keturunan Majapahit, semuanya bertemu pada tokoh historis Sri Prabu Kertawijaya atau Brawijaya V, yang dalam sejumlah versi digambarkan memiliki 24 orang istri dan 117 orang putra dan putri.
Itu dapat disimpulkan, ibarat pepatah "mati satu tumbuh seribu", gugurnya Maharaja Sunda beserta rombongan dalam peristiwa Bubat, tidaklah melenyapkan sama sekali pengaruh Sunda di Majapahit, melainkan malah memunculkan Maharaja-maharaja Majapahit berdarah Sunda seperti Prabu Stri Suhita, Sri Prabu Kertawijaya beserta putra-putra dan cucu-cucunya seperti Bhre Wengker Hyang Pur-wawisesa (1456-1466), Bhre Pandan Salas (1466-1468), Sri Prabu Singha Wikramawarddhana (1468-1474), Sri Prabu Natha Girindrawarddhana (1478-1486).Bahkan, saat tahta Majapahit jatuh ke tangan Bhre Wijaya yang muncul dari garis keturunan Bhre Pamotan Sang Sinagara, kekuasaan Majapahit diakhiri oleh serangan yang dilakukan oleh putra dan cucu Sri Prabu Kertawijaya yang berkuasa di Demak Raden Patah dan Sultan Trenggana. (Agus Sunyoto).

Leave a respond

Posting Komentar