PENELITIAN ARCA-ARCA DI CIAMIS KAITANNYA DENGAN RAGAM PENGARCAAN
Endang Widyastuti
Abstract
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kawasan Ciamis banyak mengandung potensi arkeologis. Tinggalan-tinggalan tersebut meliputi kurun waktu yang cukup panjang, yaitu dari masa prasejarah sampai masa pengaruh Islam. Berdasarkan beberapa penelitian tercatat bahwa situs prasejarah di kawasan Ciamis berada di beberapa aliran sungai yang terdapat di daerah tersebut, di antaranya yaitu Sungai Cipasang dan Sungai Cisanca (Agus, 1994: 4; 1998/1999; Yondri, 1999: 4). Situs yang berasal dari masa Klasik di antaranya tercatat situs Karangkamulyan (Saptono, 2002), dan situs Kertabumi (Widyastuti, 2002a). Sementara itu dari masa Islam tercatat tinggalan berupa makam-makam Islam, di antaranya makam para bupati Ciamis dan Kompleks Makam Singaperbangsa (Widyastuti, 2000: 96). Tulisan ini akan membahas masa klasik di Kawasan Ciamis, khususnya mengenai arca-arca yang ditemukan tersebar di beberapa situs di Ciamis.
Di kawasan Sunda banyak ditemukan arca-arca yang berbeda bentuknya dengan arca di daerah lain, misalnya Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatra. Arca-arca ini sering disebut dengan arca tipe Pajajaran. Penggambaran arca demikian berkaitan erat dengan perkembangan religi masa klasik Jawa Barat. Berdasarkan beberapa naskah seperti misalnya Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian dan Carita Parahyangan, menunjukkan bahwa pada awalnya, keagamaan yang melatari masyarakat Sunda adalah Hindu. Dalam perkembangannya agama Hindu bercampur dengan agama Buddha, dan pada akhirnya unsur kepercayaan asli muncul (Sumadio, 1990). Kemunculan kepercayaan asli dari para leluhur terlihat dari keterangan dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karêsian yang menurunkan derajat Dewata berada di bawah Hyang (Danasasmita, 1987: 96; Ayatrohaedi, 1982: 338). Fenomena yang terdapat di dalam naskah dan pada tinggalan arkeologis terlihat terdapat korelasi. Berdasarkan fenomena ini dilakukan penelitian ikonografi.
Penelitian tentang ikonografi di daerah Jawa Barat pernah dilakukan oleh J.F.G. Brumund dan N.J. Krom. Brumund dalam penelitiannya di daerah Bogor dan Priangan menemukan arca-arca yang kemudian disebut arca tipe Pajajaran (Mulia, 1980). Oleh Brumund istilah arca tipe Pajajaran hanya digunakan untuk menyebut arca Polinesia yang menunjukkan ciri-ciri Hindu-Buddha, sedangkan arca yang tidak menunjukkan ciri-ciri Hindu-Buddha tidak diberikan istilah tersendiri (Mulia, 1980: 600). Sementara itu, Krom menyatakan bahwa setiap arca yang tidak mempunyai ciri-ciri sebagai arca Hindu-Buddha yang menonjol adalah arca Polinesia dan berfungsi sebagai arca pemujaan leluhur. Menurut Krom arca Polinesia dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
Balai Arkeologi Bandung pada penelitian tahun 2000 di daerah Cirebon telah mendata beberapa arca tipe Pajajaran ini (Widyastuti, 2002b). Arca-arca tersebut digambarkan dengan sangat sederhana. Bentuk tangan dan kaki semuanya digambarkan melekat ke badan yang ditampilkan dengan memberikan batas goresan saja. Selain itu bentuk wajah sangat sederhana hanya berupa goresan-goresan yang membentuk mata, hidung, dan bibir. Berdasarkan pengamatan terhadap atribut yang ada dapat diketahui bahwa sekumpulan arca tersebut di antaranya menggambarkan Ganeça, Siwa, Lingga, dan arca-arca tipe Polinesia. Sementara itu, penelitian tahun 2003 yang dilaksanakan di daerah Kuningan juga mencatat adanya arca-arca sejenis. Arca-arca dari daerah Kuningan tersebut di antaranya menggambarkan Ganeça, Nandi, Lingga, Yoni, dan arca-arca Polinesia (Widyastuti, 2003).
Objek yang akan dibahas dalam makalah ini adalah arca-arca yang ditemukan di Kabupaten Ciamis. Ciamis pada masa klasik sering dihubungkan dengan keberadaan Kerajaan Galuh. Menurut Van der Meulen terdapat tiga Kerajaan Galuh, yaitu Galuh Purba yang berpusat di daerah Ciamis, Galuh Utara (Galuh Lor, Galuh Luar) yang berpusat di daerah Dieng, dan Galuh yang berpusat di Denuh (Tasikmalaya) (Iskandar, 1997: 97). Menurut Carita Parahyangan, Kerajaan Galuh mula-mula diperintah oleh Raja Séna. Pada suatu ketika Galuh diserang oleh Rahyang Purbasora. Ketika Sanjaya dewasa dapat merebut kembali dan berkuasa di Galuh (Danasasmita, 1983/1984: 61; Iskandar, 1997: 126 - 134). Nama Galuh (Galoeh) pada zaman Hindia-Belanda dijadikan nama kabupaten (afdeeling) yang termasuk dalam wilayah Residentie Cheribon. Wilayah afdeeling Galoeh di antaranya district Ciamis, Ranca, Kawali, dan Panjalu.
Masalah
Berdasarkan pendapat Brumund dan Krom diketahui bahwa terdapat 3 jenis arca yang terdapat di Jawa Barat yaitu arca tipe Polinesia, arca tipe Pajajaran, dan arca bercorak Hindu-Buddha. Arca tipe Polinesia yaitu arca sederhana yang tidak menunjukkan ciri-ciri sebagai arca Hindu-Buddha. Arca demikian ini biasanya berhubungan dengan pemujaan terhadap nenek moyang. Arca tipe Pajajaran yaitu arca sederhana tetapi menunjukkan ciri-ciri Hindu-Buddha, misalnya terdapat mahkota, senjata, sikap tangan, sikap duduk, dan atribut lain yang menunjukkan kedewaan. Sedang arca bercorak Hindu-Buddha yaitu arca yang penggambarannya sesuai dengan aturan ikonografi Hindu-Buddha. Berdasarkan hal tersebut timbul pertanyaan yaitu bagaimanakah penggambaran arca di daerah Ciamis.
Di kawasan Sunda banyak ditemukan arca-arca yang berbeda bentuknya dengan arca di daerah lain, misalnya Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatra. Arca-arca ini sering disebut dengan arca tipe Pajajaran. Penggambaran arca demikian berkaitan erat dengan perkembangan religi masa klasik Jawa Barat. Berdasarkan beberapa naskah seperti misalnya Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian dan Carita Parahyangan, menunjukkan bahwa pada awalnya, keagamaan yang melatari masyarakat Sunda adalah Hindu. Dalam perkembangannya agama Hindu bercampur dengan agama Buddha, dan pada akhirnya unsur kepercayaan asli muncul (Sumadio, 1990). Kemunculan kepercayaan asli dari para leluhur terlihat dari keterangan dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karêsian yang menurunkan derajat Dewata berada di bawah Hyang (Danasasmita, 1987: 96; Ayatrohaedi, 1982: 338). Fenomena yang terdapat di dalam naskah dan pada tinggalan arkeologis terlihat terdapat korelasi. Berdasarkan fenomena ini dilakukan penelitian ikonografi.
Penelitian tentang ikonografi di daerah Jawa Barat pernah dilakukan oleh J.F.G. Brumund dan N.J. Krom. Brumund dalam penelitiannya di daerah Bogor dan Priangan menemukan arca-arca yang kemudian disebut arca tipe Pajajaran (Mulia, 1980). Oleh Brumund istilah arca tipe Pajajaran hanya digunakan untuk menyebut arca Polinesia yang menunjukkan ciri-ciri Hindu-Buddha, sedangkan arca yang tidak menunjukkan ciri-ciri Hindu-Buddha tidak diberikan istilah tersendiri (Mulia, 1980: 600). Sementara itu, Krom menyatakan bahwa setiap arca yang tidak mempunyai ciri-ciri sebagai arca Hindu-Buddha yang menonjol adalah arca Polinesia dan berfungsi sebagai arca pemujaan leluhur. Menurut Krom arca Polinesia dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
- arca yang berasal dari masa sebelum zaman klasik
- yang dilanjutkan sesudah mulai pengaruh Hindu-Buddha dan tetap berfungsi; terdapat di daerah terpencil
- yang sudah terpengaruh oleh kebudayaan Hindu-Buddha tetapi disesuaikan dengan konsepsi baru (Mulia, 1980: 602).
Balai Arkeologi Bandung pada penelitian tahun 2000 di daerah Cirebon telah mendata beberapa arca tipe Pajajaran ini (Widyastuti, 2002b). Arca-arca tersebut digambarkan dengan sangat sederhana. Bentuk tangan dan kaki semuanya digambarkan melekat ke badan yang ditampilkan dengan memberikan batas goresan saja. Selain itu bentuk wajah sangat sederhana hanya berupa goresan-goresan yang membentuk mata, hidung, dan bibir. Berdasarkan pengamatan terhadap atribut yang ada dapat diketahui bahwa sekumpulan arca tersebut di antaranya menggambarkan Ganeça, Siwa, Lingga, dan arca-arca tipe Polinesia. Sementara itu, penelitian tahun 2003 yang dilaksanakan di daerah Kuningan juga mencatat adanya arca-arca sejenis. Arca-arca dari daerah Kuningan tersebut di antaranya menggambarkan Ganeça, Nandi, Lingga, Yoni, dan arca-arca Polinesia (Widyastuti, 2003).
Objek yang akan dibahas dalam makalah ini adalah arca-arca yang ditemukan di Kabupaten Ciamis. Ciamis pada masa klasik sering dihubungkan dengan keberadaan Kerajaan Galuh. Menurut Van der Meulen terdapat tiga Kerajaan Galuh, yaitu Galuh Purba yang berpusat di daerah Ciamis, Galuh Utara (Galuh Lor, Galuh Luar) yang berpusat di daerah Dieng, dan Galuh yang berpusat di Denuh (Tasikmalaya) (Iskandar, 1997: 97). Menurut Carita Parahyangan, Kerajaan Galuh mula-mula diperintah oleh Raja Séna. Pada suatu ketika Galuh diserang oleh Rahyang Purbasora. Ketika Sanjaya dewasa dapat merebut kembali dan berkuasa di Galuh (Danasasmita, 1983/1984: 61; Iskandar, 1997: 126 - 134). Nama Galuh (Galoeh) pada zaman Hindia-Belanda dijadikan nama kabupaten (afdeeling) yang termasuk dalam wilayah Residentie Cheribon. Wilayah afdeeling Galoeh di antaranya district Ciamis, Ranca, Kawali, dan Panjalu.
Masalah
Berdasarkan pendapat Brumund dan Krom diketahui bahwa terdapat 3 jenis arca yang terdapat di Jawa Barat yaitu arca tipe Polinesia, arca tipe Pajajaran, dan arca bercorak Hindu-Buddha. Arca tipe Polinesia yaitu arca sederhana yang tidak menunjukkan ciri-ciri sebagai arca Hindu-Buddha. Arca demikian ini biasanya berhubungan dengan pemujaan terhadap nenek moyang. Arca tipe Pajajaran yaitu arca sederhana tetapi menunjukkan ciri-ciri Hindu-Buddha, misalnya terdapat mahkota, senjata, sikap tangan, sikap duduk, dan atribut lain yang menunjukkan kedewaan. Sedang arca bercorak Hindu-Buddha yaitu arca yang penggambarannya sesuai dengan aturan ikonografi Hindu-Buddha. Berdasarkan hal tersebut timbul pertanyaan yaitu bagaimanakah penggambaran arca di daerah Ciamis.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai atribut-atribut pada arca-arca yang terdapat di Kabupaten Ciamis. Berdasarkan atribut yang ada diharapkan dapat diungkapkan mengenai unsur spesifik dan penyimpangannya. Dengan demikian dapat dikelompokkan arca-arca tersebut berdasarkan tipenya.
Metode Penelitian
Penelitian tentang ikonografi masa Kerajaan Sunda, menerapkan penelitian deskriptif. Strategi penelitian melalui observasi lapangan yaitu pendeskripsian dan pengukuran terhadap tinggalan arkeologis di daerah penelitian. Berdasarkan hasil pendeskripsian dapat diketahui atribut yang terdapat pada masing-masing arca. Selanjutnya dari atribut yang ada dapat diperoleh suatu kesimpulan mengenai tokoh yang diarcakan.
Pelaksanaan observasi tidak hanya berupa pendeskripsian dan pengukuran, tetapi juga dilaksanakan wawancara dengan masyarakat setempat. Wawancara ini dimaksudkan untuk melacak latar belakang keberadaan arca.
Ruang lingkup penelitian meliputi keseluruhan arca, baik berupa arca berbentuk manusia, dewa, binatang, ataupun arca-arca yang menggambarkan simbol-simbol tertentu seperti lingga dan yoni.
Pelaksanaan observasi tidak hanya berupa pendeskripsian dan pengukuran, tetapi juga dilaksanakan wawancara dengan masyarakat setempat. Wawancara ini dimaksudkan untuk melacak latar belakang keberadaan arca.
Ruang lingkup penelitian meliputi keseluruhan arca, baik berupa arca berbentuk manusia, dewa, binatang, ataupun arca-arca yang menggambarkan simbol-simbol tertentu seperti lingga dan yoni.
DESKRIPSI HASIL PENELITIAN
Kecamatan Ciamis
Gambaran Lokasi
Penelitian di Kecamatan Ciamis dilaksanakan di situs Jambansari. Situs Jambansari secara administratif termasuk lingkungan Rancapetir, Kelurahan Linggasari. Situs Jambansari berada pada ketinggian 233 m di atas permukaan laut dan pada koordinat 0719'48,7'' LS dan 10820'54,2'' BT (berdasarkan pembacaan GPS Garmin). Situs ini merupakan kompleks makam Raden Adipati Aria Kusumadiningrat, Bupati Ciamis ke-16, yang berkuasa dari tahun 1839-1886. Situs berada di sebuah lahan seluas 4 hektar. Pada lahan tersebut selain terdapat kompleks makam juga terdapat tanah persawahan. Kompleks makam R.A.A Kusumadiningrat berada pada lokasi tersebut dengan dibatasi pagar tembok. Di lokasi ini terdapat 13 buah arca. Menurut keterangan juru kunci makam, arca-arca yang terdapat di lokasi ini dikumpulkan oleh R.A.A Kusumadiningrat. Pengumpulan ini dilakukan dalam rangka dakwah agama Islam sehingga bagi yang mempunyai arca atau berhala diharuskan untuk dikumpulkan di lokasi tersebut. Untuk mempermudah pendeskripsian maka masing-masing arca tersebut diberi kode dengan huruf JBSR 1 sampai dengan JBSR 13. Berikut ini pemerian masing-masing arca tersebut:
Kode : JBSR 1
Uraian bentuk : Bahan arca berupa batuan sedimen. Arca digambarkan berupa manusia tanpa kaki. Tangan digoreskan bersilangan di dada. Muka arca berbentuk oval. Bagian-bagian muka digambarkan secara lengkap dengan mata, hidung dan mulut. Sebagian rambut disanggul di bagian atas kepala, dan sisa rambut terurai di bagian belakang. Jenis kelamin arca tidak jelas.
Kode : JBSR 2
Uraian bentuk : Arca digambarkan berupa sapi yang sedang duduk dengan bahan batuan sedimen. Kaki depan dilipat ke belakang dan kaki belakang dilipat ke depan. Kedua kaki bertemu di bagian perut. Bagian muka arca sudah sangat aus, tapi masih terlihat adanya mata berjumlah 2 buah. Mulut digambarkan berupa cekungan tipis. Lubang hidung berupa 2 cekungan berbentuk bulat berada di atas mulut. Pada bagian kepala terdapat 2 buah tanduk yang sudah patah sebagian. Pada bagian punggung terdapat tonjolan (punuk). Ekor digambarkan melengkung ke kiri dengan ujungnya berada di punggung.
Kode : JBSR 3
Uraian bentuk : Arca berbahan tufa dengan warna putih. Arca berupa manusia yang digambarkan setengah badan. Posisi sedang duduk dengan sandaran di belakangnya. Sandaran ini pada ujung atasnya meruncing. Kedua tangan di samping badan. Kedua tangan dilipat mengarah ke depan dan memegang sebuah benda berbentuk persegi. Muka arca digambarkan secara lengkap dengan mata terbuka lebar, hidung besar, mulut menyeringai sehingga terlihat giginya, dan telinga. Pada sisi kanan belakang terdapat goresan seperti jubah.
Kode : JBSR 4
Uraian bentuk : Merupakan arca manusia yang digambarkan sedang duduk dengan kaki terlipat (jongkok). Tangan ditekuk berada di depan dada. Bagian-bagian muka hanya berupa goresan-goresan yang membentuk mata, mulut, dan telinga. Sedang hidung tidak ada. Bahan arca ini berupa batuan sedimen.
Kode : JBSR 5
Uraian bentuk : Bahan yang digunakan berupa batuan sedimen. Kondisi arca sudah sangat aus. Arca digambarkan sebagai manusia berkepala gajah. Mata dan gading tidak ada. Belalai menjuntai menyentuh tangan kiri. Tangan kanan terpotong sebatas siku. Arca digambarkan memakai upawita di bahu kiri. Di bagian belakang kepala terdapat bulatan yang kemungkinan sebagai prabha. Bagian bawah arca hilang.
Kode : JBSR 6
Uraian bentuk : Arca digambarkan sebagai manusia berperut buncit, berbahan batuan sedimen. Bagian muka tidak ada lagi karena telah dipangkas. Tangan bersedakap di dada. Pada bagian bawah perut terdapat tonjolan.
Kode : JBSR 7
Uraian bentuk : Berupa sebongkah batu yang memanjang dengan bahan batuan sedimen. Penampang lintang batu ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian bawah berbentuk segi empat, tengah berbentuk segi delapan, dan bagian atas bulat.
Kode : JBSR 8
Uraian bentuk : Berupa sebongkah batu yang memanjang dengan bahan batuan sedimen. Penampang lintang batu ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian bawah berbentuk segi empat, tengah berbentuk segi delapan, dan bagian atas bulat.
Kode : JBSR 9
Uraian bentuk : Berupa sebongkah batu setinggi 48 cm, dari bahan batuan sedimen. Bagian dasar berdenah persegi dengan ukuran 36 x 30 cm. Pada bagian tengah melekuk ke dalam. Sebagian batu ini telah hilang.
Kode : JBSR 10
Uraian bentuk : Berupa sebongkah batu bulat dengan bagian atas rata. Batu ini merupakan batuan sedimen
Kode : JBSR 11
Uraian bentuk : Berupa sebongkah batu dengan bagian tengah berlubang. Bahan yang digunakan adalah batuan sedimen.
Kode : JBSR 12
Uraian bentuk : Berupa sebongkah batu yang memanjang, yang terbuat dari batuan sedimen. Penampang lintang batu ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian bawah berbentuk segi empat, tengah berbentuk segi delapan, dan bagian atas bulat.
Kode : JBSR 13
Uraian bentuk : Arca ini menggunakan bahan tufa. Merupakan arca manusia yang digambarkan setengah badan. Posisi sedang duduk dengan sandaran di belakangnya. Tangan kiri memegang perut, sedangkan tangan kanan di samping badan. Arca ini bagian kepala dan sebagian sandaran hilang.
Kecamatan Lakbok
Gambaran lokasi
Penelitian di Kecamatan Lakbok dilaksanakan di Dusun Kelapa Kuning, Desa Sukanegara. Secara geografis wilayah ini berada di daerah dataran rendah dengan ketinggian 26 m di atas permukaan laut. Situs Kelapa Kuning berada pada koordinat 0724’076” LS dan 10809’22,1” BT (berdasarkan pembacaan GPS Garmin). Situs berada di kebun milik penduduk. Sekarang ini arca-arca yang terdapat di lokasi ini telah dikumpulkan di sebuah bangunan. Menurut keterangan Bapak Marjono (juru pelihara) arca-arca tersebut sebagian besar telah dirusak oleh masyarakat pada tahun 1965.
Di lokasi ini terdapat 6 arca. Untuk mempermudah pendeskripsian maka masing-masing arca tersebut diberi kode dengan huruf LKB 1 sampai dengan LKB 6. Berikut ini pemerian masing-masing arca tersebut:
Kode : LKB 1
Uraian bentuk : Berupa sebongkah batu berdenah bujur sangkar. Bahan yang digunakan merupakan batuan sedimen. Pada salah satu sisi terdapat tonjolan. Di bagian tengah terdapat lubang. Di permukaan bagian atas batu terdapat pelipit, sedangkan sisi batu berbentuk sisi genta. Keadaan sekarang salah satu sudutnya telah hilang.
Kode : LKB 2
Uraian bentuk : Berupa sebongkah batu yang memanjang. Penampang lintang batu ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian bawah berbentuk segi empat, tengah berbentuk segi delapan, dan bagian atas bulat. Bahan yang digunakan adalah batuan sedimen. Keadaan sekarang telah patah menjadi 3 bagian.
Kode : LKB 3
Uraian bentuk : Arca terbuat dari batuan sedimen. Arca digambarkan sebagai manusia dengan badan ramping. Bagian kepala dan tangan sudah hilang. Kaki hanya tersisa sebelah kiri sebatas lutut, sedangkan kaki kanan sudah hilang. Arca digambarkan duduk di atas lapik berbentuk balok. Di bagian belakang arca terdapat sandaran. Kondisi arca sudah sangat aus sehingga tidak terlihat lagi adanya hiasan atau atribut lain.
Kode : LKB 4
Uraian bentuk : Berupa sebongkah batu berdenah bujur sangkar. Sisi bagian bawah bertingkat-tingkat makin ke atas makin menyempit. Bagian atas batu ini telah hilang. Bahan yang digunakan berupa batuan sedimen.
Kode : LKB 5
Uraian bentuk : Bahan yang digunakan berupa batuan sedimen. Kondisi arca sudah sangat aus, sehingga goresan yang ada sudah sangat tipis. arca digambarkan berupa sapi yang sedang duduk. Penggambaran sapi disini hanya separuh bagian depan saja. Sedangkan bagian perut belakang dan kaki belakang tidak ada. Pada bagian samping kiri terdapat goresan yang menggambarkan kaki depan yang dilipat ke belakang. Sedang pada bagian samping kanan polos. Muka arca sudah tidak jelas lagi, tapi masih terlihat bagian menonjol yang merupakan moncongnya.
Kode : LKB 6
Uraian bentuk : Berupa sebongkah batu berdenah bujur sangkar, dengan bahan batuan sedimen. Pada bagian permukaan atas batu ini terdapat bagian yang menonjol. Bagian yang menonjol ini sebagian telah hilang. Di samping bagian tengah batu terdapat lekukan mengelilingi badan batu.
Kecamatan Mangunjaya
Gambaran Lokasi
Situs Mangunjaya secara administratif berada di Dusun Pasirlaya desa Mangunjaya. Lokasi temuan tepat berada di depan kantor kecamatan Mangunjaya. Situs Mangunjaya berada pada koordinat 0729'13,6'' LS dan 10841 '47,1'' BT (berdasarkan pembacaan GPS Garmin) dengan ketinggian 29 m di atas permukaan laut.
Lokasi temuan berada di puncak sebuah bukit. Sisi timur bukit tersebut sekarang sudah dipangkas untuk dibangun masjid. Pada sisi barat masih tampak adanya teras berundak yang dibentuk dengan batu pasir tufaan. Di sebelah utara situs terdapat Sungai Ciputrahaji, sedangkan di sebelah selatan terdapat Sungai Ciseel. Di lokasi tersebut terdapat dua buah batu bulat dan sebuah yoni. Pemerian yoni tersebut adalah sebagai berikut.
Kode : MGJ
Uraian bentuk : Berupa sebongkah batu berbentuk balok dengan bahan batuan sedimen. Pada waktu ditemukan tinggalan tersebut dalam posisi terbalik dan terbelah menjadi dua. Pada bagian permukaan atas batu terdapat lubang berbentuk bulat. Pada salah satu sisi bagian atas terdapat tonjolan yang berfungsi sebagai cerat. Bagian tonjolan ini sebagian telah patah. Pada bagian yang menonjol tersebut terdapat saluran yang menghubungkan lubang dengan sisi luar. Bagian badan batu tersebut terdapat pelipit. Pelipit tersebut dibuat secara simetris antara bagian atas dan bagian bawah, yaitu pelipit lebar dan pelipit tipis yang diseling dengan sisi genta.
Kecamatan Pamarican
Gambaran Lokasi
Penelitian di Kecamatan Pamarican dilaksanakan di situs Candi Ronggeng. Situs tersebut secara administratif berada di Kampung Kedung Bangkong, Dusun Sukamaju, Desa Sukajaya. Situs Candi Ronggeng berada pada koordinat 0725'46,9'' LS dan 10829'36,7'' BT (berdasarkan pembacaan GPS Garmin) dengan ketinggian 34 m di atas permukaan laut.
Situs berada pada lahan datar yang digunakan sebagai kebun oleh penduduk. Tanaman yang terdapat di lahan tersebut di antaranya adalah kelapa, bungur, sengon, mahoni, dan pisang. Di sebelah utara situs berjarak sekitar 50 m terdapat aliran Sungai Ciseel. Di antara situs dengan sungai terdapat tanggul tanah dengan lebar sekitar 4 m.
Sekarang pada lahan situs tidak terdapat adanya tinggalan. Menurut informasi di lahan tersebut pada kedalaman sekitar 1,5 m terdapat susunan batu-batu candi. Di lokasi ini juga pernah ditemukan sebuah arca yang sekarang disimpan di Kantor Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan Kecamatan Pamarican. Berikut pemerian arca tersebut.
Kode : CRG
Uraian bentuk : Kondisi arca terbelah dua pada bagian perut. Arca berupa seekor sapi dengan posisi duduk di atas naga sehingga badan naga seolah menjadi alas badan sapi. Keempat kaki sapi terlipat. Kaki depan terlipat ke belakang, sedangkan kaki belakang terlipat ke depan. Sisi samping kanan arca, pada bagian perut terdapat bidang datar berbentuk segi lima. Ekor sapi melingkar ke samping kiri badan lalu ke atas dan ujungnya berada di punggung. Di punggung arca terdapat tonjolan seperti punuk. Pada bagian belakang terdapat goresan yang menggambarkan buah zakar sapi dengan ukuran yang besar. Pada bagian kepala arca tidak terdapat goresan yang membentuk mata, hidung, mulut, dan telinga. Di bawah kepala arca terdapat pahatan yang membentuk kepala naga. Kepala naga digambarkan menyeringai sehingga terlihat giginya. Pada masing-masing sisi terlihat 4 gigi atas dan 4 gigi bawah. Pada bagian depan mulut naga tersebut terdapat hiasan seperti kalung.
Kecamatan Pangandaran
Gambaran Lokasi
Di Kecamatan Pangandaran penelitian dilaksanakan di situs Batu Kalde. Situs Batu Kalde terletak di kawasan Taman Nasional Pangandaran yang dikelola oleh Perhutani Unit III Jawa Barat. Secara administratif wilayah ini termasuk Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis. Situs ini berada pada koordinat 0742'21,5'' LS dan 10839'27,1'' BT (berdasarkan pembacaan GPS Garmin) dengan ketinggian 54 m di atas permukaan laut. Wilayah ini di sebelah utara berbatasan dengan Desa Pananjung, sebelah timur berbatasan dengan Teluk Pananjung, sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia dan sebelah barat berbatasan dengan Teluk Parigi. Situs Batu Kalde menempati lahan datar seluas 75 x 15 m.
Di lokasi ini terdapat 8 batu bulat, sebaran batu-batu bekas candi dan 2 buah arca. Untuk mempermudah pendeskripsian maka kedua arca tersebut masing-masing diberi kode dengan huruf BKL 1 dan BKL 2. Berikut ini pemerian masing-masing arca tersebut.
Kode : BKL 1
Uraian bentuk : Berupa batu berdenah bujur sangkar, berbahan batuan sedimen. Batu tersebut terdiri dari dua bagian. Bagian atas terbelah menjadi tiga. Pada permukaan atas terdapat pelipit. Pada bagian tengah permukaan atas terdapat lubang berbentuk bujur sangkar yang menembus sampai batu bagian bawah. Pada salah satu sisi terdapat bagian tonjolan, tetapi sekarang sudah terpangkas. Pada tonjolan tersebut terdapat cekungan sebagai saluran yang menghubungkan lubang dengan sisi luar. Bagian badan batu tersebut terdapat pelipit-pelipit. Bagian bawah batu sebagian sudah terpendam dalam tanah. Bagian luar dari batu bagian bawah ini bertingkat-tingkat makin ke atas makin sempit.
Kode : BKL 2
Uraian bentuk : Arca terbuat dari batuan sedimen. Arca digambarkan berupa sapi yang sedang duduk. Kaki kanan depan dilipat kebelakang, sedangkan kaki kiri depan dilipat ke depan. Kedua kaki belakang dilipat ke depan. Bagian muka arca sudah terpangkas sehingga tidak tampak lagi mata dan mulutnya. Pada bagian kepala masih terlihat adanya sepasang telinga. Di bawah bagian mulut yang hilang terdapat gelambir yang memanjang sampai dada. Di sepanjang badan sapi terdapat alur-alur sejajar yang merupakan proses pelapukan. Pada bagian punggung sapi terdapat tonjolan berbentuk persegi yang merupakan (punuk). Bagian punuk ini sebagian telah hilang. Ekor digambarkan melengkung ke kanan dengan ujungnya berada di punggung. Di antara kedua kaki belakang terlihat adanya buah zakar yang besar.
Kecamatan Cijeungjing
Gambaran Lokasi
Penelitian di Kecamatan Cijeungjing dilaksanakan di Kompleks Karangkamulyan. Kompleks Karangkamulyan secara administratif berada di Kampung Karangkamulyan, Desa Karangkamulyan, Kecamatan Cijeungjing. Situs tersebut berada pada koordinat 0720'54,05'' LS dan 10829'26,3'' BT (berdasarkan pembacaan GPS Garmin) dengan ketinggian 70 m di atas permukaan laut.
Keadaan situs berupa hutan seluas sekitar 25,5 hektar pada pertemuan antara Sungai Cimuntur dan Citanduy. Pada saat ini komplek situs di sebelah utara dibatasi jalan raya, sebelah timur Sungai Cimuntur, sebelah selatan Sungai Citanduy, dan sebelah barat komplek rest area. Sungai Cimuntur di sebelah timur situs merupakan kelanjutan yang sebelumnya mengalir di sebelah utara kemudian berbelok ke arah selatan dan bersatu dengan Sungai Citanduy.
Situs Karangkamulyan merupakan kompleks situs yang sekarang sudah dijadikan obyek wisata budaya. Kompleks dilengkapi dengan tempat parkir, warung, dan masjid. Untuk memasuki situs Karangkamulyan melalui pintu masuk yang terdapat di sisi timur halaman belakang tempat parkir. Situs-situs yang terdapat di kompleks ini adalah Pangcalikan, Sipatahunan, Sanghyang Bedil, Panyabungan Hayam, Lambang Peribadatan, Cikahuripan, Panyandaan, Makam Sri Bhagawat Pohaci, Pamangkonan, Makam Adipati Panaekan. Situs-situs tersebut dikelilingi fetur parit dan benteng
Dari sejumlah situs di kompleks Karangkamulyan tinggalan ikonografi ditemukan di situs Pangcalikan. Selain itu di lokasi yang sekarang digunakan sebagai lahan parkir, pernah ditemukan sebuah arca Ganesha. Arca tersebut sekarang disimpan di Museum “Sri Baduga” Bandung. Berikut pemerian temuan yang terdapat di situs Pangcalikan dan arca ganesha yang disimpan di Museum Sri Baduga.
Kode : KRKM
Uraian bentuk : Berupa batu dengan datar berdenah bujur sangkar. Bagian samping batu tersebut terdapat pelipit. Salah satu sudut batu ini telah hilang.
Ganesha di Museum Sri Baduga
Arca digambarkan duduk di atas lapik berbentuk bulat. Sikap duduk yaitu dengan posisi satu kaki bersila dan kaki yang lain dilipat ke atas. Pada bagian atas kepala arca terdapat semacam tutup kepala. Belalai menjuntai ke kiri. Perut digambarkan buncit. Di bagian dada terdapat upavita berupa tali polos.Tangan berjumlah empat, dua tangan yang belakang patah, sedangkan dua tangan yang lain masing-masing memegang lutut. Tinggi arca 46 cm. Arca Ganesha yang berasal dari Karangkamulyan ini mempunyai bentuk sederhana.
Penutup
Penelitian tentang ikonografi masa Kerajaan Sunda di Kabupaten Ciamis. Di Kabupaten Ciamis dilaksanakan di 6 kecamatan yaitu Kecamatan Ciamis, Lakbok, Mangunjaya, Pamarican, Pangandaran, dan Cijeungjing. Penelitian kali ini berhasil mendata 25 batu yang menunjukkan ciri-ciri pengerjaan oleh manusia. Dari ke 25 batu tersebut terdapat 21 batu yang merupakan arca. Sedang 4 batu yang lain bukan merupakan arca. Ke 4 batu tersebut adalah JBSR 9 (tidak diketahui), JBSR 10 (lapik), JBSR 11 (lumpang batu), dan LKB 6 (umpak). Sedang 21 batu yang merupakan arca adalah sebagai berikut.
JBSR 1 menggambarkan arca manusia dengan sangat sederhana. Arca ini belum dapat diketahui tokoh yang diarcakan karena tidak terdapat atribut kuat lain yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi. Arca dengan bentuk demikian merupakan arca tipe Polinesia.
JBSR 2 menggambarkan seekor sapi dalam posisi duduk dengan kaki terlipat. Arca demikian disebut dengan Nandi. Dalam mitologi Hindu, dewa digambarkan mempunyai binatang kendaraan (wahana). Kendaraan Dewa Brahma adalah angsa, Dewa Wisnu mempunyai kendaraan berupa garuda, sedang Nandi merupakan kendaraan dewa Siwa. Nandi yang terdapat di situs Jambansari ini digambarkan dengan sangat sederhana sehingga termasuk arca Nandi tipe Pajajaran.
JBSR 3 menggambarkan arca manusia setengah badan dengan posisi sedang duduk dengan sandaran di belakangnya. Kedua tangan dilipat mengarah ke depan dan memegang sebuah benda berbentuk persegi. Tidak terdapat atribut lain pada arca ini sehingga tidak dapat diketahui tokoh yang diarcakan. Arca dengan bentuk demikian dapat digolongkan sebagai arca tipe Polinesia.
JBSR 4 merupakan arca manusia yang digambarkan sedang duduk dengan kaki terlipat (jongkok). Bagian-bagian muka dan badan arca ini hanya merupakan goresan-goresan saja. Tidak ada atribut yang dapat digunakan untuk mengenali tokoh yang diarcakan. Arca dengan bentuk demikian merupakan arca tipe Polinesia.
JBSR 5 Kondisi arca sudah sangat aus Arca digambarkan sebagai manusia berkepala gajah dengan belalai menjuntai menyentuh tangan kiri. Arca demikian ini merupakan penggambaran Ganesha. Ganesha adalah salah satu dewa dalam pantheon Hindu. Ganesha dikenal sebagai anak dari Dewa Siwa dan Dewi Parwati, yang disembah sebagai dewa kebijaksanaan dan penyingkir halangan. Di Indonesia, Ganesha merupakan salah satu dari tiga dewa pendamping utama dewa Siwa. Pada sebuah candi, biasanya Ganesha ditempatkan pada bilik yang menghadap ke barat atau timur. Meskipun demikian, di Indonesia arca Ganesha seringkali ditemukan berdiri sendiri (Sedyawati, 1994: 5-6). Arca Ganesha ini digambarkan dengan sederhana, dengan demikian termasuk arca dengan tipe Pajajaran.
JBSR 6 Arca digambarkan sebagai manusia berperut buncit. Tangan bersedakap di dada. Arca dengan bentuk yang serupa pernah ditemukan di daerah Cikapundung Kabupaten Bandung. Menurut Eriawati arca demikian ini termasuk sebagai arca tipe Polinesia ( Eriawati 1995/1996: 74 - 78).
JBSR 7, JBSR 8 dan JBSR 12 berupa sebongkah batu yang memanjang. Penampang lintang batu ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian bawah berbentuk segi empat, tengah berbentuk segi delapan, dan bagian atas bulat. Bentuk demikian ini menggambarkan lingga. Bagian-bagian lingga mempunyai penyebutan tersendiri yaitu bagian dasar berupa segi empat disebut brahmabhaga, bagian tengah berbentuk segi delapan disebut wisnubhaga, dan bagian puncak berbentuk bulat panjang disebut siwabhaga (Atmodjo, 1999: 23). Lingga merupakan salah satu perwujudan Siwa. Dengan demikian ketiga arca tersebut merupakan arca bercorak Hindu.
JBSR 13 merupakan arca manusia yang digambarkan setengah badan. Posisi sedang duduk dengan sandaran di belakangnya. Tangan kiri memegang perut, sedangkan tangan kanan di samping badan. Tidak terdapat atribut lain pada arca ini sehingga tidak dapat diketahui tokoh yang diarcakan. Arca dengan bentuk demikian dapat digolongkan sebagai arca tipe Polinesia.
LKB 1 dan LKB 4 sebenarnya merupakan satu kesatuan yang disebut yoni. Ciri-ciri yoni yaitu berdenah bujur sangkar, terdapat tonjolan yang berfungsi sebagai cerat, dan terdapat lubang di permukaan bagian atas yang berfungsi untuk meletakkan lingga. Dalam mitologi Hindu, persatuan antara lingga dan yoni merupakan lambang kesuburan (Atmojo, 1999: 23).
LKB 2 Berupa sebongkah batu yang memanjang. Penampang lintang batu ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian bawah berbentuk segi empat, tengah berbentuk segi delapan, dan bagian atas bulat. Bentuk demikian ini menggambarkan lingga.
LKB 3 Arca digambarkan sebagai manusia dengan badan ramping. Adanya sandaran atau stela memunculkan dugaan bahwa arca tersebut merupakan arca bercorak Hindu-Buddha. Kondisi arca sudah sangat aus sehingga tidak dapat diketahui tokoh yang diarcakan.
LKB 5 arca digambarkan berupa sapi yang sedang duduk. Dalam mitologi Hindu arca demikian ini disebut dengan Nandi. Nandi di LKB 5 ini digambarkan dengan sangat sederhana sehingga termasuk arca tipe Pajajaran.
MGJ berupa sebongkah batu berbentuk balok dengan cerat pada salah satu sisinya. Pada bagian permukaan atas batu terdapat lubang berbentuk bulat. Bentuk demikian ini menggambarkan yoni. Di Indonesia, yoni seringkali ditemukan bersama dengan lingga. Persatuan antara lingga dan yoni merupakan lambang kesuburan.
CRG Arca berupa seekor sapi dengan posisi duduk di atas naga, sehingga badan naga seolah menjadi alas badan sapi. Penggambaran sapi disini mungkin dimaksudkan sebagai nandi. Bentuk naga yang berada di bawah nandi terlihat seperti makara yang sering ditemui pada pipi tangga masuk suatu bangunan. Adanya bidang datar pada sisi kanan perut nandi menunjukkan bahwa kemungkinan arca ini dahulu merupakan bagian suatu bangunan candi Hindu. Arca nandi ini digambarkan dengan sederhana, sehingga termasuk dalam arca tipe Pajajaran.
BKL 1 berupa batu berdenah bujur sangkar dengan lubang di permukaan atasnya. Meskipun cerat sudah tidak ada lagi, tetapi masih terlihat adanya saluran untuk mengalirkan air. Dalam mitologi Hindu bentuk demikan ini dikenal sebagai yoni.
BKL 2 arca digambarkan berupa sapi yang sedang duduk. Arca demikian disebut dengan nandi. Meskipun arca nandi ini pada beberapa bagian telah hilang tetapi masih terlihat bahwa arca tersebut digambarkan dengan lengkap sehingga termasuk dalam arca masa klasik.
KRKM Berupa batu dengan datar berdenah bujur sangkar. Bagian samping batu tersebut terdapat pelipit. Batu dengan bentuk demikian kemungkinan merupakan bagian dasar yoni yang diletakkan secara terbalik.
Ganesha dari Karang Kamulyan digambarkan dengan sangat sederhana, sehingga termasuk arca tipe Pajajaran.
Berdasarkan ciri-cirinya ke 21 buah arca tersebut dapat dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama yaitu arca tipe Polinesia yang terdiri dari 5 arca. Ke lima arca tersebut yaitu JBSR 1, JBSR 3, JBSR 4, JBSR 6, dan JBSR 13. Arca-arca ini merupakan tinggalan hasil budaya tradisi megalitik dari masa prasejarah. Kelompok kedua yaitu arca yang bercorak Hindu-Buddha. Arca-arca yang termasuk kelompok kedua ini terdiri dari 11 arca. Ke 11 arca bercorak Hindu-Buddha tersebut terdiri dari bentuk Lingga (JBSR 7, JBSR 8, JBSR 12, dan LKB 2), Yoni ( LKB 1, LKB 4, MGJ, BKL 1, dan KRKM), Nandi (BKL 2). Sedangkan arca LKB 3 meskipun tidak jelas tokoh yang diarcakan, tetapi adanya stella menunjukkan ciri-ciri sebagai arca klasik. Dilihat dari konteks temuan lain yang ada di tempat tersebut kemungkinan arca tersebut berlatarbelakang religi Hindu. Arca kelompok ketiga yaitu yang termasuk arca tipe Pajajaran terdiri dari 5 arca. Termasuk dalam kelompok ini yaitu Nandi (JBSR 2, LKB 5, dan CRG) dan Ganesha (JBSR 5 dan Ganesha Karang Kamulyan). Arca-arca tersebut menunjukkan ciri-ciri sebagai arca klasik, tetapi dengan penggambaran yang sederhana.
Berdasarkan uraian terdahulu terlihat bahwa lingga dan yoni dibuat sesuai dengan aturan ikonografi. Ganesha Jambansari dan Karang Kamulyan keduanya dibuat dengan sangat sederhana. Bagian-bagian tubuh Ganesha Jambansari hanya dibuat dengan pahatan yang dangkal. Sedang Ganesha Karang Kamulyan dibuat dengan sederhana, tetapi penggambarannya telah mendekati aturan ikonografi. Sementara itu, Nandi dari Jambansari, Lakbok dan Candi Ronggeng bagian-bagian tubuhnya hanya digoreskan dengan pahatan yang dangkal, sedangkan Nandi dari Batu Kalde tidak mengalami modifikasi. Laporan Bujangga Manik (abad ke-15 M) dalam perjalanannya sepulang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur menyebutkan tentang adanya runtuhan candi di Pananjung (Ferdinandus 1990: 297). Dengan demikian diperkirakan bahwa situs Batu Kalde tersebut berasal dari masa pra Sunda.
Daftar Pustaka
Agus. 1994. “Stratigrafi dan Paleontologi Daerah Urug Kasang, Ciamis, Jawa Barat”. Dalam Jurnal Balai Arkeologi Bandung Edisi Perdana. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.
-------. 1998/1999. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi. Penelitian Arkeometri di Daerah Kaso Kabupaten Ciamis (Aspek Stratigrafi & Paleontologi). Balai Arkeologi Bandung. (tidak diterbitkan)
Atmodjo, Junus Satrio. 1999. Vademekum Benda Cagar Budaya. Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala.
Ayatrohaedi. 1982. “Masyarakat Sunda Sebelum Islam”. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi ke II. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hlm.333–346.
Danasasmita, Saleh. 1983/1984. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. Jilid Kedua. Bandung: Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
-------, 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakanda ng Karêsian, Amanat Galunggung. Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi).
Eriawati, Yusmaini. 1995/1996. “Arca Megalitik Cikapundung”. Dalam Kebudayaan Nomor 10 Th V 1995/1996. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 74– 79.
Ferdinandus, P.E.J. 1990 “Situs Batu Kalde di Pangandaran, Jawa Barat”. Dalam Monumen: Karya Persembahan Untuk Prof. Dr. R. Soekmono. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Hlm. 285–301.
Iskandar, Yoseph. 1997. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa). Bandung: Geger Sunten.
Mulia, Rumbi. 1980. “Beberapa Catatan Tentang Arca-arca Yang Disebut Arca Tipe Polinesia”. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Cibulan 21-25 Februari 1977. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Hlm. 599–646.
Saptono, Nanang. 2002. Karang Kamulyan a Historical Event and an Archaeological Site. Jakarta: Culture Developing Policy Program Ministry of Culture and Tourism.
Sedyawati, Edi. 1994. Pengarcaan Ganeça Masa Kadiri dan Singasari, Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Rijksuniversiteit Te Leiden, EFEO.
Sumadio, Bambang. 1990. “Jaman Kuno”, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakar¬ta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, PN Balai Pustaka.
Widyastuti, Endang. 2000. “Tinggalan Arkeologis di Ciamis Bagian Timur”. Dalam Kronik Arkeologi: Perspektif Hasil Penelitian Arkeologi di Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Lampung. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
-------, 2002a. “Tembikar dan Keramik dari Kawasan Kertabumi”. Dalam Tapak-Tapak Budaya. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Daerah Jawa Barat – Banten.
-------, 2002b. “Arca-Arca Tipe Pajajaran di Pejambon, Cirebon”. Dalam Jelajah Masa Lalu. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Daerah Jawa Barat – Banten.
-------, 2003. “Penelitian Arca-Arca Di Kuningan Dalam Rangka Pengungkapan Perkembangan Religi”. Dalam Mosaik Arkeologi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Daerah Jawa Barat – Banten.
Yondri, Lutfi. 1999. “Mungkinkah Manusia Purba Pernah Hidup di Kawasan Jawa Barat?” Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung No. 5/Maret/1999. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.
Catatan:
Tulisan ini dimuat di buku “Arkeologi dari Lapangan ke Permasalahan”, hlm. 55 – 72. Editor Prof. Dr. Edi Sedyawati. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jawa Barat – Banten, 2006.
Sumber: http://arkeologisunda.blogspot.com/2009/02/peninggalan-arkeologi-klasik-di-ciamis.html
Leave a respond
Posting Komentar