Nyi Raspi adalah Ronggeng Gunung, dan Ronggeng Gunung adalah Nyi Raspi, ungkapan tadi amat tepat untuk mengambarkan keidentikan Nyi Raspi dan Ronggeng Gunung demikian pula sebaliknya.
Ronggeng Gunung mungkin dapat dikatakan berbeda dengan jenis tarian sunda lainnya yang cenderung mengolah gerakan kepala, tangan dan badan. Tarian Ronggeng Gunung lebih menumpukan gerakan pada kaki yang harus seirama, bergerak melingkari Nyi ronggeng sebagai porosnya dengan pola langkah tertentu. Sedangkan gerakan tangan atau tubuh lainnya cenderung bebas.
Ada beberapa versi yang menyebutkan asal-usul dari Ronggeng Gunung ini salah satunya versi Yanti Heriyawati. Menurut Yanti Heriyawati dalam tesisnya yang berjudul “Doger dan Ronggeng, Dua Wajah Tari Perempuan di Jawa Barat”. menyatakan bahwa kesenian Ronggeng Gunung berkait erat dengan kisah Dewi Samboja . Dewi Samboja adalah puteri ke-38 dari Prabu Siliwangi yang bersuamikan Angkalarang. Konon, suatu saat suami sang Dewi yaitu Angkalarang mati terbunuh oleh Kalasamudra (pemimpin bajak laut dari seberang lautan). Dewi Samboja sangat bersedih hatinya karena suami yang dicintainya telah meninggal dunia dan ia sangat marah kepada Kalasamudra yang telah membunuh suaminya. Untuk menghilangkan kesedihan dan sekaligus kemarahan puterinya atas kematian Angkalarang, maka ayahandanya, yaitu Prabu Siliwangi memberikan wangsit kepada Dewi Samboja. Isi wangsit tersebut adalah bahwa untuk dapat membalas kematian Angkalarang dan membunuh Kalasamudra, Dewi Samboja harus menyamar sebagai Nini Bogem, yaitu sebagai seorang penari ronggeng kembang. Dan, berdasar wangsit itulah, Dewi Samboja mulai belajar menari ronggeng dan seni bela diri. Singkat cerita, pergelaran ronggeng di tempat Kalasamudra pun terjadi. Dan, ini berarti kesempatan bagi Dewi Samboja untuk membalas kematian suaminya. Konon, ketika sempat menari bersamanya, Dewi Samboja mewujudkan niatnya, sehingga perkelahian pun tidak dapat dihindari. Perkelahian itu baru berakhir ketika Dewi Samboja dapat membunuhnya.
Ronggeng Gunung adalah bentuk kesenian asli dari Banjarsari Ciamis bagian Selatan, Jawa Barat. Sebuah daerah yang bergunung-gunung dan tak mudah dijangkau kendaraan roda empat. Nyi Raspi, wanita berusia separuh abad ini telah memilih Ronggeng Gunung sebagai hidupnya, sejak lebih dari 30 tahun lalu. Dan pilihan ini bukan perkara mudah. Sepanjang perjalanannya, wanita beranak satu ini, pernah dihadapkan pada pilihan suami atau ronggeng. Meski berat Ronggeng Gunung kembali menjadi pilihannya.
Konsekuensinya, buah tigapuluhan tahun meronggeng berupa materi, hampir tidak dimiliki Nyi Raspi, ia hidup jauh dari berkecukupan. Dan tak hanya itu, sebagaimana kesan yang melekat pada peronggeng umumnya, popalitasnya pada kesenian asli Ciamis Selatan ini membuatnya menjadi cemoohan, sindiran dan hinaan orang-orang disekitarnya. Apalagi ia kerap kawin cerai.
Nyi Raspi tak menyesali pilihannya. Tak terlintas dia salah memilih dulu disaat usianya masih belia, 15 tahun. Saat itu, Nyi Raspi belia meninggalkan rumahnya sebagai sikap berontak atas niat orang tuanya yang ingin menjodohkannya dengan seorang pria yang tidak dicintainya.
Hingga ia tiba di Desa Panyutrang yang tak jauh dari desanya dan bertemu Majakabul dan Mak Kecik yang tengah melatih seorang gadis bermain Ronggeng Gunung, ia pun turut berlatih.
Tak dinyana, itulah awal perjalanan hidup Nyi Raspi menjadi Ronggeng Gunung. Roh Ronggeng Gunung perlahan menyelinap di tubuh Nyi Raspi. Sejak itu ia pun menikmati profesi barunya ini. Bayaran awal sebesar 200 rupiah, memunculkan kebanggaan sebagai peronggeng gunung pada dirinya. Ia pun melangkahkan kakinya kembali ke rumah orang tuanya.
Perlahan orang tua memulukan langkah Nyi Raspi sebagai seorang Ronggeng Gunung. Dulu disaat Nyi Raspi belia, Ronggeng Gunung adalah satu-satunya hiburan dan Ronggeng Gunung waktu itu amat dihargai dan dihormati. Bahkan bila sang penanggap atau yang punya hajat memotong kerbau atau kambing, kepala kerbau atu kambing akan diserahkan kepada sang peronggeng.
Bakat awal yang mulus memberikan harapan besar buat Nyi Raspi mengeluti Ronggeng Gunung ia pun kembali berlatih bersama Majakabul. Kembali berlatih bersama Majakabul, artinya Nyi Raspi hidup berpisah dengan orang tuanya.
Hari demi harinya dilaluinya dengan berlatih, dan Majakabul membekali jaringan tehnik menjaga kekuatan kepala sukunya yang hampir tidak dimiliki oleh Ronggeng pemula, itulah kelebihan yang dimiliki Nyi Raspi.
Pada zamannya hingga sekitar belasan tahun lalu, Nyi Raspi hanya punya waktu istirahat tiga sampai tujuh hari dalam sebulan. Sisanya penuh dengan jadwal tugas. Waktu-waktu padat ini terutama disaat usai panen atau musim menggelar hajat perkawinan dan khitanan. Praktis kesehariannya diisi dengan beronggeng yang diiringi meditra, instrumen tradisional berupa gong, gendang, bonang. Ia pun didampingi oleh mayaga, awak gamelan yang terkandang berasal dari penontong setempat.
Kejayaan Nyi Raspi dengan Ronggeng Gunungnya yang mampu memikat penonton, seakan mengingatkan riwayat jenis kesenian ini. Di dirikan sekitar tiga ratusan tahun lalu, saat terjadi perang antara Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Mataran, para pejuang membuat cara tersendiri untuk melumpuhkan musuh.
Munculnya kesenian Rongeng Gunung, tujuan untuk memikat musuh agar ikut bersuka cita. Ditengah-tengah kegembiraan inilah, para pejuang membunuh para musuh dengan menghunuskan pedang yang disembunyikan dalam kain sarung.
Tembang-tembang yang disuarakan Nyi Raspi terasa lain. Ia seolah menjadi kekuatan lagis yang mampu memikat penontonnya. Lagu Kawungan Banter, Raja Pulang, Sisigaran, Kolewang, Udai atau Parut terasa lain di telinga. Irama lagunya yang mendayu-dayu, naik turun dalam irama yang mengalun, kerap memikat penikmat kesenian yang berakar di Ciamis Selatan ini.
Pantas hingga kini, Nyi Raspi kesulitan untuk memariskan kemampuannya sebagai Ronggeng Gunung, termasuk kepada putri tunggalnya Nunung Nurhayati. Kegalauan dan kesedihan, itulah dua kata yang mampu mewakili perasaan Nyi Raspi kini. Bukan karena persoalan keluarga, tentulah hanya karena harta.
Untuk mengisi kegalauan akan masa depan Ronggeng Gunung. Bukan masalah mudah menjadi Ronggeng yang handal, ia harus piawai melantunkan tembang dengan lengkingan nada tinggi, panjang dan cengkok yang khas. Ketidak mudahan inilah yang membuat Nyi Raspi sulit mencari calon peronggeng yang akan diturunkan kepandaiannya. Terutama kepada putri semata wayangnya.
Kondisi inilah yang sedikit demi sedikit memaksa penikmat Ronggeng Gunung meninggalkan kesenian asli Ciamis Selatan ini. Ditambah lagi dengan perbuatan segelintir orang yang memanfaatkan kesenian ini untuk berbuat cabul yang memperburuk keadaan. Akibatnya rontoklah citra Ronggeng Gunung. Akibat inilah, langsung dirasakan Nyi Raspi, ia tidak bisa lagi mengantungkan hidupnya dari Ronggeng Gunung yang telah lebih dari tiga puluh tahun ditekuninya dan telah hilang hidupnya.
Undangan Ronggeng, semakin jarang diterimanya. Bahkan tak jarang dalam sebulan Nyi Raspi tak kedapatan kesempatan pentas. Akhirnya untuk mewariskan Ronggeng Gunung dirasakan Nyi Raspi semata-mata hanya untuk mengabadikan kesenian asli Ciamis Selatan ini.
Sama sekali dia tak berharap perongeng penerusnya nanti, kalaupun ada hidupnya tak sesulit dirinya. Ia tak ingin mewariskan kesulitan dan kepekatan. Ia hanya ingin melihat dan merasakan Ronggeng Gunung tetap ada.
Semoga Ronggeng Gunung akan tetap lestari.
Referensi:
http://ww1.indosiar.com/
http://www.antaraphoto.com
http://www.thejakartapost.
http://www.prakarsa-rakyat
http://galuh-purba.com/
Leave a respond
Posting Komentar