Godi Suwarna


Nama : Godi Suwarna

Lahir : Tasikmalaya, Jawa Barat,23 Mei 1956

Pendidikan : IKIP Bandung

Karier : Guru, Redaktur Surat Kabar Sipatahunan,PNS

Penghargaan :

Sutradara Terbaik PORSENI Jawa Barat (1980),

Sutradara Terbaik PORSENI Nasional (1981),

Buku Kumpulan Puisi Blues Kere Lauk memenangkan hadiah Sastra Rancage (1993),

Cerpen Serat Sarwasastra mendapatkan Hadiah Sastra Rancage (1996),

Naskah Novel Sandekala mendapat Hadiah Sastra Paguyuban Pasundan (1998),

Novel Deng mendapatkan Hadiah Sastra Oeton Moechtar (2000)

Kumpulan Cerpen :

Murang-Maring (1980),

Serat Sarwasatwa (1995)

Karya Sajak :

Antologi Puisi Sunda Mutahir

Jagad Alit (1979),

Surat-surat Kaliwat (1984),

Blues Kere Laut (1992)

Sajak Dongeng S. Ujang (1998),dll

Sejarah Singkat Kang Godi Suwarna

Lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 23 Mei 1956. Mulai mengarang puisi dan prosa dalam bahasa sunda sejak tahun 1976 saat ia masih duduk sebagai mahasiswa IKIP. Pernah ikut bermain, menyutradarai, dan menulis lakon, antara lain dalam Burung-burung Hitam, Orang-orang Kelam, Gaok-Gaok Geblek dan Gor-Gar

Selain mengarang, ia juga suka bermain drama sejak kecil. Saat kuliah, ia mendirikan Teater IKP Bandung dan ikut bermain di Studiklub Teater Bandung. Penulis cerita pendek dalam bahasa Sunda ini sempat mengikuti Utan Kayu International Literary Biennale dan International Poetry Festival Indonesia 2006.

Pernah terpilih sebagai sutradara terbaik dalam Pekan Olahraga dan Seni di tingkat Jawa Barat (1980) dan tingkat nasional (1981). Sajak, cerpen dan naskah novelnya telah memenangkan beberapa kali penghargaan karya sastra dari LBSS (Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda), Hadiah sastra Rancage, Hadiah Sastra DK Ardiwinata dan Hadiah Sastra Oeton Moechtar.

Kumpulan cerpennya antara lain Murang-Maring (1980), Serat Sarwasatwa (1995). Buku Blues Kere Lauk memenangkan hadiah Sastra Rancage (1993) dan Serat Sarwasastra mendapatkan Hadiah Sastra Rancage (1996), Naskah Novel Sandekala mendapat Hadiah Sastra Paguyuban Pasundan (1998) dan novel Deng mendapatkan Hadiah Sastra Oeton Moechtar (2000).

Sajak-sajaknya di terbitkan dalam buku Antalogi puisi Sunda Mutakhir (yang didalamnya berisikan karya-karya kawan seangkatannya seperti Eddy D Iskandar, Yoseph Iskandar, dll), Jagad Alit (1979), Surat-surat Kaliwat (1984), Blues Kere Laut (1992), Sajak Dongeng S. Ujang (1998).

Sejak tahun 1998, penulis yang kini menetap di Ciamis ini mengagas acara Nyiar Lumar, sebuah acara yang menggelar kesenian semalam suntuk di hutan keramat, Astana Gede, Kawali, peninggalan Kerajaan Galuh.


Dua Dimensi Déng

BOLEH jadi sekarang Godi Suwarna merupakan salah satu pengarang Sunda yang sedang berbahagia. Tiga tahun belakangan ini dapat dikatakan tahunnya Godi Suwarna. Dimulai dengan terbitnya novel Sandékala pada November 2007, dan lekas disambung dengan Hadiah Sastra Rancagé 2008 untuk novelnya tersebut, sebagai buku karya sastra terbaik. Di tahun 2009 ini, Godi kembali merilis novelnya yang kedua, Déng, dalam launching di CCF yang dilaksanakan pada Februari 2009.

Ketika mendengar kata "déng", mungkin konotasi yang didapatkan oleh pembaca adalah nama seorang tokoh besar pembangunan negeri Cina, Deng Xiaoping. Namun, sesungguhnya, antara "Deng" dari Cina dengan "déng" Godi Suwarna tak ada hubungan darah sama sekali. "Déng" yang saya bahas kali ini tak lebih dari sebuah ungkapan kata seru dalam bahasa Sunda. Sama halnya seperti kata "yeuh", "jih", atau "tah".

Ihwal kata "déng" yang dijadikan judul novel oleh Godi memang agak unik. Karena ditinjau dari segi geografis bahasa, pembaca akan menemukan kata tersebut hanya di wilayah Priangan timur yang mencakup daerah Ciamis dan Kuningan. Begitulah yang dipaparkan oleh Budi Rahayu Tamsyah, seorang pengarang Sunda dan penyusun beberapa buku bahasa Sunda, yang turut hadir dalam diskusi di CCF. Dan memang dari tiga kamus bahasa Sunda yang ada, penulis menemukan kata "déng" hanya pada Kamus Basa Sunda R.A. Danadibrata saja. Dalam kamus berentri 40.000 kata tersebut, secara leksikal kata "déng" sama artinya dengan "béng" yang berarti "kecap nu sok dipaké dina waktu humandeuar lantaran ménta teu dibéré atawa dibéréna ngan saeutik". Akan tetapi, sayang sekali, Ama Dana tidak mencantumkan keterangan mengenai daerah tempat digunakannya kata "déng" dalam kamusnya itu. Karena ada perbedaan makna antara "déng" versi kamus Danadibrata dengan "déng" versi novel Déng. Jika menurut kamus Danadibrata kata "déng" biasa digunakan ketika humandeuar (berkeluh kesah), dalam novel karya Godi Suwarna tersebut justru digunakan untuk menunjukan rasa empati terhadap seseorang. Sebagai gambaran, kita petik salah satu dialog tokoh Uyut dari novel Déng: "..... Bati karunya wé Uyut mah ka jenatna bapa manéh. Déng teuing, meunang tekal-tekil sakola, angger jadi bulu taneuh...." (Hal. 32).

Keunikan Déng tidak terletak pada nama judulnya saja. Dari segi isi, Déng sangat mirip dengan "kakaknya" terdahulu, Sandékala. Pada kedua novel tersebut, sejarah atau mitos dari dimensi mangsa bihari kembali dihadirkan ke dalam dimensi mangsa kiwari. Hingga tersirat ada semacam pengidentikkan tokoh dari mangsa bihari dengan tokoh novel yang berada di mangsa kiwari, lalu terjalin sebuah pengulangan peristiwa yang mirip dengan gejala de ja vu.

Pada Sandékala misalnya, tokoh Bagus merupakan "reinkarnasi" dari sosok Kakang Pawitan; seorang lelaki yang pernah menjadi kekasih Citraresmi, sebelum cinta keduanya putus akibat perjodohan Citra dengan Hayam Wuruk. Selanjutnya ada bagian yang menceritakan tokoh Bagus bertemu dengan seorang wanita misterius bernama Diah, yang dapat ditafsirkan sebagai Dyah Pitaloka, nama lain dari Citraresmi.

Sedangkan pada Déng, tokoh Ujang mengidentifikasi dirinya sebagai Sangkuriang. Ujang pun di kehidupan nyata mangsa kiwari mengalami gejala oedipus complex. Ia selalu bergetar hatinya jika melihat ibunya sendiri. Bertolak belakang dengan kebenciannya terhadap Pa Yuda -seorang mantan kuwu di era Orde Baru- yang selalu berusaha mendekati ibunya. Ujang menganggap Pa Yuda sebagai seekor anjing hitam besar yang suatu hari pernah ia temukan. Pa Yuda tak lain merupakan "satu kesatuan" dengan si Tumang dalam dimensi ketika Ujang menjadi Sangkuriang. Dan ternyata di kemudian hari Ujang pun tahu bahwa antara keduanya memang pernah terjadi perselingkuhan. Hingga lahirlah dirinya, seorang anak yang tak direncanakan.

Perpaduan antara dua dimensi itulah yang menjadikan novel Godi Suwarna ini begitu unik dibandingkan dengan novel-novel Sunda lainnya, yang memang masih terikat oleh tradisi realisme. Godi tidak saja berusaha mempertemukan ruang dan waktu dalam perjalanan hidup urang Sunda. Tetapi ia juga menghablurkan dunia realis dengan dunia surealis. Antara jagad profan yang kasatmata dengan alam transendental yang abstrak. Dan dengan bentuknya yang demikian, wajar jika membaca Déng kita dituntut untuk jeli dalam mengapresiasi cerita. Apalagi Godi sebagai narator memang melepaskan aspek story teller -satu hal yang biasa kita temukan dalam novel realis. Alur cerita Déng sarat akan rangkaian simbol-simbol yang harus diinterpretasikan kembali oleh pembaca.

**

PADA awalnya, Déng adalah sebuah naskah yang menjadi pinunjul dalam sayembara menulis novel Oeton Moechtar, yang diselenggarakan majalah Manglé pada tahun 2000. Satu tahun kemudian, Déng mulai dimuat bersambung di majalah Manglé. Namun bagi pembaca Déng versi majalah Manglé tampaknya akan merasa pangling jika kembali membaca ulang Déng versi cetak buku. Karena menurut pengakuan sang empunya karangan, sebelum dibukukan naskah Déng sempat mengalami revisi di sana-sini.

Déng mengisahkan keluarga yang terdiri atas Uyut, Ema, dan dua anak Ema, yaitu Asep dan Ujang. Di kampung tempat tinggalnya, mereka adalah salah satu dari sekian banyak keluarga yang menjadi korban kekejaman penguasa. Kakek Ujang yang terlibat dalam kegiatan PKI di zaman Orde Lama, hilang tak tentu rimbanya di alas pembuangan. Sedangkan ayah Ujang, suami Ema, meninggal akibat jatuh dari pohon kelapa. Belakangan diketahui, bahwa ayah Ujang sebetulnya menjadi korban pemukulan oleh aparat desa. Semasa hidupnya, ayah Ujang gigih memperjuangkan hak ganti rugi tanahnya yang terkena projek bendungan, yang memang proses pelaksanaannya sarat manipulasi dan pemaksaan. Begitu pula dengan Asep, kakak Ujang yang berstatus mahasiswa seni rupa di salah satu perguruan tinggi di Bandung. Dalam suasana merdeka di era reformasi, ia justru bernasib tragis. Akibat dari tindakannya melanjutkan perjuangan sang ayah, ia pun tewas dalam sebuah demonstrasi yang berakhir rusuh.

Selain mengangkat isu sosial, dalam novel Déng, Godi juga berusaha menyingkap tabir yang menyelubungi lika-liku dan ketimpangan naluri seksual manusia. Setidaknya empat tokoh novel Déng menggambarkan kecenderungan tersebut. Tokoh Pa Yuda misalnya. Ia tidak semata berperan sebagai komprador penguasa. Dalam waktu yang sama ia juga tampil sebagai si Tumang yang punya kuasa memuaskan birahinya dengan wanita-wanita desa. Hal ini sangat mirip dengan budaya nyanggrah yang biasa dilakukan ménak zaman kolonial. Sedangkan Ema, seorang istri juga ibu satu anak, ternyata tidak kuasa menolak tangan kekuasaan yang menodai dirinya. Hingga akhirnya lahir Ujang si anak sundal, yang perkembangan mentalnya terganggu akibat perlakuan kasar suami Ema. Selanjutnya, masa puber Ujang pun ditandai oleh gejala kelainan seksual. Di tengah keluarga Ujang, hadir pula tokoh Ratih; seorang biduan dangdut yang dicampakkan oleh supir backhoe yang membuntinginya, hingga Ratih pun mengalami sakit ingatan.

Pada sisi penyingkapan tabir seksual, Déng amat dekat dengan novel Sunda Asmaramurka karya Ahmad Bakri. Pengarang yang juga berasal dari Ciamis ini begitu fasih menelusuri kerumitan hasrat cinta dan naluri seksual manusia di tengah kentalnya dogma kehalusan budi jiwa urang Sunda. Namun, jika dibandingkan lebih jauh lagi, sebetulnya Déng lebih menyerupai Saman-nya Ayu Utami. Karena selain bertendensi perlawanan terhadap budaya tabu, keduanya juga sama-sama menawarkan pembangkangan terhadap penguasa. Maka timbul pertanyaan: Apakah Déng memang terpengaruhi oleh Saman -baik secara langsung maupun tidak langsung? Mungkin saja. Saya kira pertanyaan tersebut cukup wajar. Apalagi jika dilihat dari proses kreatif, antara Déng dan Saman hanya berselang dua tahun.

Namun yang jelas, Déng merupakan sebuah pembaharuan dalam ranah sastra Sunda. Déng juga hadir sebagai empati terhadap nasib rakyat kecil yang teraniaya. Dan seperti karya-karya Godi terdahulu, sangat mungkin jika Déng kembali akan menjadi nominasi kuat peraih Rancagé 2010. Semoga!***

Sumber:

http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/godi.html

http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=73068

Leave a respond

Posting Komentar