Saksikanlah Upacara Adat Tradisi Nyangku di Situ Lengkong Panjalu Ciamis Jawa Barat Pada Tanggal 23 Maret 2009

“"Singsaha anak incu kaula, isuk jaganing geto hirupna ingkar tina papagon hirup jeung papagon agama, hirupna moal jamuga,"”

Siapa yang tidak kenal dengan Situ Lengkong Panjalu? Mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita sebgai orang Sunda khususnya masyarakat di Bumi Tatar Galuh (Ciamis). Apalagi sejak kedatangan Gusdur pada Bulan Juli Tahun 2000 yang silam, pamor sejarah Situ Lengkong Panjalu pun mulai terkuak.

Situ Lengkong - Panjalu

Situ Lengkong Panjalu merupakan perpaduan antara objek wisata alat dan objek wisata budaya. Di objek wisata ini kita bisa menyaksikan indahnya danau (situ) yang berhawa sejuk dengan sebuah pulau terdapat di tengahnya yang disebut Nusa Larang. Di nusa ini terdapat Makam Hariang Kencana, putra dari Hariang Borosngora, Raja Panjalu yang membuat Situ Lengkong pada masa beliau menjadi raja kerajaan Panjalu.

Untuk menghormati jasa para leluhur Panjalu, maka sampai saat ini warga keturunan Panjalu biasa melaksanakan semacam upacara adat yang disebut Nyangku. Acara ini dilaksanakan pada tiap-tiap bulan Maulud dengan jalan membersihkan benda-benda pusaka yang disimpan di sebuah tempat khusus (semacam musium) yang disebut Bumi Alit.

Kegiatan wisata yang bisa dilaksanakan di sini antara lain: berperahu mengelilingi nusa, memancing, camping, dan sebagainya.

Objek wisata ini terletak di Desa/Kecamatan Panjalu dengan jarak kurang lebih 41 km dari kota Ciamis ke arat utara.

Sumber : http://sis.smkn1-cms.sch.id/ciamis/situlengkong.html

Tentunya acara adat Nyangku Di Situ Lengkong Panjalu ini adalah sebuah warisan kebudayaan yang harus tetap dilestarikan khsusnya untuk masyarakat Sunda. Banyak sekali hikmah yang bisa kita petik dari acara Adat Nyangku ini, yaitu sebuah bukti bahwa Islam telah telah disyi'arkan di Tatar Galuh Parahiyangan pada waktu itu dan acara Nyangku yang dilakukan pada setiap Bulan Mulud juga mengindikasikan bahwa nenek moyang kita telah mewariskan suri tauladan bagaimana cara yang harus kita lakukan untuk mengungkapan rasa kecintaan kita kepada Nabi Muhammad Saw.

Kebetulan saya mendapatkan informasi dari Bapak Ir. Enang Supena selaku ketua Yayasan Borongsora Cabang Jakarta, Beliau mengatakan bahwa acara Upacara Adat Tradisi Nyangku di Situ Lengkong Panjalu pada tahun 2009 akan dilakukan pada tanggal 23 maret nanti dan Upacara Adat tradisi Nyangku kali ini akan masuk dalam agenda Pariwisata Nasional . Saya kalau tidak ada halangan Insya Allah akan menghadiri acara ini, bagaimana dengan anda?

Dibawah ini ada sebuah liputan tentang acara Adat Nyangku Di Situ lengkong Panjalu yang saya ambil dari Liputan6.com tahun 2008.

Liputan6.com, Ciamis: Pagi datang menguak gelap, di sebuah danau keramat di Desa Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Alam kembali memutar siklus kehidupan di pucuk pedesaan Tanah Pasundan. Situ Lengkong, demikian dunia kecil ini disebut, adalah sebuah danau, tempat semua makluk bisa hidup selaras dalam ekositem yang tak pernah terganggu. Di sini pepohonan dan binatang hidup bebas tanpa terusik tangan-tangan jahil manusia. Sebuah fenomena luar biasa di tengah rusaknya sebagian besar belahan bumi oleh keserakahan.

Warga Desa Panjalu memang tak pernah berani mengusik kelestarian alam Situ Lengkong. Mereka memanfaatkan ala kadarnya melalui sebuah rapat adat yang ketat. Bagi mereka, ini adalah danau keramat, yang muncul bukan karena proses alam, namun karena kesaktian seorang leluhur di masa silam, Prabu Borosngora.

Syahdan, ketika masih menjadi putra mahkota, Borosngora berkelana ke tanah Arab untuk mendapatkan ilmu sejati. Saat pulang ia membawa dua buah benda pusaka: pedang Sayidina Ali dan semangkuk air zamzam. Air zamzam itu dia tuangkan ke tanah keraton. Ajaib, seketika di sekeliling keraton menjelma danau yang kemudian disebut Situ Lengkong itu.

Kini, Kerajaan Panjalu hanya tinggal kenangan sejarah. Panjalu pun telah berubah menjadi nama sebuah desa dan kecamatan. Tapi legenda Prabu Borosngorah kini telah menarik minat datangnya ratusan pengunjung untuk berziarah. Bagi mereka, kisah Prabu Borosngora tentu bukanlah sekadar mitos atau dongeng pengantar tidur. Karena itu, bagi mereka, adalah suatu keharusan untuk menghormati dan mengkeramatkan Borosngora, setidaknya pada jasanya yang telah membawa masuk ajaran Islam ke tanah Panjalu.

Dan saat bulan Maulud tiba, penghormatan itu pun akan mereka wujudkan dalam sebuah prosesi yang mereka sebut Nyangku--sebuah upacara yang dilakukan dengan cara memandikan beberapa pusaka Panjalu, termasuk pedang Sayidina Ali. Upacara ini menjadi agenda rutin setiap tanggal 24 bulan Maulud.

Saban tanggal itu tiba, kesibukan mulai terlihat di Desa Panjalu, pertanda upacara Nyangku akan digelar. Hampir semua warga Panjalu terlibat dalam prosesi besar. Para warga pun berkumpul di bumi alit, tempat pusaka raja-raja Panjalu disimpan. Agar lancar, para pupuhu atau sesepuh Panjalu telah mengatur warga dalam beberapa kelompok. Para pemuda bertugas sebagai tenaga jagabaya untuk mengamankan jalannya prosesi. Sedangkan kaum ibu sebagai pembawa air suci yang akan diambil dari sembilan mata air--simbol sembilan raja yang pernah menjadi pemimpin Panjalu.

Pusat segala prosesi ini berada pada keturunan langsung raja-raja Panjalu. Merekalah yang bertugas membawa benda-benda pusaka yang akan dibersihkan. Menjelang siang, upacara pengambilan benda-benda pusaka mulai dilakukan. Dalam sebuah ruangan khusus, juru kunci bumi alit memimpin jalannya prosesi. Sang juru kunci alias kuncen sebenarnya tak termasuk keturunan langsung raja-raja Panjalu. Namun jabatan sebagai penjaga benda-benda pusaka Panjalu, diperolehnya secara turun-temurun. Di antara pusaka ini ada sebuah pusaka yang dianggap paling keramat, yakni pedang Sayidina Ali. Sebuah pedang yang konon dibawa Borosngora dari tanah Arab, pemberian Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Selepas pembacaan doa, giliran para pangais atawa pembawa benda pusaka bekerja. Mereka khusus dipilih dari lingkar kerabat keturunan raja-raja Panjalu. Dalam sebuah rombongan besar, pusaka-pusaka ini diarak ke Situ Lengkong dan dimandikan di balai desa.

Dan puncak acara Nyangku pun dimulai. Dalam iringan musik gembyung, benda-benda pusaka diarak menyusuri jalan desa untuk dibawa ke pemandian. Prosesi diawali pembawa dupa, diikuti para keturunan Borosngora sebagai pembawa pusaka atau pangais. Bagi masyarakat Panjalu, arakan ini bukan sekadar tontonan. Prosesi yang kental dengan nuansa Islami ini juga penuh dengan makna-makna simbolik tentang kematian dan ketidaklanggengan kehidupan. Itu ditunjukkan melalui sosok pangais yang membawa pusaka dengan cara seperti menggendong sesosok mayat.

Tak berapa lama arakan tiba di Situ Lengkong dan peserta upacara pun menyeberang ke Pulau Nusa Gede. Di pulau yang diyakini sebagai bekas pusat pemerintahan Panjalu ini, doa kembali dipanjatkan. Mereka memohon kepada Yang Maha Asih untuk mengampunkan dosa-dosa nenek moyang. Salawat kembali didengungkan untuk mengiringi pusaka yang akan dimandikan di sebuah panggung. Layaknya jenazah manusia yang meninggal dunia, pusaka-pusaka yang dibungkus kain mori ini dibuka ikatannya untuk segera dimandikan.

Inilah sebuah momen setiap tahun, saat warga Desa Panjalu dapat melihat langsung benda-benda pusaka warisan leluhur mereka dalam bentuknya yang asli. Satu demi satu pusaka-pusaka keramat ini dimandikan. Namun kehebohan terjadi saat Pedang pemberian Sayidina Ali dan kujang milik Sang Hyang Prabu Borosngora dimandikan. Ribuan penonton yang hadir mengelilingi panggung berebut untuk menampung air yang dipakai untuk mencuci pusaka-pusaka tersebut. Sebuah fenomena yang memang terkesan irasional.

Namun, bagi mereka ada sebuah kepercayaan dan keyakinan bahwa apapun yang bersentuhan dengan pusaka-pusaka ini mengandung kedigdayaan untuk memberikan berkah bagi kehidupan mereka. Mereka meyakini bahwa air ini bisa menyembuhkan penyakit dan menolak malapetaka. Ritual Nyangku berakhir menjelang petang. Benda-benda pusaka kembali dibungkus dalam kain mori untuk disimpan lagi di bumi alit. Maulud tahun depan, ritual yang sama akan digelar dan pusaka-pusaka itu akan kembali dimandikan.(RSB/Tim Liputan 6)

2 comments

Urang ciamiez nu keur neanga jatidiri 8 Maret 2009 pukul 13.12

Rampes!!!hatur nuhun komentarna!kang ciamisna timana?kang kuring teh masih awam kana blog,tapi hayang di aku jadi komunitas blogger ciamis tapi can apal kumaha carana,ech ari komunitas blogger ciamis sok aya acara kumpul2 bareng tara?

Urang ciamiez nu keur neanga jatidiri 9 Maret 2009 pukul 18.58

Hatur nuhun informasi na kang! Kuring ti baregbeg,tepat na mah d jelat.

Posting Komentar