TINGGAL NAMANYA


Allah menyebut perbuatan orang-orang jahiliyah sebagai “shalat”, sebuah ritual paling tinggi dilakukan hamba di hadapan Penciptanya. Perhatikan pula olehmu akan tempat di mana mereka berbuat : Baitullah, sebuah tempat yang paling suci dan mulia di alam dunia....

TINGGAL NAMANYA

Oleh : H. Syarif Rahmat RA, SQ, MA


“Sembahyanglah mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu “ (Al Anfaal [9] : 35)

Perhatikan olehmu ayat di atas. Allah menyebut perbuatan orang-orang jahiliyah sebagai “shalat”, sebuah ritual paling tinggi dilakukan hamba di hadapan Penciptanya. Perhatikan pula olehmu akan tempat di mana mereka berbuat : Baitullah, sebuah tempat yang paling suci dan mulia di alam dunia. Tetapi perhatikanlah bagaimana Allah mengahiri firman-Nya tentang mereka itu: Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. Patutlah kita merenung mengapa sedemikian marah Allah kepada orang-orang yang menunaikan shalat di depan rumah-Nya? Bukankah Dia telah menjanjikan pahala seratus ribu kali dibandingkan tempat lain di muka bumi? Sungguh Tuhan tidak pernah mengingkari janji-Nya, tetapi manusialah yang menodai syariat-Nya hingga kemuliaan sebuah ibadah dan tempat tak lagi memberi guna bagi mereka. Mengapa? Karena mereka menjalankan syariat tidak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkannya. Shalat yang mereka kerjakan hanyalah namanya sedangkan prakteknya tak sesuai ketentuannya.

Semenjak sebelum kerasulan Muhammad SAW, Allah telah mensyariatkan Sa’i antara Shafa dan Marwah. Hamba-hamba Allah senantiasa melakukan perintah tersebut dengan sebaik-baiknya. Lambat laun perubahan pun terjadi, ibadah dengan judul Sa’i memang terus dilakukan, tetapi tata caranya yang ada perubahan. Jika dulu Sa’i hanya dengan berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah, pada masa jahiliyah, Sa’i dilakukan dengan cara mengusap patung laki-laki dan perempuan, Isaf dan Nai’ilah, konon tadinya adalah sepasang muda mudi yang berzina dan diubah menjadi batu. Karena itu tidak mengherankan bila diantara sahabat Nabi yang tidak mau melakukan Sa’i, sebab menurut pikirannya perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela di hadapan Allah. Padalah ibadah Sa’i bukanlah yang Allah perintahkan bukanlah seperti itu. Berkenaan dengan masalah ini Allah menurunkan firman-Nya :

”Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah. Maka tidak ada dosa baginya mengerjakan Sa’i antara keduanya dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui” (Qs. Al Baqarah [2] : 158)

Ali Bin Abi Thalib pernah menyampaikan prediksi Rasulullah SAW yang lebih kurang ”Akan tiba satu masa di tengah kehidupan manusia di mana Islam tinggal namanya, Al Qur’an tinggal tulisannya, orang-orang memakmurkan masjid namun sunyi dari dzikrullah, seburuk-buruk manusia pada masa itu adalah para ulamanya dari merekalah datangnya fitnah dan kepada mereka pula akan kembali”

Sebuah pesantren besar berdiri di sebuah wilayah di Jawa Barat. Pada bulan Dzulhijjah sebagaimana kaum muslimin yang lain mereka melaksanakan ibadah Qurban. Tetapi Qurban yang dilangsungkan di tempat tersebut tidak sepenuhnya seperti yang telah berjalan selama ini. Menurut pimpinan pesantren tersebut, Qurban tidaklah harus selalu dipahami sebagai memotong hewan, sebab inti dari qurban adalah menghapuskan sifat kikir dan tamak seorang muslim. Oleh karena itu, katanya Qurban hari ini dapat direalisasikan dalam bentuk menyumbangkan sebagian hartanya untuk pembangunan pondok pesantren. Jika benar fatwa seperti ini keluar dari seorang pimpinan pesantren, maka dapat dikatakan bahwa ia dan lembaganya telah menyebarkan kesesatan di tengah umat Islam, sebab yang dituju dengan Qurban surat Al Kautsar ayat 2 adalah ”menyembelih binatang” dengan cara memotong urat lehernya.

Sejak beberapa tahun terakhir gelora zakat di Indonesia sangat menggembirakan seiring upaya Majelis Ulama Indonesia yang terus menyuarakannya semenjak era pemerintahan BJ Habibie. Tetapi di sisi lain, bermunculannya sekelompok lembaga atau badan yang menangani zakat, pelaksanaan rukun Islam nomor tiga ini mulai mengkhawatirkan. Pengumpulan zakat yang seharusnya dilakukan berdasarkan wilayah tempat tinggal si Muzakki (orang yang menyerahkan zakat) berubah menjadi wilayah ”suka-suka”. Berbagai spanduk di pinggiran jalan bertaburan lengkap dengan nomor rekeningnya yang intinya bersedia menerima dan menyalurkan zakat. Kemudian sang muzakki mentransfer uangnya melalui nomor tersebut. Ada juga diantara mereka yang membuat badan zakat di kantor-kantor sehingga para karyawan membayar zakat melalui badan tersebut. Selanjutnya seperti yang sering kami dengar hasil pengumpulan zakat tersebut dibagikan kepada para mustahik dari lingkungan kantor tadi. Mereka tidak tahu bahwa pengaturan zakat seperti ini tidaklah sah menurut ketentuan syariat. Yang lebih parah adalah ketika para Amilin mendayagunakan harta zakat tadi menjadi bangunan sekolah atau sejenisnya. Bahkan ada juga yang digunakan untuk membangun sekretariat zakat atau fasilitas yang berkaitan dengannya. Lalu setiap bulan, para ”karyawan” zakat itu mendapatkan gaji. Mereka tidak tahu bahwa cara seperti itu adalah haram menurut ketentuan syari’at berdasarkan kesepakatan ulama. Lebih menyedihkan ketika kita melihat kenyataan fakir miskin tidak jelas kapan mendapatkan haknya.

Semenjak beberapa waktu lalu dana dari hasil zakat itu digunakan untuk pengobatan Cuma-Cuma. Itu artinya zakat hanya akan diberikan kepada mereka yang sakit. Padahal tidak semua orang fakir miskin itu sakit dan tidak semua kebutuhan mendesak mereka adalah mengobati keluarganya yang sakit. Dan sekarang sedang direncakan akan mendirikan rumah sakit zakat. Belum diketahui secara pasti apakah rumah sakit itu statusnya milik para mustahiq ataukah milik lembaga yang mengelolanya. Jika ia dianggap milik mustahiq, lalu kapankah mereka mengetahui dan mendapatkan haknya dan bagaimana pula dengan keuntungannya? Sedangkan jika rumah sakit tersebut dianggap milik para pengelola, bukankah ini merupakan pencurian terorganisir atas hak-hak fakir miskin?

Penyimpangan terjadi pula pada ”pemilihan” orang-orang yang menerima zakat. Ada indikasi kuat selama ini peneluran zakat dilakukan melalui jalur organisasi massa atau politi tertentu. Padahal tugas amilin itu adalah menyerahkan harta zakat itu sesegara mungkin kepada para pemiliknya dan bukan menyimpan, membungakan atau menentukan sendiri siapa yang berhak menerima zakat adalah delapan golongan yang telah ditentukan Al Qur’an yang berada di daerah atau lingkungan terdekat si muzakki. Sangat mudah bukan?

Kenyataan ini telah menimbulkan kekurangpercayaan masyarakat yang mengetahui ketentuan hukum syari’at kepada lembaga atau badan zakat yang ada. Akhirnya mereka menempuh jalan kedua yang paling aman yaitu dengan membagikannya langsung kepada para mustahik. Tetapi ini pun berbuah fatal, 21 orang di Jember meninggal dunia karena berebutan mengambil zakat. Barangkali ini hanya satu contoh saja. Bisa jadi masih ada kejadian lain yang tidak terdata oleh media massa.

Meskipun apa yang dilakukan muzakki yang memberikan Rp 40.000 kepada setiap orang itu sudah lebih baik dibandingkan lembaga-lembaga zakat sebagaimana disebutkan di atas, namun akan lebih baik jika sebelum membagikan zakat itu terlebih dahulu membaca Al Qur’an atau bertanya kepada ulama yang ikhlas. Bukankah Al Qur’an ketika berbicara tentang zakat menggunakan kata ”atu” yang berarti ” datangkanlah zakat” atau ”antarkanlah zakat”.

Jadi yang paling baik adalah muzakki mengantarkannya. Kalaupun harus melalui amilin, maka amilin itu harus segera mengantarkannya. Tetapi sangat disayangkan mereka justru harus datang mengantri di kediaman muzakki sehingga yang terjadi adalah kerusakan. Itu belum lagi kesan batiniyah yang timbul. Orang-orang fakir miskin itu terasa dihinakan, sehingga bisa jadi banyak yang tidak mau datang mengambil haknya karena malu.

Di sisi lain, para muzakki dengan model seperti ini rawan riya karena beranggapan bahwa dirinya telah ”memberi” kepada sesama. Ingat, harta zakat bukan miliki si orang kaya, tetapi milik fakir miskin yang dititipkan kepada mereka. Mereka harus mengantarkannya, tidak menahannya, tidak memakannya dan tidak pula memberikannya kepada yang bukan si pemiliknya.

Wallahu’alam

Sumber : Jakarta Islamic center





Leave a respond

Posting Komentar