Semangat Kegaluhan di Perantauan, Galuh Sebagai Identitas Diri


Photo: wacananusantara.com
Oleh: Mustafid*

Bergulirnya wacana perubahan nama Kabupaten Ciamis menjadi Kabupaten Galuh sangat menarik untuk diikuti, apalagi bagi masyarakat Ciamis yang ada di perantauan. Semangat Kegaluhan di perantauan terlihat dari penggunaan nama berbagai organisasi pelajar dan mahasiswa serta kawargian atau paguyuban masyarakat yang berasal dari Ciamis, sebut saja Galuh Jaya dan Paguyuban Wargi Galuh di Jakarta, Galuh Taruna dan Wargi Galuh di Bandung, Galuh Pamitran di Purwokerto, serta Galuh Rahayu di Yogyakarta. Dengan pencatutan nama Galuh sebagai identitas diri berbagai organisasi pelajar dan mahasiswa serta kawargian atau paguyuban masyarakat yang berasal dari Ciamis di perantauan mengindikasikan bahwa nama Galuh diyakini lebih memiliki nilai filosofis dan historis ketimbang nama Ciamis.

Perlu digaris bawahi, identitas Galuh yang digunakan oleh berbagai komunitas di perantauan ini bukan berdasar pada romantisme sejarah karena Galuh pernah meraih zaman keemasan pada masa itu, akan tetapi lebih mengacu kepada semangat kegaluhan kekinian. Dalam artian bagaimana caranya memberikan sumbangsih kepada masyarakat tatar Galuh melalui ide, gagasan, maupun tenaga dengan semangat kegaluhannya.

Perubahan nama Ciamis menjadidi Galuh bukanlah suatu yang mustahil, peraturan perubahan nama daerah telah diatur dalam Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 Pasal 7 ayat 1 dan 2 Tentang Pemerintah Daerah. Dalam Undang-Undang ini jelas tertulis perubahan nama daerah bisa dilakukan atas usul dan persetujuan daerah yang bersangkutan. Jadi, apabila masyarakat Ciamis menginginkan perubahan nama Ciamis menjadi Galuh, maka masyarakat Ciamis harus menyuarakan perubahan nama tersebut kepada Bupati Ciamis, selanjutnya Bupati Ciamis meneruskan usulan masyarakat tersebut kepada DPRD Ciamis untuk memperoleh persetujuan. Di tangan wakil rakyat Ciamis inilah sebagai penentu di setujui atau tidaknya pergantian nama Ciamis menjadi Galuh.



Perlu Kajian Mendalam

Penulis menilai, pro dan kontra wacana perubahan nama Kabupaten Ciamis menjadi Kabupaten Galuh memerlukan kajian yang mendalam, mengingat terbatasnya sumber yang bisa menjadi rujukan untuk meluruskan berbagai macam kejanggalan maupun distorsi sejarah yang terjadi untuk menelusuri jejak perjalanan kerajaan Galuh silam hingga menjadi Kabupaten Ciamis. Kasus kejangalan pada Galuh silam hingga menjadi Kabupaten Ciamis ini sangat jelas sekali terlihat pada perubahan nama Kabupaten Galuh menjadi Kabupaten Ciamis dan penetapan hari jadi Ciamis.

Perubahan nama Kabupaten Ciamis menjadi Galuh cenderung berbau nuansa politis yang terjadi pada waktu itu, dimana Pemerintah Hindia Belanda tidak mengangkat bupati yang berasal dari keturunan R.P.A Jayanagara, akan tetapi mengangkat Tumenggung Sastrawinata yang berasal dari Purwakarta sebagai Bupati Galuh. Hal ini dikarenakan, banyak anggota keluarga Bupati Galuh keturunan R.P.A Jayanagara yang menentang kekuasaan Belanda. Pada masa kepemimpinan Tumenggung Sastrawinata (1914-1936) inilah nama Kabupaten Galuh  diganti menjadi Kabupaten Ciamis dengan alasan yang tidak jelas setelah Galuh dilepas dari wilayah administratif Cirebon dan dimasukkan ke Keresidenan Priangan. Sejak saat itu nama Galuh perlahan memudar dan tidak dipakai lagi, hanya dipakai pada hal-hal yang berkaitan dengan budaya dan sejarah.

Hampir sama dengan perubahan nama Kabupaten Galuh menjadi Ciamis, penetapan hari jadi Ciamis pun menuai pro dan kontra. Hari Jadi Ciamis yang ditetapkan oleh DPRD Ciamis tanggal 17 Mei 1972 NOMOR: 22/V/KPTS/DPRD/ 1972 memutuskan 12 Juni 1642 sebagai hari jadi Ciamis pun terasa janggal dan terkesan bias. Pasalnya, alasan atau dasar pertimbangannya sekedar berdasar pada perpindahan ibukota kabupaten Galuh ke Barunay.

Menurut Sejarawan Sunda Nina Lubis, sejatinya Hari Jadi Ciamis mengacu pada saat berpindahnya pusat pemerintahan dari Imbanagara ke Cibatu (Ciamis) kepada
Bupati Raden Aa wiradikusumah pada tanggal 15 januari 1815,
dimana pada saat itu Kabupaten Imbanagara beralih nama menjadi Kabupaten Galuh dengan ibukotanya di Ciamis dan secara resmi nama ini diakui oleh Hindia Belanda diakhir pemerintahan Raffles.

Senada dengan Nina Lubis, Sejarawan asal Ciamis Dr. A. Sobana Hardjasaputra, S.S., M.A, menjelaskan pemilihan tanggal 12 Juni 1642 sebagai hari jadi Ciamist perlu dikaji secara objektif dan kritis, karena pemilihan tanggal 12 Juni 1642 sebagai Hari Jadi Kabupaten Ciamis atau Hari Jadi Kabupaten Galuh sekalipun adalah keliru atau kurang tepat. Pertama, bagi orang yang tidak memahami sejarah Galuh, pemilihan tanggal tersebut akan mengandung arti bahwa Kabupaten Galuh berdiri pada tanggal 12 Juni 1642, padahal jauh sebelum tanggal itu Kabupaten Galuh sudah berdiri. Hal itu berarti pemahaman akan "tonggak" jati diri kabupaten itu menjadi salah.

Atas dasar hal tersebut dan untuk kebenaran sejarah, seyogyanya hari jadi Kabupaten Ciamis dikaji ulang. Hari jadi Kabupaten Ciamis seharusnya mengacu pada momentum awal berdirinya kabupaten itu, atau mengacu pada tanggal perubahan nama kabupaten dari Kabupaten Galuh menjadi Kabupaten Ciamis.

Oleh karena itu, menurut penulis perlu dibentuk tim pengkajian sejarah yang benar-benar mampu merumuskan rekam jejak sejarah yang terjadi di Tatar Galuh ini sehingga menjadi sumber acuan historis yang valid untuk meluruskan berbagai kejanggalan dan distorsi sejarah yang terjadi.

Terkait keinginan tokoh masyarakat yang menginginkan perubahan nama Kabupaten Ciamis menjadi Kabupaten Galuh seharusnya direspon positif, karena dengan menanamkan semangat kegaluhan maka kita akan menemukan identitas diri sebagai orang galuh yang berfalsafah. “ Pakena Gawe Rahayu Pakeun Heubeul Jaya Dibuana, Mahayunan Ayuna Kadatuan”
* Penulis, aktif dalam Organisasi mahasiswa daerah asal Ciamis di Jakarta (Keluarga Besar Mahasiswa Galuh Jaya) kini tengah menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Manajemen Pendidikan.

Leave a respond

Posting Komentar