Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) Tangerang Selatan (Tangsel) tinggal di depan mata., rencananya Pemilukada Tangsel akan digelar pada November 2010 mendatang. Pemilukada Tangsel memang unik, pasalnya Pemilukada ini adalah kali pertama yang dilakukan di Kota hasil pemekaran dari Kabupaten Tangerang untuk menentukan siapa pemimpin daerahnya selama lima tahun ke depan.
Hal yang menarik menjelang Pemilukada di Tangsel saat ini yakni dengan digemborkannya isu putra daerah. Akhir-akhir ini putra daerah diyakini menjadi suatu keharusan yang dimiliki oleh seorang calon pemimpin daerah. Sehingga tidak mengherankan jika seorang kandidat menambahkan keterangan putra daerah pada setiap kampanyenya dengan propaganda jargon-jargon politik untuk menarik simpatik masyarakat.
Beberapa kandidat yang sebelumnya tidak pernah berbuat apapun untuk kemajuan daerahnya tiba-tiba menampilkan dirinya dengan penuh kebanggaan diri sebagai asli putra daerah. Merasa dirinya cerdas membangun Tangsel, merasa sudah saatnya dari putra daerah yang memimpin Tangsel, ataupun menyatakan dirinya siap memimpin Tangsel. Padahal apabila kita cermati, kultur Masyarakat Tangsel adalah masyarakat yang heterogen, tumbuh dan berkembang dalam tata kehidupan yang metropolis dan plural. Kota Tangsel tidak mungkin hanya terdapat satu macam suku atau pun ras tapi terdiri dari berbagai macam suku dari berbagai daerah yang datang dan menetap di daerah ini.
Berbagai jenis suku dan etnis ada di wilayah dengan masyarakatnya yang plural, seperti etnis Betawi, Sunda, Jawa, Tionghoa, Minang, dan ragam etnis lainnya. Apalagi di Kota Tangsel banyak kaum pendatang (masyarakat urban-red).
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan oleh pusat pembinaan dan pengembangan bahasa depdikbud republik Indonesia tidak terdapat arti dari kata putra daerah. Kata yang berdekatan ialah bumi putera yang memiliki arti anak negeri atau penduduk asli atau pribumi.
Masih berdasarkan kamus tersebut jika kata putra daerah dibagi dua, yakni putra dan daerah, maka didapati arti putra yaitu anak laki-laki dan daerah yakni suatu tempat sekeliling atau yang termasuk di lingkungan suatu kota, wilayah, dll. Sedangkan menurut webstern dictionary kata putra daerah lebih dekat kepada kata native (orang pribumi) yang artinya an origin in habitant (penduduk asli) or long life resident (penduduk tetap) atau existing in or belonging to one by nature (seseorang yang tinggal di daerah tersebut) atau belonging to a place by a birth (seseorang yang lahir di daerah tersebut).
Putra daerah tidak dapat didefenisikan secara sempit.
Putra daerah tidak hanya dapat di artikan sebagai orang yang merupakan penduduk asli dari suatu daerah atau merupakan suku dari suatu daerah tersebut.
Inilah salah satu khazanah kekayaan budaya Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam ras dan suku. Jika pemahaman-pemahaman tentang putra daerah ini terus dikembangkan maka akan memicu timbulnya semangat primordialisme atau rasa kesukuan yang berlebihan yang dapat mengancam keutuhan suatu daerah bahkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nuansa Suku, Agama
Bahkan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutannya pada peringatan pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 di Gedung MPR/DPR/DPD beberapa waktu lalu, menurut penilaiannya dalam Pemilukada selama ini masih terdapat nuansa yang jauh dari semangat kebangsaan karena lebih mengedepankan identitas suku, agama, dan ikatan primordialisme lainnya.
Kemunculan ikatan kedaerahan yang sempit sebagai pengaruh negatif dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu harus dicegah. Bahkan, Presiden meminta agar pemimpin dan tokoh di seluruh Indonesia harus menjadi pelopor semangat kebangsaan dan bukan justru ikut-ikutan mengembangkan ikatan primordial yang merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Desentralisasi dan otonomi daerah sebagai koreksi dari kebijakan pemerintah di masa lalu yang sangat sentralistik, harus diambil peluang positifnya guna meratakan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan efek negatifnya yang menjauh dari semangat kebangsaan harus dicegah sehingga tidak semakin membesar.
Dalam pemilihan pemimpin daerah yang harus diutamakan ialah tentang kapabilitas dari calon-calon pemimpin tersebut. Pemimpin yang dibutuhkan oleh masyarakat yakni seseorang memiliki kepedulian jiwa sosial yang tinggi dan melakukan tindakan nyata (real action) kepada masyarakat, jadi bukan hanya slogan semata.
Persoalan putra daerah sejatinya tidak lagi sesuai dengan konteks kekinian, karena memang tidak kontekstual, hanya sebatas tekstual semata. Atas dasar itulah, semestinya kita membangun cara berpikir dan sikap kita untuk menilai para pemimpin berdasar atas sejauh mana integritas, kompetensi, kapabilitas dan akseptabilitasnya. Bukan atas dasar ragam propaganda dan retorikannya, apalagi ragam propaganda dan retorika yang kurang relevan dengan konteks kekinian seperti isu putra daerah dengan tiba-tiba menampilkan dirinya sebagai putra daerah namun sebelumnya tidak ada kontribusi nyata yang diberikan kepada daerahnya.
Terlepas dari itu semua, saat ini masyarakat Tangsel membutuhkan sosok pemimpin yang benar-benar mempunyai kepedulian yang tinggi dengan melakukan tindakan yang nyata kepada masyarakat untuk menata Tangsel ke depan, dan masyarakatlah yang nanti akan menentukan siapa yang layak untuk memimpin Tangsel.
Hal yang menarik menjelang Pemilukada di Tangsel saat ini yakni dengan digemborkannya isu putra daerah. Akhir-akhir ini putra daerah diyakini menjadi suatu keharusan yang dimiliki oleh seorang calon pemimpin daerah. Sehingga tidak mengherankan jika seorang kandidat menambahkan keterangan putra daerah pada setiap kampanyenya dengan propaganda jargon-jargon politik untuk menarik simpatik masyarakat.
Beberapa kandidat yang sebelumnya tidak pernah berbuat apapun untuk kemajuan daerahnya tiba-tiba menampilkan dirinya dengan penuh kebanggaan diri sebagai asli putra daerah. Merasa dirinya cerdas membangun Tangsel, merasa sudah saatnya dari putra daerah yang memimpin Tangsel, ataupun menyatakan dirinya siap memimpin Tangsel. Padahal apabila kita cermati, kultur Masyarakat Tangsel adalah masyarakat yang heterogen, tumbuh dan berkembang dalam tata kehidupan yang metropolis dan plural. Kota Tangsel tidak mungkin hanya terdapat satu macam suku atau pun ras tapi terdiri dari berbagai macam suku dari berbagai daerah yang datang dan menetap di daerah ini.
Berbagai jenis suku dan etnis ada di wilayah dengan masyarakatnya yang plural, seperti etnis Betawi, Sunda, Jawa, Tionghoa, Minang, dan ragam etnis lainnya. Apalagi di Kota Tangsel banyak kaum pendatang (masyarakat urban-red).
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan oleh pusat pembinaan dan pengembangan bahasa depdikbud republik Indonesia tidak terdapat arti dari kata putra daerah. Kata yang berdekatan ialah bumi putera yang memiliki arti anak negeri atau penduduk asli atau pribumi.
Masih berdasarkan kamus tersebut jika kata putra daerah dibagi dua, yakni putra dan daerah, maka didapati arti putra yaitu anak laki-laki dan daerah yakni suatu tempat sekeliling atau yang termasuk di lingkungan suatu kota, wilayah, dll. Sedangkan menurut webstern dictionary kata putra daerah lebih dekat kepada kata native (orang pribumi) yang artinya an origin in habitant (penduduk asli) or long life resident (penduduk tetap) atau existing in or belonging to one by nature (seseorang yang tinggal di daerah tersebut) atau belonging to a place by a birth (seseorang yang lahir di daerah tersebut).
Putra daerah tidak dapat didefenisikan secara sempit.
Putra daerah tidak hanya dapat di artikan sebagai orang yang merupakan penduduk asli dari suatu daerah atau merupakan suku dari suatu daerah tersebut.
Inilah salah satu khazanah kekayaan budaya Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam ras dan suku. Jika pemahaman-pemahaman tentang putra daerah ini terus dikembangkan maka akan memicu timbulnya semangat primordialisme atau rasa kesukuan yang berlebihan yang dapat mengancam keutuhan suatu daerah bahkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nuansa Suku, Agama
Bahkan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutannya pada peringatan pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 di Gedung MPR/DPR/DPD beberapa waktu lalu, menurut penilaiannya dalam Pemilukada selama ini masih terdapat nuansa yang jauh dari semangat kebangsaan karena lebih mengedepankan identitas suku, agama, dan ikatan primordialisme lainnya.
Kemunculan ikatan kedaerahan yang sempit sebagai pengaruh negatif dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu harus dicegah. Bahkan, Presiden meminta agar pemimpin dan tokoh di seluruh Indonesia harus menjadi pelopor semangat kebangsaan dan bukan justru ikut-ikutan mengembangkan ikatan primordial yang merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Desentralisasi dan otonomi daerah sebagai koreksi dari kebijakan pemerintah di masa lalu yang sangat sentralistik, harus diambil peluang positifnya guna meratakan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan efek negatifnya yang menjauh dari semangat kebangsaan harus dicegah sehingga tidak semakin membesar.
Dalam pemilihan pemimpin daerah yang harus diutamakan ialah tentang kapabilitas dari calon-calon pemimpin tersebut. Pemimpin yang dibutuhkan oleh masyarakat yakni seseorang memiliki kepedulian jiwa sosial yang tinggi dan melakukan tindakan nyata (real action) kepada masyarakat, jadi bukan hanya slogan semata.
Persoalan putra daerah sejatinya tidak lagi sesuai dengan konteks kekinian, karena memang tidak kontekstual, hanya sebatas tekstual semata. Atas dasar itulah, semestinya kita membangun cara berpikir dan sikap kita untuk menilai para pemimpin berdasar atas sejauh mana integritas, kompetensi, kapabilitas dan akseptabilitasnya. Bukan atas dasar ragam propaganda dan retorikannya, apalagi ragam propaganda dan retorika yang kurang relevan dengan konteks kekinian seperti isu putra daerah dengan tiba-tiba menampilkan dirinya sebagai putra daerah namun sebelumnya tidak ada kontribusi nyata yang diberikan kepada daerahnya.
Terlepas dari itu semua, saat ini masyarakat Tangsel membutuhkan sosok pemimpin yang benar-benar mempunyai kepedulian yang tinggi dengan melakukan tindakan yang nyata kepada masyarakat untuk menata Tangsel ke depan, dan masyarakatlah yang nanti akan menentukan siapa yang layak untuk memimpin Tangsel.
Dimuat di Harian Tangerang Ekspres, dan Tangerang News.com
Leave a respond
Posting Komentar