Dalam peta Pulau Jawa sekarang, dapat dikenali nama “Galuh” di berbagai tempat, baik sebagai kata yang berdiri sendiri maupun dirangkaikan dengan kata lain atau suku kata tambahan. Nama tempat ini umumnya terdapat di perbatasan antara Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Jawa Barat, misalnya Galuh (Purbalingga), Galuh Timur (Bumiayu), Sirah Galuh (Cilacap), Segaluh dan Sungai Begaluh (Leksono), Samigaluh (Purworejo), Rajagaluh (Majalengka). Di Jawa Timur juga dikenal nama Hujung Galuh.
Dengan banyaknya nama yang berkaitan dengan “Galuh” yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat, maka menurut sejarawan W. J. van der Meulen, nama-nama itu kemungkinan besar merupakan perluasan ke sebelah timur dari wilayah yang sangat mungkin bersifat pusat asli daerah (kerajaan) Galuh, yaitu di sekitar Kawali (Kabupaten Ciamis sekarang).
Keberadaan Kerajaan Galuh merujuk kepada sumber-sumber sejarah yang sejaman dengan masa Kerajaan Galuh atau lebih mendekati jaman kerajaan Galuh (yang disebut sumber primer), yaitu naskah Sanghyan Siksa Kanda ng Karesian (ditulis tahun 1518 ketika Kerajaan Sunda masih berdiri) dan naskah Carita Parahiyangan (ditulis tahun 1580, setelah Kerajaan Sunda runtuh) dan, untuk abad 16-20, diperkuat dengan berita atau catatan yang dibuat oleh orang Portugis ataupun catatan VOC.
Pembuktian Historis
Untuk meneliti secara historis kapan Kerajaan Galuh didirikan, dapat dilacak dari sumber-sumber sejaman berupa prasasti. Ada beberapa prasasti yang memuat nama “Galuh”, meskipun tanpa disertai penjelasan tentang lokasi dan waktunya. Dalam prasasti berangka tahun 910, Raja Balitung disebut sebagai “Rakai Galuh”. Dalam prasasti Siman berangka tahun 943, disebutkan bahwa “kadatwan rahyangta I bhumi mataram ingwatu galuh”. Kemudian dalam sebuah piagam yang dikenal sebagai piagam Calcutta disebutkan bahwa “para musuh penyerang Airlangga lari ke Galuh dan barat; mereka dimusnahkan dalam tahun 1031.
Dalam prasasti yang letaknya lebih dekat dengan Jawa Barat, yaitu prasati yang terletak di halaman percandian gunung Wukir di Dukuh Canggal (dekat Muntilan sekarang) yang berangka tahun 732, disebutkan bahwa “Sanjaya telah menggantikan raja sebelumnya yang bernama Sanna. Sanjaya adalah anak Sannaha, saudara perempuan Sanna”. Tampaknya isi prasasti ini ada hubungannya dengan naskah Carita Parahyangan. Naskah ini mengungkapkan bahwa raja Sena yang berkuasa di Galuh dikalahkan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu sang raja. Raja Sena dibuang ke Gunung Merapi bersama keluarganya, dan setelah dewasa Sanjaya berhasil mengalahkan Rahyang Purbasora. Nama Galuh sebagai ibu kota disebut berkali-kali dalam naskah ini. Selain itu, nama-nama tempat yang disebutkan dalam naskah ini pada umumnya terletak di Jawa Barat bagian timur. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada abad ke-8 Masehi pernah ada Raja Sanjaya yang berkuasa di Galuh.
Seperti diketahui, berdasarkan penelitian atas beberapa prasasti yang ditemukan di Jawa Barat, sejak berakhirnya Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-7, berdiri pusat kekuasaan yang dikenal sebagai Kerajaan Sunda. Pusat kerajaan ini berpindah-pindah dimulai dari Galuh, kemudian ke Pakuan Pajajaran, setelah itu ke Kawali dan berakhir di Pakuan Pajajaran (Bogor). Adanya kebiasaan di negara-negara Asia Tenggara untuk menyebut nama kerajaan dengan nama ibukotanya, maka jika suatu sumber menyebut nama Kerajaan Galuh bisa berarti itu Kerajaan Sunda yang beribukota di Galuh.
Pada tahun 1595, setelah Kerajaan Sunda runtuh oleh Kesultanan Banten, Galuh jatuh ke tangan Senapati dari Mataram. Dalam sumber-sumber Belanda, batas-batas Kerajaan Galuh yang jatuh ke tangan Mataram itu adalah: di sebelah timur berbatasan dengan Sungai Citanduy, di sebelah utara berbatasan dengan Sumedang, di sebelah barat berbatasan dengan Gunung Galunggung, Sukapura, dan disebelah selatan dengan sungai Cijulang. Belanda tidak memasukkan beberapa daerah sebelah barat kali Brebes dan kali Serayu (yang menurut naskah Bujangga Manik merupakan wilayah Kerajaan Sunda) yang sekarang termasuk Jawa Tengah yaitu Majenang, Dayeuh Luhur, dan Pegadingan dimana hingga sekarang sebagian komunitasnya masih menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari.
Dalam perjanjian Mataram-Kompeni, 5 Oktober 1705, Mataram menyerahkan wilayah Cirebon dan Priangan-Cirebon (termasuk didalamnya Galuh) kepada VOC. Galuh diletakkan di bawah pengawasan Pangeran Aria Cirebon hingga tahun 1723.
Pada tahun 1802 Galuh menjadi kabupaten. Sejak tahun 1812 Galuh beribukota di Ciamis.
Pada tahun 1915, Kabupaten Galuh dimasukkan kedalam Keresidenan Priangan dan secara resmi namanya diganti menjadi Kabupaten Ciamis.
Dirangkum dari buku "Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat" tulisan Nina H. Lubis.
Dengan banyaknya nama yang berkaitan dengan “Galuh” yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat, maka menurut sejarawan W. J. van der Meulen, nama-nama itu kemungkinan besar merupakan perluasan ke sebelah timur dari wilayah yang sangat mungkin bersifat pusat asli daerah (kerajaan) Galuh, yaitu di sekitar Kawali (Kabupaten Ciamis sekarang).
Keberadaan Kerajaan Galuh merujuk kepada sumber-sumber sejarah yang sejaman dengan masa Kerajaan Galuh atau lebih mendekati jaman kerajaan Galuh (yang disebut sumber primer), yaitu naskah Sanghyan Siksa Kanda ng Karesian (ditulis tahun 1518 ketika Kerajaan Sunda masih berdiri) dan naskah Carita Parahiyangan (ditulis tahun 1580, setelah Kerajaan Sunda runtuh) dan, untuk abad 16-20, diperkuat dengan berita atau catatan yang dibuat oleh orang Portugis ataupun catatan VOC.
Pembuktian Historis
Untuk meneliti secara historis kapan Kerajaan Galuh didirikan, dapat dilacak dari sumber-sumber sejaman berupa prasasti. Ada beberapa prasasti yang memuat nama “Galuh”, meskipun tanpa disertai penjelasan tentang lokasi dan waktunya. Dalam prasasti berangka tahun 910, Raja Balitung disebut sebagai “Rakai Galuh”. Dalam prasasti Siman berangka tahun 943, disebutkan bahwa “kadatwan rahyangta I bhumi mataram ingwatu galuh”. Kemudian dalam sebuah piagam yang dikenal sebagai piagam Calcutta disebutkan bahwa “para musuh penyerang Airlangga lari ke Galuh dan barat; mereka dimusnahkan dalam tahun 1031.
Dalam prasasti yang letaknya lebih dekat dengan Jawa Barat, yaitu prasati yang terletak di halaman percandian gunung Wukir di Dukuh Canggal (dekat Muntilan sekarang) yang berangka tahun 732, disebutkan bahwa “Sanjaya telah menggantikan raja sebelumnya yang bernama Sanna. Sanjaya adalah anak Sannaha, saudara perempuan Sanna”. Tampaknya isi prasasti ini ada hubungannya dengan naskah Carita Parahyangan. Naskah ini mengungkapkan bahwa raja Sena yang berkuasa di Galuh dikalahkan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu sang raja. Raja Sena dibuang ke Gunung Merapi bersama keluarganya, dan setelah dewasa Sanjaya berhasil mengalahkan Rahyang Purbasora. Nama Galuh sebagai ibu kota disebut berkali-kali dalam naskah ini. Selain itu, nama-nama tempat yang disebutkan dalam naskah ini pada umumnya terletak di Jawa Barat bagian timur. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada abad ke-8 Masehi pernah ada Raja Sanjaya yang berkuasa di Galuh.
Seperti diketahui, berdasarkan penelitian atas beberapa prasasti yang ditemukan di Jawa Barat, sejak berakhirnya Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-7, berdiri pusat kekuasaan yang dikenal sebagai Kerajaan Sunda. Pusat kerajaan ini berpindah-pindah dimulai dari Galuh, kemudian ke Pakuan Pajajaran, setelah itu ke Kawali dan berakhir di Pakuan Pajajaran (Bogor). Adanya kebiasaan di negara-negara Asia Tenggara untuk menyebut nama kerajaan dengan nama ibukotanya, maka jika suatu sumber menyebut nama Kerajaan Galuh bisa berarti itu Kerajaan Sunda yang beribukota di Galuh.
Pada tahun 1595, setelah Kerajaan Sunda runtuh oleh Kesultanan Banten, Galuh jatuh ke tangan Senapati dari Mataram. Dalam sumber-sumber Belanda, batas-batas Kerajaan Galuh yang jatuh ke tangan Mataram itu adalah: di sebelah timur berbatasan dengan Sungai Citanduy, di sebelah utara berbatasan dengan Sumedang, di sebelah barat berbatasan dengan Gunung Galunggung, Sukapura, dan disebelah selatan dengan sungai Cijulang. Belanda tidak memasukkan beberapa daerah sebelah barat kali Brebes dan kali Serayu (yang menurut naskah Bujangga Manik merupakan wilayah Kerajaan Sunda) yang sekarang termasuk Jawa Tengah yaitu Majenang, Dayeuh Luhur, dan Pegadingan dimana hingga sekarang sebagian komunitasnya masih menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari.
Dalam perjanjian Mataram-Kompeni, 5 Oktober 1705, Mataram menyerahkan wilayah Cirebon dan Priangan-Cirebon (termasuk didalamnya Galuh) kepada VOC. Galuh diletakkan di bawah pengawasan Pangeran Aria Cirebon hingga tahun 1723.
Pada tahun 1802 Galuh menjadi kabupaten. Sejak tahun 1812 Galuh beribukota di Ciamis.
Pada tahun 1915, Kabupaten Galuh dimasukkan kedalam Keresidenan Priangan dan secara resmi namanya diganti menjadi Kabupaten Ciamis.
Dirangkum dari buku "Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat" tulisan Nina H. Lubis.
Leave a respond
Posting Komentar