DI Indonesia penulisan biografi tokoh baru berkembang pesat sejak tahun 1970-an. Meski penulisan biografi sudah ada sejak awal abad XX, namun kuantitasnya masih rendah. Selain dari biografi juga terdapat memoar (kenang-kenangan tokoh mengenai peristiwa tertentu) atau sumbangsih tulisan terhadap seorang tokoh. Penulis biografi yang paling produktif adalah Ramadhan K.H, yang umumnya memperlihatkan perjuangan dan pengorbanan sang tokoh dalam menentang penjajah Belanda.
Nina Lubis (orang Sunda yang bersuami Batak) mengikuti jejak Ramadhan KH. Ia telah menulis dan menyunting beberapa biografi tokoh Sunda. Sebelumnya dalam karya akademis di UGM, Yogyakarta, ia menyusun tema serupa. Untuk tesis S-2, Nina menulis Konflik Elite Birokrasi, Biografi Bupati R.A.A Martanagara. Martanagara adalah menak (bangsawan) Sunda yang berasal dari Sumedang dan menjadi Bupati Bandung awal abad XX. Sebagai disertasi (1997) Nina Lubis menulis "Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942".
Pada tahun 2002 Nina menjadi editor buku Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah, Otobiografi R Iwa Kusuma Sumantri. Iwa seorang menak Sunda asal Ciamis yang pernah menjadi Menteri Pertahanan. Ialah yang mengusulkan agar teks pernyataan yang diucapkan pada tanggal 17 Agustus 1945 dinamai "Proklamasi", sebelumnya Sukarno menyebutnya sebagai "Maklumat".
Oto, Sanusi dan Gatot
KETIGA tokoh yang dibicarakan di sini tergolong menak. Oto Iskandar di Nata adalah pejuang kemerdekaan yang lahir di Bandung 31 Maret 1897. Ia memimpin Pagoejoeban Pasoendan sejak tahun 1929 sampai 1942. Organisasi ini bergerak dalam bidang pendidikan (mendirikan banyak sekolah), budaya, ekonomi (Bank dan koperasi) dan hukum (lembaga bantuan hukum dan rehabilitasi mantan narapidana). Tahun 1931 sampai 1941 ia anggota Volksraad, yang menjadi embrio dari dewan perwakilan rakyat di kemudian hari.
Tahun 1945 ia menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia) dan duduk pada PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Oto Iskandar di Nata ikut merancang UUD 1945. Dalam sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945, Oto mengusulkan agar Sukarno dipilih sebagai Presiden dan Hatta sebagai Wakil Presiden. Anggota sidang menyetujui usul tersebut secara aklamasi.
Setelah Indonesia merdeka, Oto diangkat menjadi Menteri Negara yang mengurus masalah keamanan. Dalam kedudukan itulah ia hilang pada akhir tahun 1945. Bisa dikatakan Oto Iskandar di Nata adalah "orang hilang" pertama dalam sejarah Republik Indonesia.
Baru 14 tahun kemudian (1959), terungkap bahwa ia dibunuh seorang polisi bernama Mujitaba. Pembunuhan itu dilakukan di pantai Mauk,Tangerang. Sang pelaku dihukum 15 tahun penjara. Namun di dalam pengadilan tidak terungkap siapa yang menyuruh Mujitaba.
Prijana Abdurrasyid (kini Prof.Dr) yang menjadi jaksa dalam persidangan itu meminta tambahan waktu sidang untuk mengungkap dalang dibalik pembunuhan itu. Tapi usulannya tak terkabul, sehingga hanya pelaku lapangan yang tertangkap dan dihukum, namun aktor intelektualnya tak tersentuh.
Untuk menghormati jasa Oto, Pemerintah Jawa Barat membangun sebuah taman makam pahlawan di Taman Pasir, Lembang. Pada batu nisan tertulis Otoiskandardinata, lahir 31-3-1887, wafat 19-12-1945. Sebenarnya, tak ada jasad Oto, tak ada jenasah Oto Iskandar di Nata di situ. Yang ada hanya sejumput pasir dari pantai Mauk, terbungkus kain putih.
Sanusi Hardjadinata lahir di desa Cinta kabupaten Garut tahun 1914. Ia terlahir dengan nama Samaun. Namun karena namanya sama dengan seorang tokoh komunis, ia mengganti namanya dengan Sanusi. Semasa revolusi ia menjadi Wakil Residen Priangan. Dalam kedudukannya ini aktif dalam kegiatan PNI (Partai Nasional Indonesia). Juli 1951, Sanusi menjadi Gubernur Jawa Barat. Ia dengan serius mempersiapkan KAA (Konferensi Asia Afrika) di Bandung tahun 1955.
Pada 1957, Sanusi merintis pendirian Universitas Negeri Padjadjaran. Pada tahun ini pula Sanusi masuk kabinet Juanda sebagai Menteri Dalam Negeri. Pada masa selanjutnya ia menjadi Duta Besar Indonesia untuk Mesir tahun 1960-1964. Sepulang dari Kairo, ia diangkat pula menjadi Rektor Unpad.
Pada masa pemerintahan Soeharto, Sanusi dipercaya menjadi Menteri Utama bidang Industri dan Pembangunan (1966) dan kemudian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1967). Setelah pensiun ia menjadi anggota DPA dan pernah pula menjabat Ketua Umum PDI. Bulan Oktober 1980 ia mundur sebagai Ketua Umum PDI lantaran friksi internal partai.
Berhenti dari pengurus partai, Sanusi tak melepaskan diri dari dunia politik. Ia tetap kritis dengan menjadi penandatangan petisi 61 yang dipepori oleh H.R. Dharsono tahun 1981. Tanggal 12 Desember 1995 ia wafat.
Gatot Mangkupraja (1898-1968) adalah tokoh yang dekat dengan Bung Karno. Ketika PNI didirikan tahun 1927 Sukarno menjadi Ketua dan Gatot menjadi sekretaris pembantu Soekarno. Pada 1929 hingga 1931, ia ditangkap dan diadili bersama Bung Karno, di Bandung. Keluar dari penjara, Gatot membuka toko obat dan menjalankan bisnis.
Pada jaman Jepang, Gatot tidak setuju dengan adanya milisi yang dianggapnya malapetaka bagi rakyat. Namun ia menganjurkan berdirinya barisan sukarela yang kemudian dikenal sebagai Peta (Pembela Tanah Air). Bahkan surat permohonan pembentukan barisan itu dibuatnya dengan tinta darah.
Tanggal 22 Oktober 1945 Gatot ditangkap tentara Sekutu ditahan di pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Baru tahun 1947 ia dibebaskan. Setelah itu ia aktif dalam Gerakan Pembela Panca Sila dan tahun 1962 menjadi anggota MPRS. Ia diberhentikan Soeharto sebagai anggota MPRS tahun 1966 karena dianggap pendukung Bung Karno.
Dinamika hubungan Sunda-Jawa
Hubungan budaya dan manusia Sunda-Jawa yang "bermusuh dan berkawan" sudah berlangsung sejak dahulu kala (longue dur�e). Ini cukup terpantul dalam biografi elit Sunda. Oto beristrikan putri asal Jawa dan Sanusi adalah keturunan Jawa Mataram. Surat terakhir yang dikirimkan oleh Oto kepada istrinya ditulis dalam bahasa Sunda. Gatot sejak muda sudah menjadi pengagum dan sekretaris Bung Karno.
Dari seratusan pahlawan nasional sekarang ini mayoritas berasal dari etnis Jawa. Dari etnis Sunda sudah ada beberapa orang seperti Dewi Sartika. Tokoh yang disebut di atas, Oto Iskandar di Nata, sudah diangkat sebagai pahlawan, demikian pula dengan Iwa Kusuma Sumantri yang ditetapkan tahun lalu. Sementara itu Gatot Mangkoepradja dan Sanusi Hardjadinata masih dalam pengusulan.
Studi yang dilakukan Nina Lubis dapat membuka perspektif baru dalam usaha lebih memahami karakteristik elit politik Indonesia khususnya elit Sunda. Bahkan lebih dari itu, dengan dukungan teori dari Norbert Elias, Lucien Febvre dan Marc Bloch misalnya kajian ini dapat diarahkan kepada riset mendalam tentang mentalitas Sunda dalam perspektif longue dur�e.
Dr Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI
[Buku, GATRA, Edisi 42 Beredar Jumat 29 Agustus 2003]
Leave a respond
Posting Komentar