Oleh: Muhibin AM*
Momentum peting tanggal 10 bulan zulhijjah adalah mengenang peristiwa historis lagi menyeramkan atas penyembelihan Ismail oleh ayahnya sendiri (Ibrahim), yang kemudian digantikan oleh Allah SWT dengan seekor domba yang kemudian dikenal dengan Idul Adha. Momentum Idul adha yang menjadi salah satu dari dua hari raya bagi umat Islam, memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan hari raya lainnya. Hari raya idul adha di Indonesia lebih akrab dikenal dengan hari raya kurban. Hal ini dikarenakan oleh tradisi menyembelih binatang kurban seusai menunaikan sholat Id. Sayangnya tradisi berkurban bagi sebagian masyarakat Indonesia masih diartikan sebagai makna teologis dari pada maksa sosialnya. Sehingga yang terkesan kemudian adalah ritual persembahan kepada tuhan atas sebagian rizki yang telah dinikmatinya.
Sementara itu fenomena-fenomena kemiskinan yang masih menghimpit bangsa ini selalu mengalami kenaikan yang cukup serius. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan di Indonesia mencapai 17,9 persen. Menurut Bank Dunia, kemiskinan mencapai hampir separuh rakyat Indonesia, 49 persen. Ini menunjukkan angka yang cukup fantastis sebagia negara yang kaya raya akan sumber daya alamnya.
Bank Dunia mencatat, penghasilan separuh penduduk Indonesia di bawah dua dollar AS. Itu baru data kemiskinan, belum lagi jumlah pengangguran murni, semi pengangguran, dan orang yang terancam PHK (dirumahkan). Dari data kemiskinan itu akan diikuti derita sosial, seperti tingginya putus sekolah, mudah terjangkit wabah penyakit, perceraian, kriminalitas tinggi, dan konflik sosial kian yang rawan.
Kondisi yang memprihatinkan ini diperparah daerah-daerah yang terkena bencana alam, seperti Aceh, Yogyakarta, Klaten, Pengandaran, dan Sidoarjo, kelud, bengkulu dan berbagai tempat lainnya. Bahkan, Hingga kini masih banyak dari mereka yang belum bisa keluar dari derita hidup. Pertanyaannaya kemudian adalah dapatkah kita mengapresiasi makna kurban ini ke dalam kehidupan social yang lebih bermakna dari pada hanya sebatas penyembelihan hewan kurban yang hnaya memiliki makana yang instant.
Hidup ini akan mempunyai nilai apabila kita mampu menjadi rahmat kepada lingkungan dan sekelilingnya. Bukan sebagai perusak yang tidak mempunyai nilai dalam kehidupan. Khoiron na'asi yanfaunna'asi. Di sinalah roh (semangat) kurban yang diajarkan oleh Ibrahim dan sampai saat ini tetap relevan dilaksanakan oleh manusia adalah untuk menyeru bagaimana konsep dan dimensi sosial yang muncul pada realisasi kurban.
Dalam pada itu, memaknai kurban yang dengan hanya menyembelih binatang ternak tidak memiliki makna social apapun bagi keberlangsungan hidup manusia dengan lingkungan sosialnya. Terlebih melihat kondisi masyarakat Indonesia yang lebih dari separuhnya berada dalam kondisi yang miskin harta. Artinya, kurban disini perlu untuk ditafsir ulang secara radikal (diluar dari kebiasaan). Sehingga memiliki makna yang sesungguhnya dari pesan-pesan kisah penyembelihan musa oleh nabi Ibrahim.
Dengan menyembelih binatang ternak, bukan berarti tugasnya sebagai hamba akan selesai sampai disitu. Karena binatang ternak yang disembelih hanya memiliki manfaat social yang bersifat instan. Akan tetapi, jika ribuan atau bahkan jutaan binatang ternak yang tersedia kurban di hari raya Idul Adha, kita alihkan untuk membantu orang-orang miskin sebagai modal dalam berternak tanpa harus diesembelaih, sudah berapa banyak kaum dhu’afa yang tertolong dengan hanya memberikan binatang kurban kepada mereka. Inilah yang kemudian disebut sebagai fikih social yang diperkenalkanoleh KH. Sahal Mahfudh. Yang selama ini kurang dipahami oleh kalangan ulama Indonesia. Sehingga dalam segala aspek kehidupan, kita tidak bisa membedakan mana yang bersifat ushuliah dan mana yang bersifat furu’iyah.
Maka sudah saatnya kita menafsiri makna-makna ajaran Islam yang sesungguhnya yang lebih bersifat tekstual. Meminjam istilah Kunto Wijoyo "sudah saatnya kita berbuat dari tekstual kepada yang lebih kontekstual". Karena pada dasarnya Islam menyuruh kita untuk memahami kondisi social masyarakat dari pada hanya bersifat ritual, yang mengesampingkan mu’amalah. Disini kemudian ajaran Islam tidak mengalami rigidittas dalam melihat perkembangan zaman. Bukankah pada zaman Nabi Muhammad Saw ada sepotong kisah teladan seorang yang ingin menunaikan ibadah haji, namun ditengah perjalanan ia melihat saudara-saudara muslimnya sedang tertimpa kemiskinan yang mendera. Sehingga ia pun menggagalkan niatnya untuk menunaikan ibadah haji demi menolong saudaranya yang sedang membutuhkan. Akan tetapi oleh nabi kemudian dinilai sama dengan ibadah haji meskipun ia sendiri tidak pernah melihat makkah dan Ka’bah.
Surat al-kaustar ayat 1-5 tidak menyebutkan bahwa dalam berkurban kita harus menyembelaih binatang ternak. Interpretasi ayat ini bisa bermakna bahwa dalam berkurban kita tidak harus menyediakan binatang kurban yang kemudian disembelih untuk dibagi-bagikan kepada kaum fakir miskin. Akan tetapi dalam perkembangan zaman yang semakin maju serta tingkat kemiskinan yang cukup padat makna kurban bisa kita alihkan sebagai upaya untuk mengentaskan mereka dari kerangkeng ekonomi yang menghimpit. Dengan cara demikian derajat mereka akan lebih terangkat dalam kehidupan social. Sehingga ber-Islam akan lebih mermakna social dari pada yang hanya bersifat teologis.
Mulailah kita saat ini menyadari bahwa kehidupan sosial itu lebih penting dari pada kita hanya tepaku oleh ajaran-ajaran agama tanpa penafsiran. Krena pada dasarnya tuhan menurunkan wahyu kepada kita agar kita lebih memperhatikan kondisi social di sekeliling kita. Namun sayangknya kita hingga saat ini masih terjebak kedalam kemandegan beragama. Namun, akan lebih baik jika kita dapat memadukan antara keduanya dalam kehidupan bermasyarakat. Bagi pemerintah dan majlis ulama Indonesia agar lebih memperhatikan makna-makna dan interpretasi dari setiap ajaran Islam. Sehinga Islam tidak ketinggalan oleh zaman yang terus bergerak maju. Wallahu a’lam.
Sumber: NU Online
Leave a respond
Posting Komentar