Pancakaki Bupati-bupati Ciamis (Melacak Jejak Para Bupati Ciamis)


Oleh PANDU RADEA

Tanggal 12 Juni adalah angka dan bulan keramat bagi Kabupaten Ciamis sebagai momen sakral cikal bakal terbentuknya Kabupaten Ciamis saat ini. Berdasarkan keterangan yang dirangkum dari beberapa sumber yaitu Buku Sejarah Ciamis (hasil kerjasama Pemkab Ciamis dan LPPM Unigal,2005), Sejarah Kertabumi Ciamis (R. Gun Gun Gurnadi) dan Buku Onom jeung Rawa Lakbok (R.A.Danadibrata), penetapan waktu tersebut memilki riwayat dan latar belakang sejarah yang sangat panjang, dari jaman purbakala sampai jaman kemerdekaan berubahnya system kerajaan di Galuh menjadi “Kabupatian” dikibatkan kuatnya pengaruh Mataram di jaman pemerintahan Mas Jolang dengan gelar Sultan Sultan Agung Hanyokrowati (1601-1613). Kerajaan Galuh yang masih berdiri hingga tahun 1595 dipimpin oleh Ujang Meni (putra Prabu Haur Kuning) setelah di abhiseka bernama Maharaja Cipta Sanghyang di Galuh dan pemerintahanya berpusat di Cimaragas. Ketika putranya yang bernama Ujang Ngekel yang kemudian bergelar Prabu Galuh Cipta Permana berkuasa tahun 1595-1608 M kerajaan dipindahkan ke Gara Tengah (Cineam Tasikmalaya).

Menjelang 1608 merupakan masa-masa peralihan system pemerintahan di Galuh saat pengaruh Mataram di Kartasura semakin kuat. Akhirnya semua penguasa yang tadinya bergelar Prabu, Raja, Sang, Susuhunan dsb, dirubah oleh Mataram hanya menjadi Bupati dengan gelar Adipati atau Tumenggung hal itu terjadi ketika putra Prabu Galuh Cipta Permana yang bernama Ujang Ngoko naik takhta tahun 1606 dan hanya bergelar Adipati Panaekan. Oleh Mataram Adipati Panaekan diberi kekuasaan atas 960 cacah dan memerintah atas nama Sultan Mataram.

Adipati Panaekan mati terbunuh tahun 1625 oleh Adipati Singaperbangsa (adik iparnya yang menjadi Bupati di Galuh Kertabumi) akibat perselisihan faham antara mereka berdua menyangkut dalam rencana penyerangan terhadap Belanda ke Batavia. Kemudian Adipati Panaekan diganti oleh putrananya bernama Mas Dipati Imbanagara (Ujang Purba) yang berkuasa sampai tahun 1636 di Gara Tengah. Mas Dipati Imbanagara dituduh bersekongkol dengan Dipati Ukur oleh Sultan Agung akibat fitnah dari patihnya sendiri yang bernama Wiranangga karena berambisi jadi bupati. Mas Dipati Imbanagara akhirnya mendapat hukuman mati. Peristiwa ini sangat menyakitkan bagi masyarakat Galuh.

Mas Dipati Imbanagara dipenggal di Bolenglang (Ciamis) oleh Tumenggung Narapaksa dan kepalanya di bawa ke Mataram sebagai bukti. Badannya dikuburkan dan dikenal dengan makam Gegembung. Pengikut Imbanagara segera mengejar pasukan Mataram dan terjadilah perebutan kepala tersebut di sekitar Sungai Cijolang, namun kepala itu jatuh ke Leuwi Panten dan akhirnya terbawa juga Ke Mataram. Setelah Mas Dipati Imbanagara meninggal maka tampuk pemerintahan Bupati Galuh Gara Tengah dipegang oleh Mas Bongsar. Karena usianya waktu itu masih 13 tahun, untuk sementara jalannya pemerintahan dilaksanakan oleh Patih Wiranangga. Patih ini kemudian merobah isi piagam pengangkatan Mas Bongsar dari Sultan Agung dengan membuat piagam palsu yang menyatakan dirinya sebagai bupati.

Namun perbuatan ini diketahui oleh Ki Pawindan, ponggawa Mas Dipati Imbanagara yang menemukan piagam asli pengangkatan Mas Bongsar di Padaherang, dibawah kolong sebuah rumah panggung. Akhirnya terbongkarlah kebusukan Patih Wiranangga selama ini, dan Sultan Agung menjatuhkan hukuman mati. Namun atas permintaan Mas Bongsar, Patih Wiranangga yang masih Pamannya ini akhirnya diampuni. Mas Bongsar pun diangkat menjadi Bupati Galuh pada 6 Agustus 1636 dengan Gelar Raden Panji Aria Jayanegara. Dan nama kabupatennya berubah menjadi Imbanagara untuk menghormati nama ayahnya.

Menurut buku Sejarah Ciamis yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kab Ciamis bekerja sama dengan LPPM Unigal, Sejak tahun 1636 Kabupaten Imbanagara merupakan salah satu pusat kekuasaan di Galuh disamping Kertabumi dan Kawasen. Tahun 1641, kebijakan politik Mataram di mancanagara barat akibat dampak pemberontakan Dipati Ukur membuat wilayah Priangan di pecah menjadi empat kabupaten. Yaitu Sumedang, Bandung, Parakanmuncang dan Sukapura. Sedangkan wilayah Galuh dipecah menjdi 5 kabupaten yaitu:Imbanagara, Bojonglopang, Utama, Kawasen dan Banyumas. Kabupaten Utama tidak lama kemudian dilebur ke wilayah Bojonglopang. Setelah itu terjadi lagi penciutan mancanagara barat oleh Sunan Amangkurat I penguasa Mataram yang menggantikan Sultan Agung, menjadi 12 ajeg (kabupaten) Yaitu : Sumedang, Bandung, Parakanmuncang, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Kawasen, Wirabaya (Bojonglopang), Sekace, Banyumas, Ayah dan Banjar.

Gara Tengah ternyata menyimpan kenangan buruk bagi RPA Jayanegara sehingga beberapa kali ibukota kabupaten dipindahkan. Diantaranya ke Calingcing kemudian ke Bendanagara (Panyingkiran), sampai pada akhirnya ibukota ditetapkan di Barunay (antara Cikoneng dan Kota Ciamis). Tempat ini memilki nilai strategis. Selain tidak kekurangan air juga memilki hamparan dataran yang luas, Barunay akhirnya berubah nama menjadi Imbanagara. Waktu itu berdasarkan perhitungan Rd.Rg. Kusumasembada dan Rd.Rachmat bertepatan dengan 12 Juni 1642. momen waktu inilah yang menjadi dasar penetapan berdirinya cikal bakal Kabupaten Ciamis. Dan Jayanegara memerintah selama 42 tahun. Imbanagara menjadi ibukota kabupaten berlangsung sampai tahun 1815. dan dari tahun 1642 sampai 1815 kabupaten-kabupaten lainnya seperti Kertabumi, Utama, Kawasen, Panjalu dan Kawali dilebur ke Imbanagara.

Hal itu mengakibatkan wilayah Imbanagara semakin luas, dari Sungai Cijolang sampai ke pantai selatan dan dari Citanduy sampai ke Sukapura. Bahkan wilayah yang terletak sebelah timur Citanduy seperti Dayeuhluhur, Nusa Kambangan, Cilacap dan Banyumas, dijadikan wilayah perwalian Kabupaten Imbanagara. Sehingga wilayah kekuasaan Kabupaten Imbanagara hampir menyamai luas Kerajaan Galuh sehingga kedudukan Imbanagara paling tinggi di wilayah Galuh.

Perjanjian antara Mataram dan VOC pada 19-20 Oktober 1677 membuat wilayah Priangan Timur dikuasai oleh VOC, sebagai balas jasa Mataram yang telah dibantu oleh VOC dalam menyelesaikan perebutan kekuasaan di Mataram. Saat itu yang menjadi Bupati Imbanagara adalah R.A Angganaya (1678-1693). VOC kemudian mengangkat R.A Sutadinata(1693-1706) sepeninggalnya Angganaya. Oleh Gubernur Jendral VOC Bupati dijadikan sebagai pelaksana atau agen verplichte leverantie atau agen penyerahan wajib tanaman komoditas perdagangan seperti berasm cengkih, pala, lada, kopi, indigo dan tebu. Hal ini tentu membebani kehidupan rakyat. Sehingga tahun 1703 terjadi kerusuhan yang digerakan oleh H. Prawatasari atau Raden Alit yang melanda di wilayah Galuh yaitu di Utama, Bojonglopang dan Kawasen. Namun dapat dipadamkan oleh VOC pada 12 Juli 1707 setelah H.Prawatasari tertangkap.

1706 sampai 1727 Kabupaten Imbanagara dipimpin oleh R.A. Kusumadinata I. pada masa pemerintahanya dimulailah penanaman Kopi sekitar 1720 dengan areal budidaya di lereng Gunung Sawal dan Gunung Ciremai. Namun penanaman kopi itu tidak mencapai hasil setinggi di daerah Priangan Tengah dan barat. Selanjutnya Kusumadinata I digantikan oleh Kusumadinata II (1727-1732).

Karena R.A Kusumadinata II tidak mempunyai anak maka jabatan Bupati Imbanagara diserahkan kepada keponakannya, Mas Garuda yang masih kecil. Sehingga antara tahun 1732 sampai 1751 Kabupaten Imbanagara dipimpin oleh tiga orang wali Mas Garuda. Setelah dewasa, tahun 1751 Mas Garuda memerintah Imbanagara sampai tahun 1801 dengan gelar R.A. Kusumadinata III. Pemerintahan kemudian dilanjutkan oleh R.A. Natadikusumah (1801-1806). Masa itu merupakan masa peralihan dari VOC ke Hindia Belanda dibawah pimpinan Deandels. Dikisahkan dalam wawacan Sajarah Galuh, R.A Natadikusumah pernah memukul pejabat VOC yang bernama Ajun Kumetir Pieter Herbertus van Pabst karena merasa tersinggung akibat diperintahkan untuk menimbang hasil bumi sebab hal itu m bukan pekerjaan seorang Bupati. Sehingga jabatannya sebagai bupati dicopot dan kemudian diganti oleh Surapraja dari Limbangan (1806-1811). Surapraja merupakan bupati Imbanagara yang bukan keturunan Galuh.

Surapraja kemudian dilanjutkan oleh R.Tumenggung Jayengpati Kartanagara selama satu tahun, karena Surapraja dianggap tidak cakap. Pada masa itu Inggris menguasai pulau Jawa setelah Gubernur Jendral Hindia Belanda Jan Willem Jansens (pengganti H.W Daendels) menyerah tanggal 17 September 1811 di Salatiga. Jayengpati Kartanagara diganti oleh R.T. Natanagara dari Cirebon namun jabatanya dicopot kembali tahun 1814 akibat berniat memindahkan ibu kota kabupaten ke Randegan (dekat Banjar). Jabatanya kemudian diisi oleh Pangeran Sutajaya dari Gebang Cirebon. Karena hubunganya kurang harmonis dengan ketiga patihnya yaitu R. Wiradikusuma (Imbanagara), R.Wiratmaka (Utama) dan R. Jayadikusumah (Cibatu.Ciamis), maka Pangeran Sutajaya menyerahkan posisinya kepada tumenggung Wiradikusumah tanggal 15 Januari 1815. pada saat itu Kabupaten Imbanagara beralih nama menjadi Kabupaten Galuh dengan ibukotanya di Ciamis dan secara resmi nama ini diakui oleh Hindia Belanda diakhir pemerintahan Raffles. Dan Kabupaten Galuh kembali dipimpin oleh keturunan Maharaja Sanghyang Cipta Permana.

Pertengahan tahun 1819-1839 Kabupaten Galuh dipimpin oleh R.Adipati Adikusumah (putra Wiradikusuma). Pada masanya pemerintah Hindia Belanda yang tengah terbebani utang besar akibat besarnya biaya perang menerapkan system pemulihan ekonomi yang kelak disebut cultuur stelsel yang diusulkan oleh van den Bosch tahun 1829. Jabatan Bupati Galuh kemudian di lanjutkan oleh putranya yang bernama R.A.A Kusumadiningrat (1839-1886) yang mendapat Gelar Kanjeng Prebu.. Dalam buku Onom dan Rawa Lakbok disebutkan bahwa gelar tersebut lebih tinggi dari gelar pangeran. Gelar tersebut juga diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda, karena memang dicintai oleh masyarakat Galuh.

Kanjeng Prebu lahir tahun 1811 di Imbanagara, merupakan bupati yang terkemuka karena sangat memperhatikan berbagai bidang pembangunan di Kabupaten Galuh. Diantaranya adalah membangun saluran air Gandawangi, Cikatomas ( 1842), Wangundireja (1862), Dam Tanjungmangu atau Nagawiru (1843). Kanjeng Prebu juga membangun beberapa gedung di pusat ibukota Kabupaten Galuh, yaitu Ciamis. Saat ini gedung-gedung terdebut dikenal sebagai Gedung DPRD, Gedung Kabupaten, Tangsi Militer, Masjid Agung dsb. Atas usulan Kanjeng Prebu kepada Pemerintah Hindia Belanda maka jalan kreta api dapat melalui Ciamis, kendati Belanda harus merogoh kocek yang lebih besar karena harus membangun 2 jembatan besar yaitu Cirahong dan Karangpucang

Kanjeng Prebu juga sangat memperhatikan bidang pendidikan. Oleh karena itu dirinya mendirikan sekolah sunda di Ciamis (1862) dan di Kawali (1872), hal tersebut merupakan karya kepeloporan pendirian sekolah di Jawa Barat. Demikian pula dibidang pertanian, yang paling terlihat adalah penanaman Pohon Kelapa, sehingga akhirnya Ciamis terkenal sebagai lumbung kelapa. Pola pikirnya yang dinamis dan progresif ditunjang oleh kecerdasan dan wibawanya dalam membangun relasi keberbagai golongan, terutama pemerintah Belanda membuat Kanjeng Prebu sangat dihormati dan disegani. Berkat dirinya pula maka akhirnya cultuur stelsel yang sangat membebani rakyat dapat di hapus secara bertahap. Selain masyhur kepemimpinannya di berbagai bidang, kanjeng prebu juga terkenal memiliki kelebihan lain, terutama hubungan khususnya dengan onom. Banyak cerita yang mengisahkan perihal onom dalam kaitannya dengan Kanjeng Prebu dan beberapa bupati lainnya.

Kanjeng Prebu setelah pengsiun kemudian diganti oleh putrannya yaitu R.A. Kusumasubrata yang memerintah sampai tahun 1914. pada masa pemerintahannya tercatat pernikahan Orientalis Belanda terkenal bernama Christian Snouck Hurgronje dengan Sangkana, putri satu-satunya RH. Muhamad Thaib, Penghulu Kepala Ciamis saat itu. Namun sayangnya setelah Snouck kembali ke Belanda tahun 1906, sampai saat ini Snouck tidak pernah mengungkapkan pernikahaanya, bahkan 4 orang putranya dari Sangkana tidak diperbolehkan menemuinya dan tidak mengakuinya secara resmi.

Setelah era R.A. Kusumasubrata, Pemerintah Hindia Belanda tidak mengangkat keturunannya karena banyak anggota keluarga bupati yang menentang kekuasaan Belanda, salah satunya adalah R. Oto Gurnita Kusumasubrata. Maka tahun 1914, Belanda mengangkat Tumenggung Sastrawinata sebagai Bupati Galuh. Bupati ini berasal dari purwakarta dan bukan keturunan R.P.A Jayanagara, namun masih memilki garis silsilah dari Ciancang (Utama). Dua tahun kemudian (1916) atas persetujuan Belanda, Sastrawinata mengubah nama Kabupaten Galuh menjadi Kabupaten Ciamis.

Dimasa kepemerintahannya beberapa peristiwa politik terjadi. Diantaranya adalah pembagian pulau Jawa menjadi 3 provinsi (tgl. 1 Januari 1926). Selain itu terjadi pula pemberontakan komunis yang dipimpin oleh Egom dan Dirja. Sastrawinata berjasa besar dalam penumpasan pemberontakan tersebut sehingga Belanda menganugrahkan Bintang Grootkruis der Militaire Wilems Orde. Sastrawinata kemudian digantikan oleh R.T. A. Sunarya tahun 1935 dan memerintah sampai 1944, pada masa itu, beberapa wilayah Kabupaten Sukapura masuk ke Wilayah Ciamis sperti Banjar, Banjarsari, Pangandaran, dan Cijulang.

Masa pemerintahan Bupati kemudian dilanjutkan R. Mas Ardiwiangun (1944-1946). Proklamasi kemerdekaanm RI adalah momoen penting yang terjadi semasa dirinya menjabat bupati. Ardiwinangun kemudian diganti oleh Raden Vater Dendakusumah (1946-1948) yang berasal dari Panjalu. Dimasa itu agresi militer Belanda tengah gencar-gencarnya sehingga Bupati sempat mengungsi dengan sebagian rakyatnya ke Gunung Sawal dan Salakaria. Di Salakaria Bupati sempat membangun Pasar Dongkal (daerah Ciilat). R. Veter Dendakusumah kemudian menjadi Mentri Kemakmuran Negara Pasundan. Kepemimpinan Bupati selanjutnya dipegang oleh Tumenggung Gumelar Wiranagara (1948-1950). Bupati ini masih keturunan Tumenggung Wiramantri yang berasal dari Utama.

Raden Tumenggung Gumelar Wiranagara, setelah menjabat sebagai Bupati Ciamis kemudian menjadi Bupati Bandung. Setelah itu, yang menjadi Bupati Ciamis adalah Prawiranata (1950). Karena diangkat pada jaman Perang Grilya, bupati ini dijuluki Bupati Grilya, namun pemerintahanya tidak berlangsung lama, karena pada tahun itu pula Prawiranata diganti oleh Redi Martadinata (1950-1952). Saat itu pemerintahan RIS berubah menjadi Republik dan uang merah menjadi uang republik. Tokoh yang disiapkan sebagai pengganti Redi Martadinata adalah Abdul Rifa’I (1952) namun sebelum menerima jabatannya, Abdul Rifa’i diculik oleh sekelompok orang yang tidak senang terhadap dirinya di Kuningan saat dalam perjalanan menuju Ciamis.

Pengganti Abdul Rifa’i adalah Mas Rais Sastradipura (1952-1954) setelah dipindahkan ke Bandung, kemudian diganti oleh Raden Yusuf Suriadipura (1954-1958). Setelah selesai masa jabatanya, Bupati Ciamis dilanjutkan oleh Raden Gahara Wijayasurya (1958-1960). Saat itu diberlakukan UU RI no 1. tahun 1951 tentang Kepala Daerah Swatantra di Kab.Ciamis. Dewan Daerah kemudian menunjuk Sulaeman Effendi menjadi Kepala Derah Swatantra Tingkat II Ciamis. Namun posisi ini diberhentikan lagi pada tanggal 5 Desember 1960 setelah ada Keppres No.6 tahun 1959. jadi dalam kurun waktu antara 1958 sampai 1960 di Kabupaten Ciamis ada 2 pejabat setingkat Bupati yang memiliki tugas berbeda tapi saling melengkapi. Tugas bupati bertanggungjawab kepada bidang ekonomi dan keamanan, sedangkan Kepala daerah Swatantra bertanggungjawab atas pajak dan pembangunan daerah.

Tahun 1960 terjadi perubahan penetapan Bupati dari system turun temurun di masa kerajaan, dilanjutkan dengan system penunjukan di masa kolonial, maka setelah era Raden Gahara Wijayasurya, pemilihan bupati dipilih oleh DPRD sebagai parlemen daerah. Maka tampilah Raden Udia Kartapruwita (1960-1966) sebagai Bupati pertama yang mendapat sebutan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Ciamis. Bupati selanjutnya adalah Kolonel Abubakar. Kiprahnya adalah membuat tanggul Citanduy secara gotong royong. Mendapat perhatian dari pemerintah pusat sehingga didirikan proyek Citanduy untuk menangani Daerah Aliran Sungai. Sehingga bupati ini dijuluki Bupati Tanggul. Selain itu, Abubakar juga membuat taman di depan Masjid Agung Ciamis dan gedung secretariat. Memerintah selama 7 tahun disaat masa transisi pemerintahan orde lama ke orde baru.

Jabatan bupati berikutnya dipegang oleh Kolonel Hudli Bambang Aruman, dari 9 November 1973 samapi 20 November 1978. pembangunan yang berhasil dilaksanakan diantaranya membuat jaringan jalan-jalan di kampung, mendirikan Puskesmas di setiap kecamatan serta pendidikan SD inpres. Kepala Dinas Pariwisatapun mulai diadakan. Bupati Ciamis selanjutnya adalah Drs.H.Soeyoed yang bertugas dari 20 November 1978 sampai 7 November 1983, berasal dari Panyingkiran. Kiprahnya adalah menjadi penggerak nelayan di Pangandaran dengan mengubah sisitem tradisional menjadi modern. Drs.H.Soyoed kemudian digantikan oleh H. Momon Gandasasmita pada 7 November 1983 sampai 1988. pada masa kepemimpinannya, masalah kerohanian menjadi perhatian besar. Termasuk juga mengiatkan PKK di daerah-daerah. H. Momon Gandasasmita, selesai bertugas di Ciamis, menjadi Bupati di Kabupaten Garut dan terakhir menjadi Residen di Serang.

Kolonel Inf.H.Taufik Hidayat yang menjadi Bupati Kabupaten Ciamis periode 7 November 19887 November 1993 berasal dari Awipari Tasikmalaya. Sebelumnya adalah Bupati Kabupaten Garut. Hasil pembangunannya menyangkut perubahan-perubahan fisik, diantaranya, menata Kota Ciamis, memindahkan pasar, terminal, membuat jalan lingkar selatan, memindahkan sebagian kantor, menyelesaikan Gelanggang Galuh Taruna, membangun Stadion Galuh, membangun jembatan Sungai Citanduy antara Bojong dan Cimaraga dan Pembangunan Lanud Nusawiru. Bidang Olahraga mendapat perhatian khusus dari bupati ini.

Penggantinya adalah Kol.Kav. H. Dedem Ruchlia (1993-1998), kiprahnya meneruskan jejak kerja bupati terdahulunya. Seperti Pembuatan Taman Air Mancur rafflesia, Perombakan Situs Karangkamulyan, dan mengembalikan lagi pamor Gedung Negara ke bentuk aslinya, dan membangun Gedung DPRD yang megah. Sebelum jabatanya berakhir Dedem Ruchlia diangkat menjadi wakil Gubernur Jawa Barat Bidang Kesra dan jabatanya diserahkan kepada wakil bupati, Drs. Maman Suparman Rachman. 6 April 1999, H. Oma Sasmita S.H menjadi bupati pertama Ciamis di masa reformasi. penegakan disiplin di lingkungan karyawan merupakan salah satu upayanya. Oma Sasmita memerintah sampai April 2004.

Kini jejak pembangunan oleh bupati-bupati terdahulu di kabupaten Ciamis dilanjutkan oleh Kolonel (Purn) H. Engkon Komara, yang menjadi Bupati ke 37 menurut silsilah Hari Jadi Ciamis. Dilantik pada tanggal 6 April 2004. jabatan terakhirnya sebelum menjadi Bupati adalah Kepala Staf Garnisum II Bandung-Cimahi, karirnya yang mulus dibidang militer membuat dirinya mendapat berbagai bintang penghargaan. Antara lain Satya Lencana Seroja, Satya Lencana Bhakti, satya Lencana Dwija Cista dan Bintang Veteran Timor Timur.

H. Engkon Komara memimpin Ciamis dengan konsep partisipatif, selalu berusaha menyerap aspirasi seluruh komponen masyarakat dalam pembangunan daerahnya. Sehingga berbagai bidang pembangunan seperti pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan pariwisata menjadi unggulan dan berpotensi besar di Jawa Barat. Tekad lainnya adalah mengembangkan agrobisnis dan pariwisata Ciamis agar menjadi yang termaju di wilayah priangan. Kendati kepemimpinannya tengah diuji oleh wacana pemekaran wilayah di Ciamis Selatan, seolah menjadi sisi lain dari dinamika politik yang tengah dicari solusinya dengan tepat dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat Ciamis.

Dalam catatan akhir Buku Sejarah Ciamis yang memuat pandangan DPRD Kab. Ciamis disebutkan ada lima pertimbangan yang melandasi penetapan Hari jadi Ciamis yaitu Satu, dampak posistif perkembangan pemerintahan dan masyarakat yang signifikan setelah R.P.A Jayanagara memindahkan pusat kekuasaan kabupaten Imbanagara ke Barunay. Dua, perpindahan itu mengandung unsur perjuangan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Tiga, Kabupaten Imbanagara akhirnya mampu menyatukan wilayah Galuh sehingga daerah kekuasaanya hampir menyamai wilayah Kerajaan Galuh tanpa melalui kekerasan. Empat, Kesultanan Mataram pun mengakui kekuasaan Kabupaten Imbanagara dan menjadikan sekutu dalam mengusir penjajah. Lima, kenyataan hubungan antara Kabupaten Imbanagara dan Ciamis tidak dapat diputuskan.

Sebuah petuah bijak Prabu Niskala Wastukancana, yang berbunyi pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya di buana, semoga menjadi landasan moral bagi figur pemimpinan Kabupaten Ciamis di masa kini dan yang akan datang, agar Ciamis betul-betul-betul dinamis, tidak sebatas manjingnya saja.***

Dimuat di Koran Priangan

Sumber : Galuh Purba

Leave a respond

Posting Komentar