Kehidupan di Jepang (Bibiko--Jepang)

Hari ini saya tergelitik untuk menulis, sekedar membagi cerita tentang
suka-duka kehidupan di Jepang.
Menurut saya (ini pendapat saya pribadi, lho), kehidupan di Jepang tidak
semuanya baik. Terus terang saya datang ke Jepang karena beasiswa, sebelum
itu saya sama sekali tidak tergila-gila kepada Jepang. Setelah tinggal
hampir selama 10 tahun, banyak hal2 yang saya suka dengan Jepang, banyak
juga hal2 yang tidak terlalu suka (lebih banyak lagi hal2 yang sudah
terbiasa, jadi tidak tahu suka atau tidak, he..he..). Kebalikannya, beberapa
teman saya yang dulu sangat suka dengan Jepang, setelah datang dan tinggal
beberapa lama di sini menjadi tidak suka dengan Jepang.
Hal2 yang saya suka:
1. Keamanan
Seperti yang dikatakan para Kokiers yang lain, keamanan di Jepang memang
patut dipuji. Memang beberapa tahun ini kriminalitas meningkat. Kriminalitas
yang paling dikhawatirkan adalah maling, jadi di Jepang beberapa tahun ini
sedang boom barang2 untuk meningkatkan keamanan rumah, misalnya supaya pintu
tidak mudah dibobol, film untuk melapis jendela, alarm dan lain2. Kalau di
kereta, yang dikhawatirkan adalah "Chikan" (pria iseng/genit) yang suka
men-toel2, tapi sekarang di Jepang ini bisa digolongkan sexual harrashment,
dan bisa dituntut ke pengadilan. Walaupun demikian, menurut saya keamanan
Jepang masih OK. Saya tidak pernah tinggal di negara lain, jadi saya tidak
tahu bagaimana dengan Amerika dll, tapi dibandingkan dengan Jakarta, memang
berbeda jauh. Saya sering pulang (bukan hanya saya, tapi banyak juga teman2
wanita yang lain) hampir tengah malam (kadang2 dengan kereta terakhir, lewat
tengah malam), tapi tidak takut (yah, kalau di daerah yang tidak saya kenal
& gelap, takut juga yah...). Di kereta juga banyak sekali wanita2 yang
pulang tengah malam.
2. Keteraturan
Ini juga seperti dikatakan para Kokiers lain, segala sesuatu di sini
teratur, mulai dari mengurus surat di kantor pemerintah, jadwal kereta dll.
Segala sesuatu sudah ada prosedurnya, jadi jelas apa yang harus dilakukan.
Jadwal kereta juga tergolong sangat tepat, kecuali jika sudah mendekati
tengah malam. Itupun karena banyaknya orang yang naik, jadi kereta tidak
bisa berangkat tepat waktu dan terlambat tiba di stasiun berikutnya, lalu
tertunda lagi karena banyak orang yang naik/turun, dan seterusnya. Kalau
kereta telat karena gangguan teknis (atau orang bunuh diri, nah ini yang
kadang2 terjadi, maklum, tingkat stress di Jepang tidak rendah), biasanya
diumumkan oleh petugas stasiun atau lewat layar kecil di stasiun.
3. Kenyamanan & kemudahan
Di Jepang, kereta adalah sarana transport yang amat sangat teramat penting,
dan terus terang, line keretanya banyaaaakkk sekali, terutama kota besar
seperti Tokyo dan Osaka. Saya sendiri tidak bisa ingat jalur kereta Tokyo,
terlalu ribet (pernah ada saudara yang datang dari Hong Kong dan geleng2
kepala melihat peta kereta Tokyo). Biasanya orang akan mencari dulu
bagaimana cara pergi ke suatu tempat. Nah, sejak beberapa tahun yang lalu
(saya tidak ingat persisnya, yang pasti lebih dari enam tahun), semua itu
bisa di-check lewat internet. Jadi kita tinggal memasukkan nama Stasiun
keberangkatan dan tujuan, lalu akan ditampilkan pilihan2 cara pergi ke
stasiun tujuan, berikut tarif masing2 cara, lama waktu yang diperlukan,
tarif dan berapa kali ganti kereta. Bisa juga kita menentukan jam berapa
ingin berangkat/tiba, lalu ditampilkan jam berapa harus berangkat dari mana,
jam berapa tiba, dll. Ramalan cuaca juga bisa dicari lewat internet, bisa
sampai se-detail2nya, kalau untuk Tokyo, bisa ditampilkan ramalan cuaca per
tiga jam untuk masing2 kotamadya! Masih banyak hal2 positif tentang Jepang,
nanti saya cerita lagi lain kali.
Sekarang tentang hal2 negatif:
1. Sulit untuk benar2 masuk ke masyarakat Jepang
Bukan tidak bisa, tetapi butuh waktu dan usaha. Orang Jepang sangat sopan,
jadi terhadap siapapun biasaya mereka sangat ramah. Tetapi untuk benar2
berteman akrab & mendalam, tidak mudah. Kemampuan Bahasa Jepang hampir
mutlak diperlukan, karena kebanyakan tidak bisa berkomunikasi dengan Bahasa
Inggris (bukan tidak bisa, tapi tidak bisa berkomunikasi. Misalnya mahasiswa
di Univ. of Tokyo, grammar, reading dll mereka sebenarnya sangat kuat, tapi
tidak punya kesempatan untuk berlatih conversation).
2. Masalah sebagai orang asing
Walaupun tidak semua, tapi ada juga orang2 Jepang yang takut atau tidak suka
dengan orang asing. Ada orang Jepang yang takut tidak bisa berkomunikasi,
ada yang benar2 tidak suka, jadi tidak selalu mereka sangat perhatian dan
baik. Untuk yang ingin belajar di Jepang, tetap harus siap mental kalau
tidak diterima oleh teman2 karena kita orang asing. Teman2 saya juga pada
dasarnya baik, tetapi ada satu kejadian yang sangat membekas di hati saya.
Kejadiannya waktu saya kelas 1 dan 2 undergraduate dulu. Praktikum di
universitas saya dikerjakan per group, dan satu group terdiri dari 2 orang.
Kita tidak bisa memilih partner kita, melainkan sudah dipasangkan oleh
dosen2. Partner saya terlihat sekali tidak suka dipasangkan dengan saya
(mungkin karena takut kendala bahasa?). Biasanya kita harus berdiskusi pada
setiap praktikum untuk menyiapkan kesimpulan praktikum, jawaban soal2 dan
persiapan tes lisan per group setelah selesai. Partner saya itu hampir tidak
pernah mau berdiskusi dengan saya, melainkan berdiskusi dengan temannya yang
notabene group lain, meninggalkan saya sendirian bingung harus bagaimana.
Kalau berpapasan di sekolah pun tidak pernah menyapa.
3. Masalah mencari rumah tinggal
Ini adalah masalah terbesar yang dihadapi orang asing di Jepang, walaupun
beberapa tahun ini agak membaik. Universitas di Jepang (terutama di Tokyo)
tidak menyediakan full asrama untuk mahasiswa asing (bahkan untuk mahasiswa
Jepang, lebih sedikit lagi asrama yang tersedia), jadi biasanya kita hanya
bisa tinggal 1 atau 2 tahun di asrama, setelah itu harus cari apartment
sendiri. Sekitar 8 tahun yang lalu saya dan beberapa teman dari sekolah
bahasa mencoba mencari rumah, dan pertama-tama kami ke kantor agen rumah
yang cukup besar. Orang di kantor itu dengan sangat sopan mengatakan, "Maaf,
kami tidak mencarikan rumah untuk orang asing." Walaupun sudah siap mental,
tetap saja sangat menyakitkan. Yang lebih menyakitkan lagi, setelah itu kami
ke agen rumah yang kecil. Di depan pintu mereka dipasang iklan2 rumah yang
disewakan, tetapi begitu melihat kami masuk, langsung orang di sana
mengatakan "Tidak ada apartment kosong!".
Beberapa tahun ini makin banyak agen rumah yang mau membantu mencarikan
untuk orang asing (saya mengira sudah tidak ada agen yang menolak karena
masalah ini, tapi roommate saya yang dulu baru2 ini ditolak karena orang
asing), tetapi masih ada masalah berikut: si empunya rumah menolak dengan
alasan yang sama! Kadang2 agen bisa meyakinkan agar si empunya rumah mau
menyewakan, misalnya dengan mengatakan orang ini mahasiswa dari Univ. ???,
terlihat baik2 dan rajin, dll. Kadang2 si empunya tetap tidak mau. Kalau
sudah begitu yah terpaksa menyerah. Setelah agen dan yang punya rumah sudah
OK untuk menyewakan rumah itu, muncul masalah berikut, yaitu guarantor
penyewaan rumah. Biasanya jika orang Jepang, mereka akan minta orang tua
atau saudara untuk menjadi guarantor. Guarantor ini menjamin bahwa si
penyewa rumah akan membayar uang sewa dll, dan harus ikut bertanggung jawab
kalau si penyewa tidak membayar, jadi harus punya kemampuan ekonomi.
Sekarang mulai banyak "Asuransi garansi" (kita membayar sejumlah uang kepada
perusahaan asuransi garansi tersebut, dan mereka yang akan membayar dulu
uang rumah kalau kita menunggak, lalu menagih lagi dari kita), tapi masih
banyak pemilik rumah yang tidak mau terima, tetap mau guarantornya
perorangan.
Setelah itu masalah uang. Untuk menyewa rumah di Jepang (Tokyo, kalau Osaka
dan Kyoto berbeda, saya tidak terlalu jelas, yang pasti tetap perlu biaya
besar), diperlukan biaya 4-6x uang sewa bulanan, masing2 1-2 bulan uang
deposito, 1-2 bulan "key money", 1 bulan uang agen, asuransi kebakaran,
biaya cleaning, asuransi garansi kalau perlu, uang ganti kunci (biasanya
kunci rumah diganti baru). Setelah itu 1 bulan uang bulan pertama. Jadi
untuk menyewa rumah dengan harga 60000 yen per bulan, diperlukan uang lebih
dari 250 ribu yen (1 bulan deposito, 1 bulan key money, 1 bulan agen, uang
sewa bulan pertama, asuransi dll.) sampai hampir 400 ribu yen (kalau uang
deposito & key money masing 2 bulan). Uang deposito bisa kembali sebagian
bila kita pindah nanti, setelah dipotong kerusakan2 dan uang cleaning (ada
juga kasus dipotong banyak sekali, bahkan ada yang minus alias harus bayar
lagi dengan alasan ada kerusakan2). Key money tidak akan kembali walaupun
kita pindah, semacam hadiah untuk yang punya rumah (menurut agen, biasanya
digunakan si pemilik untuk perbaikan2 apartment yang disewakan). Selain itu,
apartment di Jepang kebanyakan unfurnished, jadi masih harus beli furniture
sendiri. Kontrak rumah di Jepang biasanya 2 tahun, setelah itu kalau mau
perpanjang, masih harus membayar uang perpanjangan kontrak, besarnya satu
sampai satu setengah bulan.
4. Masalah beasiswa & part time
Untuk yang ingin belajar di Jepang, satu hal lagi yang harus dipertimbangkan
adalah masalah ongkos hidup. Beasiswa di Jepang tidak banyak, terutama untuk
undergraduate. Kalau untuk S3, masih lumayan, itupun banyak yang tidak
dapat. Dan part time di Jepang gajinya biasanya tidak cukup untuk hidup,
kecuali kita bekerja keras sekali. Pacar saya pernah tidak dapat beasiswa,
dan untuk itu dia harus bangun jam 5 / 6 pagi, berangkat bekerja sebagai
tukang bersih2 kalau tidak salah, lalu sekitar jam 10 sampai di laboratorium
dan stay di laboratorium sampai paling sedikit jam 10 malam, dan sampai di
asrama lagi tengah malam.
Sekedar informasi, beasiswa Jepang yang bisa diapply dari Indonesia adalah
beasiswa Monbukagakusho (Dept. P dan K Jepang), keterangan lengkapnya bisa
diminta di Kedubes Jepang. Selain itu ada beasiswa dari Mitsui dan BPPT,
tapi saya tidak tahu detailnya.

Leave a respond

Posting Komentar