Rosyid merasa ada sesuatu yang lain dengan membuat tulisan "Putra Galuh" di pintu kamarnya. "Galuh memberikan pada saya rasa percaya diri yang tinggi," ujarnya. Dia mengaku merasa lebih reueus (bangga) kalau mengatakan berasal dari Galuh. "Sedikit banyak saya tahu tentang kebesaran Galuh pada zaman dahulu, nama Ciamis saya kira tidak mengandung makna apa-apa dan tidak jelas asal-usulnya," kata Rosyid lagi.
Rosyid tidak sendirian. Orang-orang Ciamis yang karena sesuatu hal, melanjutkan sekolah atau bekerja, pergi merantau banyak yang menonjolkan identitas Galuhnya. Di Yogyakarta, misalnya, pelajar dan mahasiswa yang berasal dari Ciamis menamai asramanya dengan nama Asrama Galuh. Perkumpulan mahasiswa asal Ciamis yang belajar di Jakarta pun sama, memakai nama Galuh, yakni Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) Galuh.
Di Bandung, mahasiswa dan pelajar yang berasal dari Ciamis juga membuat organisasi dengan nama Galuh Taruna. Bukan hanya mahasiswa dan pelajarnya yang memakai nama Galuh, melainkan juga inohong-inohong asal Ciamis yang menetap di luar Ciamis. Di Bandung, umpamanya, terdapat perkumpulan dengan nama Wargi Galuh.
Tak cukup itu, huruf awal "G" yang terdapat pada nama seseorang bisa dijadikan petunjuk bahwa yang punya nama itu berasal dari Galuh. Prof. Dr. Yudhistira K. Garna -- Guru Besar Antropologi Unpad Bandung -- misalnya, huruf "G" pada nama Garna menunjukkan bahwa Prof. Dr. Yudhistira berasal dari daerah yang kini bernama Ciamis. "Saya memang berasal dari Ciamis," kata Prof. Yudhistira. Konon, orang Ciamis yang memakai nama diawali "G" adalah keturunan bangsawan Galuh.
Alasan mahasiswa, pelajar, dan inohong-inohong Ciamis memakai nama Galuh sama seperti yang dikemukakan Rosyid tadi. "Nama Galuh mengandung nilai sejarah yang tinggi ketimbang Ciamis," kata Asep, Ketua Umum KBM Galuh Jakarta. Galuh pada masanya, menurut Asep merupakan kerajaan besar. "Wilayah kerajaan Galuh cukup luas dan masa kejayaannya juga cukup lama," kata Asep.
Bagi sejarawan dari Unpad Bandung, Dr. A. Sobana Hardjasaputra, S.S., M.A., masyarakat Ciamis lebih membanggakan nama Galuh daripada Ciamis, itu dapat dimengerti. "Galuh yang di antaranya berarti permata memiliki sejarah yang jelas serta pernah menorehkan kemasyhuran dan kejayaannya, sedangkan Ciamis tidak," ujarnya. Menurutnya, sikap masyarakat Ciamis seperti tadi menunjukkan bahwa apresiasi mereka pada sejarahnya cukup baik.
Pada acara halalbihalal yang diadakan Wargi Galuh di Bandung awal bulan Januari tahun 2003, A. Sobana mengatakan ihwal Galuh tidak hanya terdapat dalam sejarah, tetapi juga terdapat dalam legenda atau cerita rakyat. "Dalam Wawacan Sajarah Galuh, umpamanya, nama Galuh disebutkan sudah ada semenjak zaman prasejarah, dipakai sebagai nama ratu, yakni Ratu Galuh yang mendirikan kerajaan di Lakbok setelah mengalahkan siluman," katanya.
Dalam sejarah, nama Galuh dipakai dalam kurun waktu yang lama, dari abad ke-7 sampai abad ke-16 Masehi, dari nama kerajaan sampai nama kabupaten. "Kerajaan Galuh muncul pada abad ke-7 Masehi, didirikan oleh Wretikandayun," kata A. Sobarna. Kerajaan Galuh ini terus eksis sampai akhir abad ke-16 dan mencapai puncak kejayaannya pada masa Prabu Niskala Wastu Kancana yang pusat kerajaannya di Kawali.
Meski belum dapat dibuktikan kebenarannya sebagaimana yang dituntut oleh ilmu sejarah, berdasarkan tradisi lisan pengaruh kerajaan Galuh sampai di Jawa Timur. Di Surabaya, tepatnya di Kecamatan Bubutan, terdapat nama Kampung Galuhan. Pada tahun 1970-an, orang-orang tua di sana mengaku mereka merupakan keturunan dari Kerajaan Galuh. Nama Galuhan sendiri tadinya berasal dari kata Hujung Galuh atau Ujung Galuh. Nama ini bisa diartikan batas Kerajaan Galuh.
Sebagai kerajaan yang besar yang wilayah kekuasaannya pernah mencakup beberapa wilayah Jawa bagian tengah, Kerajaan Galuh meninggalkan ajaran atau falsafah yang sekarang disebut falsafah kagaluhan. "Falsafah kagaluhan di antaranya berasal dari prasasti Kawali I di Astana Gede, yakni pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya di buana yang artinya harus membiasakan berbuat kebajikan agar lama jaya di dunia," kata A. Sobana.
Ajaran kagaluhan lainnya diambil dari pandangan atau sikap Prabu Haurkuning mengenai kehidupan. "Prabu Haurkuning antara lain berpendapat bahwa kehidupan harus berlandaskan pada silihasih. Ini juga harus berlandaskan pada budi pekerti yang baik," kata A. Sobana. Manusia harus bisa memilih mana yang baik dan mana yang tidak baik. Prabu Haurkuning juga mengingatkan bahwa yang membuat harum seseorang tiada lain adalah budi yang luhur.
Falsafah kagaluhan juga dapat dilihat dari warna ungu yang dipakai oleh Kerajaan Galuh. "Warna ungu ini melambangkan keagungan atau keluhuran budi," kata Ir. H. Enang Supena, tokoh Ciamis yang bekerja dan menetap di Jakarta. Warna ungu ini hingga sekarang terus dipertahankan oleh Pemerintah Kabupaten Ciamis dan menjadi lambang Kabupaten Ciamis.
Nama besar Galuh, menurut A. Sobarna, tidak lantas menjadi luntur pada waktu kerajaan Galuh -- sejak tahun 1595 -- menjadi daerah patalukan (vassal) Mataram dan wilayahnya hanya sebagai kabupaten. Demikian juga waktu dikuasai VOC dari tahun 1705 sampai akhir abad ke-18. "Saat dipegang oleh Bupati R.A.A. Kusumadiningrat (1839-1886), pamor Kabupaten Galuh sangat tinggi karena menjadi kabupaten yang disegani pada masa itu," kata A. Sobarna.
Namun, nama Galuh tidak bisa terus terpakai. "Sejak dikeluarkan dari Wilayah Keresidenan Cirebon dan dimasukkan ke Keresidenan Priangan tahun 1915, tanpa ada alasan yang jelas nama Kabupaten Galuh berubah jadi Kabupaten Ciamis," ujar A. Sobarna. Sejak itu, nama Galuh perlahan tapi pasti terpupus, terutama di dalam administrasi pemerintahan kolonial Belanda, hingga saat ini. Nama Galuh hanya dipakai pada hal-hal yang berkaitan dengan budaya dan sejarah.
Mengenai nama Ciamis, menurut A. Sobarna, hingga saat ini belum ditemukan asal-usulnya. "Ada yang mengatakan nama Ciamis pertama kali diperkenalkan oleh orang Jawa karena sungai di wilayah Galuh banyak ikannya. Amis dalam bahasa Jawa artinya anyir," ujarnya. Ada pula yang berpendapat nama Ciamis ini muncul karena di Galuh pernah terjadi banjir darah. "Darah juga kan baunya amis, anyir," kata A. Sobarna.
Banjir darah yang dimaksud terjadi pada tahun 1739 di daerah Ciancang sehingga terkenal dengan sebutan tragedi Ciancang atau Bedah Ciancang. Waktu itu, daerah Ciancang diserbu ratusan penjarah yang berasal dari Banyumas, namun pasukan Ciancang yang dibantu oleh pasukan dari Sukapura, Limbangan, Parakan Muncang, dan Sumedang, dapat menumpasnya. Para penjarah banyak yang terbunuh.
Melihat ketidakjelasan dari datangnya nama Ciamis ini, A. Sobarna berpendapat bahwa nama Ciamis tidak memiliki nilai sejarah dan tidak mengandung nilai falsafah. "Tidak seperti Galuh," ujarnya. Oleh karena itu, A. Sobarna menyebutkan digantinya Kabupaten Galuh menjadi Kabupaten Ciamis tidak ditemukan dasar filosofinya. "Kalau dikaitkan dengan bau amis ikan atau darah, itu merupakan cemoohan dan pelecehan," katanya lagi. ***
Sumber : Harian Umum Pikiran Rakyat (Juni, 2003)
Leave a respond
Posting Komentar