KHM Habib Lutfi, Ketua MUI Jateng
BULAN ramadan, kesibukan masjid dan mushala mengalami peningkatan kegiatan yang luar biasa. Jika di hari-hari biasa, sehabis shalat isya suasana nyaris sepi tak ada kegiatan. Jangankan kegiatan membaca Alquran, jamaah shalat isya hampir dipastikan hanya satu shaf depan saja tidak penuh. Akan tetapi di bulan ramadan yang merupakan bulan penuh rahmat dan ampunan, hampir dapat dipastikan jumlah jamaah dan volume kegiatan mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Mengapa? Di samping Allah telah menjanjikan dalam Alquran, barang siapa yang menjalani amal ibadah di bulan ramadan, akan dilipatgandakan pahala ibadahnya yang nilainya terserah Allah sendiri.
Baik itu untuk amalan ibadah mahdlah (yang sudah ditentukan) seperti shalat tarawih, witir, tahajud, puasa dan sejenisnya maupun amalan ibadah ghairu mahdlah (selain yang tidak ditentukan) seperti shadaqah, berbuat baik, hingga memberi makan anak yatim.
Kegiatan masjid dan mushala menjadi semakin ramai menjelang sepuluh terakhir di bulan ramadan, meski jamaah yang mengikuti tarawih mulai berkurang. Tetapi hamba hamba Allah rela tidak tidur dan menahan kantuk untuk menantikan sesuatu yang sangat diidam-idamkan.
Tidak hanya tarawih dan tadarus Alquran, pada malam-malam ganjil yakni tanggal 21, 23, 25, 27 dan 29 ramadan, aktivitas ditambah dengan iktikaf (berdiam diri dalam masjid), shalat tasbih dan lain-lain.
Pada tengah malam di atas jam 00.00 para pengurus takmir membuka pintu dan pagar masjid mushala lebar-lebar dan mengumumkan melalui pengeras suara membangunkan umat untuk shalat tasbih, tahajud, hajat dan shalat sunat lainnya dengan satu tujuan sama, yakni sama sama ingin meraih lailatul qadar.
Malam Istimewa
Siapa pun umat Islam tak ingin melewatkan dan meraih lailatul qodar. Betapa tidak, malam yang yang sangat istimewa sebagaimana disebutkan dalam Alquran adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan, yaitu 83 tahun lebih 4 bulan (lailatul qadri khairun min alfi sahr).
Seumpama sehari orang shalat fardlu 17 rakaat, maka selama seribu bulan pahalanya identik dengan shalat 510.000 rakaat. Padahal rata-rata usia umat Muhammad berkisar 60 tahun. Kalau sehari melaksanakan shalat wajib 17 rakaat, maka dalam usia 60 tahun hanya mampu melaksanakan 367.200 rakaat. Betapa besar kemuliaan yang dijanjikan Allah pada lailatul qadar.
Pertanyaannya, kapan sebenarnya malam kemuliaan (lailatul qadar) itu? Dalam Alquran Allah bertanya, tahukah kamu apakah malam kemuliaan (lailatul qadar) itu? Allah menjawab pada ayat berikut (lailatul qodri khoirun min alfi sahr) Allah tampaknya sengaja merahasiakan kapan hari “H” lailatul qadar agar manusia berpikir. Karena kerahasiaan Allah itu sampai sekarang berkembang kontroversi atau polemik tentang malam seribu bulan.
Ada yang berpendapat, hari “H” sengaja dirahasiakan Allah agar umat Islam menghidupkan ramadan sejak awal hingga akhir. Andaikan para kiai dan ulama sepakat lailatul qadar pada malam 27 misalnya, mungkin umat Islam di dunia pilih beribadah habis-habisan pada malam itu saja. Malam-malam ramadan yang lain bisa diabaikan.
Ada juga yang menerjemahkan salamun hiya hatta mathlail fajr atau malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar. Tidak hanya sampai terbitnya matahari, tetapi panjang sampai hitungan yang tidak terbatas. Walhasil kontroversi itu semakin panjang untuk didiskusikan. Bahkan mungkin kalau dibahtsulmasailkan (membahas masalah masalah agama) tidak akan ada habis-habisnya.
Umat Islam yang meyakini lailatul qadar berada di malam likuran atau malam ganjil di atas tanggal 20 ramadan mungkin dilandasi oleh sebuah hadits yang artinya carilah lailatul qadar pada malam ganjil, sepertiga yang terakhir dari bulan ramadlan.
Jadi, tidak perlu disalahkan kalau kemudian para kiai, ulama dan mubalig di masjid dan mushala mengekploitasi hadits tersebut besar-besaran.
Dampaknya tentu pada malam likuran semangat beribadah terasa tertambah seperti mendapat energi baru di tengah tengah kelesuan menjalankan amalan-amalan di bulan ramadan.
Cara Menghitung
Untuk mengetahui kapan hari “H” lailatul qadar, Imam Asy-SyaÃroni memberi pedoman dengan melihat awal ramadan. Kalau awal ramadan jatuh pada Jumat atau Selasa, berarti lailatul qadar jatuh pada malam 29 ramadan.
Kalau awal ramadan jatuh pada Ahad atau Rabu maka lailatul qadar jatuh pada malam 27 ramadan.
Jika awal ramadan Kamis, maka lailatul qadar jatuh pada malam 25 ramadan. Kalau awalnya Sabtu jatuh pada malam 23 ramadan dan jika awal ramadan pada Senin maka jatuh pada malam 21 ramadan.
Imam Asy-SyaÃroni juga memberikan tanda-tanda, yaitu pada malam itu cuaca dalam keadaan terang benderang dan cerah, tidak ada hujan dan bintang di langit menampakkan sinarnya, angin semilir dan tidak panas.
Pagi harinya matahari terbit tidak langsung memancarkan sinar panas tetapi agak redup dan tidak mendung.
Pada prinsipnya, saya setuju kalau ada yang berpendapat malam kemuliaan itu sejak awal hingga akhir ramadan. Yang penting, gelora semangat untuk beribadah terpompa tidak hanya di bulan suci ramadan, akan tetapi juga 11bulan lain di luar bulan suci ramadlan.
Insya Allah kalau sejak awal ramadan kita membiasakan qiyamul lail, shalat tasbih, tahajud, hajat, tawarih dan lain-lain kita akan mendapat berkah lailatul qadar. Amin ya rabbal alamin.(sm/w)
Leave a respond
Posting Komentar