WILAYAH CIAMIS YANG BERINTIKAN GALEUHNA GALUH


Oleh : H.R. Hidayat Suryalaga

PURWA WACANA

Semoga Tatar Galuh beserta seluruh para pemimpin dan penduduknya selalu mendapat kesejahteraan seperti yang pernah dialami ketika Sang Prabu Niskala Wastu Kancana (1371- 1475 M) memerintah di negeri Kawali - Galuh.

Untuk memahami seluruh aspek kehidupan Urang Sunda, terutama pada tataran filosofi pandangan hidupnya, tidak akan terlepas dari "lingga-lingga Kasundaan" yang telah dipancangkan para leluhur Galuh - Kawali. Sejak Kerajaan KENDAN yang diawali Sang Manikmaya (536-568M) di kerajaan KENDAN; selanjutnya oleh Sang WRETIKANDAYUN (612-702M) pendiri Kerajaan GALUH sampai dengan SANG PRABU NISKALA WASTU KANCANA (1371-1475 M) dan dilanjutkan oleh cucundanya Sri Baduga Maharaja - Prabu Jayadewata - Prabu Siliwangi - Pamanah Rasa (1482-1521 M).

Di wilayah Tatar Sunda tersebar prasasti-prasasti peninggalan leluhur Sunda. Diantaranya yang sangat menarik minat para peneliti kebudayaan Sunda, adalah prasasti yang ada di Tatar Ciamis, yaitu di Astana Gede - Kawali, Telah banyak pakar filologi, arkeologi dan sejarah yang menekuni situs di Astana Gede, sejak K.F. Holle (1867 M) sampai dengan para sejarawan yang kemudian. Bermacam penafsiran terhadap isi prasasti telah dikemukakan para pakar. Tentu saja apa pun penafsiran yang telah dibuat itu akan berdampak positif bagi keberadaan peradaban masyarakat Tatar Sunda/Jawa Barat.

Penulis berkeinginan benar untuk mencoba menafakuri makna yang terkandung dalam prasasti di Astana Gede ini, khususnya pada prasasti yang pertama dan prasasti kedua (yang baru ditemukan pada bulan Oktober 1996). Asumsi penulis bahwa apa yang ditulis di atas permukaan batu dengan bersusah payah itu, tentulah mengandung maksud dan makna yang sangat dalam. Tentulah berisikan amanat dari para leluhur untuk keturunannya. Apakah esensi nilai-nilai yang hendak diamanatkannya itu? Adapun penafsiran dan pemaknaan yang penulis lakukan berdasarkan kajian "semiotica dan heurmanetica" dalam idiomatik kearfian urang Sunda disebut dengan Panca Curiga (5 senjata untuk memaknai) yaitu analisis berdasarkan Silib sindir, Suluk, Simbul, Siloka dan Sasmita. Oleh karenanya penafsiran bisa sangat subyektif-individual. Walau demikian, semoga saja : "Sasieureun sabeunyeureun aya pimangpaateunana".

Pun
Seja muka nu dituruban ku mandepun,
dibuka bari ngaliwat,
nu menta dilalakonkeun
Pun sapun.

Prasasti batu yang pertama, terdiri dari 10 baris, ditulis dengan aksara Sunda:
(Sumber acuan adalah wacana dalam Sejarah Jawa Barat Untuk Pariwisata I - Priangan Barat - Priangan Timur - Cirebon. Diperbanyak oleh: Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Jawa Barat. TT. Hal. 42)

nihan tapa kawa-
li nu sya mulia tapa bha-
gya parebu raja was-
tu mangadeg di kuta kawa-
li nu mahayu na kadatuan
surawisesa nu marigi sa-
kulili(ng) dayeuh nu najur sagala
desa aya ma nu pa(n)deuri pakena
gawe rahayu pakeun heubeul ja-
ya
dina buana


"Inilah (tanda peringatan) pertapa Kawali, ialah yang memperoleh kebahagiaan dari bertapa, Prabu Raja Wastu yang berkuasa di kota Kawali; yang memperindah keraton Surawisesa, yang memperkokoh pertahanan sekeliling ibu kota dengan parit, yang memakmurkan segenap daerah; semoga ada yang (berkuasa) kemudian mengikuti kebajikannya, supaya lama hidup di dunia"

Kata yang penulis tebalkan menjadi penanda/kata kunci dalam perbincangan pada forum yang mulia ini, yaitu:


  • tapa > bertapa > pertapa = Untuk masyarakat Sunda lama, pengertian TAPA adalah berkarya/bekerja (lihat Kropak 632 - Naskah Ciburuy, yang menuliskan bahwa ...amal itu sama dengan TAPA, buruk amal buruklah TAPA... (Atja & Saleh Danasasmita, 1981:31,38)
  • mahayu = memperindah, menyiratkan kesadaran akan lingkungan hidup, tata ruang dan permukiman yang serasi dan indah.
  • marigi = membuat parit untuk pertahanan (dan mungkin untuk irigasi, pengairan) sekiling kota. Hal ini pun menyiratkan kesadaran tata ruang dan permukiman serta ketahanan wilayah.
  • najur = memakmurkan, mensejahterakan kehidupan penduduk negeri. Hal ini pun berkaitan dengan kesadaran lingkungan hidup.
  • aya ma = semoga ada... Frasa wacana ini menyiratkan akan adanya KEKUATAN GAIB yang lebih berkuasa dan menentukan segala sesuatu, dengan penggunaan kata "SEMOGA". Di dalamnya ada kesadaran religius dan persaaan kerendahan hati.
  • pa(n)deuri = yang datang kemudian, baik sebagai pemimpin maupun rakyat seluruhnya. Hal ini menyiratkan adanya kesadaran proses regenerasi dan kaderisasi bagi terwujudnya generasi penerus yang lebih unggul.
  • gawe rahayu = mengerjakana kebajikan; mengerjakan sesuatu yang baik sampai tuntas.
  • heubeul jaya dina buana = supaya lama dikenang di dunia. Hal ini menyiratkan kesadaran bahwa hanya dengan KERJA (TAPA) yang baik sampai tuntaslah yang akan menyebabkan nama kita dikenang selamnya.

Prasasti batu kedua, terdiri dari 2 baris:

iweu ulah botoh
bisi kokoro

"Ingatlah jangan berjudi/serakah, nanti bisa sengasara"

  • iweu > ieuh (kata seru, imperatif) = ingat\lah, perhatikanlah
  • botoh > bobotoh = 1) berjudi 2) serakah 3) memprovokasi
  • kokoro = amat sengsara

Bisa dimaknai bila seseorang serakah, tidak hanya dirinya saja yang sengsara, tetapi masyarakat sekitarnya pun akan terimbas kesengaraan tsb. Misalnya saja keserakahan dalam mengeksploitasi lingkungan alam, akan menyebabkan kesengsaraan bagi masyarakatnya.


PUNGKAS WACANA
Ternyata amanat dari Prabu Niskala Wastu Kancana yang telah bersusah payah ditorehkan di permukaan sekeping batu, merupakan filosofi yang mendasari kesadaran hidup yang demikian bernilai. Kalimat-kalimat pendek, yang substansial dan sangat menghargai kualitas manusia yang manggapulia tersiratkan dengan jelas. Isi (GALEUH) dari prasasti inilah yang menjadi PERMATA (GALUH) filosofi wilayah yang kini dinamai Kabupaten Ciamis.
Bahagialah masyarakat Tatar Galuh dan Tatar Sunda/Jawa Barat/NKRI bila mampu mengaplikasikan dan mengaktualisasikannya dalam perilaku kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Pun
PAKENA GAWE RAHAYU
PAKEUN HEUBEUL JAYA
DINA BUANA

Bandung, 2004

(Disampaikan pada pertemuan di Ciamis bersama Dinas Tataruang dan Permukiman Provinsi Jawa Barat. 2004.)



Sumber Acuan:
- Kebudayaan Sunda. Edi S. Ekadjati. Pustaka Jaya. 1995.
- Kehidupan Masyarakat Kanekes. Sundanologi. 1986.
- Sejarah Jawa Barat Untuk Pariwisata I. DIPARDA Prop. Jabar TT
- Sejarah Jawa Barat. Jilid 4. Prop. Jabar. 1983-1984.

Leave a respond

Posting Komentar