CARITA TANAH PASUNDAN

Periode Awal sampai Taruma Nagara

Konon menurut wangsakerta, kerajaan pertama di tanah jawa adalah Salaka Nagara atau Rajatapura (Negeri Perak) dengan pendiri Aki Tirem (=Argyre : Ptolemy). Letaknya di teluk lada Pandeglang sekarang sekitar tahun 150 M. Pemerintahan Salaka Nagara dipimpin oleh raja-raja dengan gelar Dewawarman. Tercatat bahwa gelar Dewawarman diturunkan selama 8 generasi (Dewawarman I - VIII). Diperkirakan kejayaannya hanya sampai tahun 362 M. Selanjutnya penguasaan wilayah Jawa (bag Barat) dilanjutkan oleh Taruma Nagara dan Salaka Nagara pun menjadi kerajaan kecil.

Kerajaan Taruma Nagara tercatat dimulai sejak tahun 358 M dengan raja pertama bernama Jayasingawarman. Jayasingawarman berasal dari negeri Salankayana di India. Ia melarikan diri dari negerinya yang diserang oleh raja Samudragupta dari kerajaan Magada. Dia juga merupakan menantu Dewawarman VIII.

Pada pemerintahan raja Taruma Nagara yang ke-3, cucu Jayasingawarman yaitu Purnawarman (395 – 434), ibukota kerajaan dipindah ke kota baru dengan nama Sundapura (Kota Suci) disekitar muara Ciaruteun. Inilah catatan sejarah pertama mengenai awal digunakannya kata Sunda. Beliau juga memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Chandrabaga (Bhagasasi/Bekasi) sepanjang 6.114 tumbak (11 km).

Selanjutnya, pada masa Suryawarman (535 - 561 M) yang merupakan cucu Purnawarman, kekuasaan Taruma dilebarkan ke arah timur. Untuk itu dalam tahun 526 M, Manikmaya, menantu Suryawarman dari Tirta Kancana, diberikan kekuasaan untuk mendirikan kerajaan baru di Kendan, sekarang terletak di daerah Nagreg (terletak antara Bandung dan Garut). Yang pada masa selanjutnya, cicit Manikmaya yang bernama Wretikandayun (612) memindahkan ibukota Kendan ke kota baru yang diberi nama Galuh (=Permata). Kota tersebut diapit 2 sungai yaitu Citanduy dan Cimuntur. Kota tersebut sekarang bernama Desa Karang Kamulyan di Ciamis.

Cerita terus berlanjut dan raja-raja terus silih berganti sampai dengan raja terakhir Taruma Nagara yaitu Linggawarman. Ia merupakan raja yang ke-12 Taruma yang memerintah sekitar tahun 669 M. Dalam masa penguasaan Taruma telah terdapat 48 kerajaan bawahan diantaranya adalah Salaka Nagara, Galuh, Kendan serta Sunda Sambawa. Dikarenakan tidak memiliki anak laki-laki maka kekuasaan Linggawarman turun kepada menantu pertamanya Tarusbawa. Sebenarnya dia mempunyai 2 anak perempuan yang bernama Manasih dan Sobakancana. Manasih menikah dengan Tarusbawa pewaris kerajaan Sunda Sambawa dan Sobakancana menikah dengan Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri kerajaan Sriwijaya.

Pada masa pemerintahan Tarusbawa, terjadi perselisihan antara 2 menantu Lingawarman. Akibat perselisihan ini Jayanasa/Sriwijaya menyerang Tarusbawa/Taruma (wangsakerta). Akibat serangan itu Taruma melemah, sehingga Tarusbawa kembali ke kerajaan asalnya Sunda Sambawa dengan membawa kekuasaan Taruma. Selanjutnya Taruma Nagara dia ubah namanya menjadi Kerajaan Sunda. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa raja Sunda pertama (sebagai kerajaan besar) adalah Tarusbawa.

Penggantian nama Taruma menjadi Sunda dijadikan momen oleh Galuh/Wretikandayun untuk menyatakan lepas dari Sunda/Taruma (670). Dengan alasan merasa sederajat dengan kerajaan Sunda (sama-sama kerajaan bawahan Taruma). Wretikandayun (cicit Manikmaya) mengklaim wilayah kekuasaan Taruma sebelah Timur dari Kali Cipamali sampai kali Citarum. Saat itu Wretikandayun sudah berumur 78 tahun. Sehingga dia sudah mengenal betul kondisi politik Taruma. Klaim Galuh tersebut berlangsung mulus, karena Tarusbawa menghindari terjadinya peperangan. Bahkan saat itu Tarusbawa merupakan sahabat dari Bratasena anak dari Wretikandayun. Sehingga itulah akhir dari cerita Taruma Nagara yang melemah dan menjadi 2 kerajaan dengan sungai citarum sebagai batas.

Masa Keemasan Galuh

Setelah lepasnya Galuh dari Sunda, Tarusbawa masih berkuasa. Tarusbawa merupakan raja yang panjang umur dan berkuasa lama, diperkirakan berkuasa dari 669-723 M. Dia digantikan oleh cucu menantunya yang bernama Rakeyan Jamri atau lebih dikenal dengan Prabu Sanjaya Harisdharma. Adapun sang putera mahkota (anak Tarusbawa) meninggal sebelum dinobatkan, menyebabkan Tarusbawa digantikan oleh cucu perempuannya yang bernama Tejakancana yang bersuamikan Sanjaya ini. Sanjaya sendiri merupakan anak Sanaha adik perempuan dari Bratasena raja Galuh saat itu.

Sementara itu di Galuh, diceritakan bahwa Wretikandayun yang bergelar Maharaja Suradharma Jayaprakosa setidaknya memiliki 3 anak dari Pohaci Bunga Mangle (Manawati/Candrarasmi) yaitu : Sempakwaja (Jatmika), Jantaka dan Mandiminyak (Amara). Diantara anaknya yang menggantikan dirinya adalah anak bungsunya yang bernama Mandiminyak. Dikarenakan anak tertuanya bernama Sempakwaja dan anak keduanya Jantaka dianggap cacat jasmani.

Selanjutnya Mandiminyak digantikan oleh anaknya dari Rababu yang bernama Bratasena (Sena). Sebenarnya permaisuri Mandiminyak adalah Dewi Parwati yang menurunkan putri Sanaha. Dewi Parwati adalah anak dari maharani Shima dari kerajaan Kalingga (sebelum Mataram Kuno). Namun kekuasaan Sena tak berlangsung lama, ia digulingkan oleh sepupunya, anak dari Sempakwaja yang bernama Purbasora. Purbasora saat itu dibantu oleh raja Indraprahasta dari sekitar daerah Cirebon. Hal ini menyebabkan Sena lari ke Kalingga.

Sanjaya yang merupakan keponakan Bratasena, melakukan serangan balas dendam ke Purbasora. Serangan ini dia lakukan setelah ia dinobatkan menjadi raja Sunda (723-732 M) Hal ini mengakibatkan keluarga Purbasora dimusnahkan. Sedangkan panglima perangnya yang bernama senopati Bimaraksa (Aki Balangantrang) berhasil melarikan diri ke daerah Geger Sunten. Bimaraksa merupakan anak dari Jantaka (anak kedua Wretikandayun). Dengan Serangan balas dendam ini, Galuh pun dikuasai oleh Sanjaya.

Sanjaya tak lama berkuasa di Galuh, untuk menciptakan ketentraman di Galuh, selanjutnya kekuasaan Galuh ia serahkan kepada Permana Dikusuma. Permana merupakan cucu dari Pubasora. Namun sebelumnya, Permana oleh Sanjaya dijodohkan dengan Dewi Pangrenyep anak dari Anggada (Patih Sunda). Dia juga mengangkat anaknya Tamperan sebagai kepala pasukan Galuh. Untuk Demunawan adik Purbasora (anak Sempakwaja dan Wulansari), dia memberikan kekuasaan atas Kuningan dan Galunggung.

Tahun 732 M, Sanjaya juga mewarisi Mataram/Kalingga dari ayahnya yang mengakibatkan ia melepaskan tahta kekuasaan di Sunda kepada anaknya Tamperan. Untuk itu Tamperan yang dikenal juga sebagai Rakai Panaraban (saat itu panglima di Galuh) dia panggil pulang dari Galuh ke Sunda untuk diserahi tahta Sunda. Sehingga saat itu sebenarnya kekuasaan Sanjaya meliputi Kerajan Sunda, Kerajaan Galuh serta kerajaan (Bhumi) Mataram (Kalingga Utara).

Sebelum dijodohkan dengan Pangrenyep, Permana sudah memiliki anak dari Naganingrum (anak dari Bimaraksa) yang bernama Surotama atau Manarah atau lebih dikenal dengan Ciung Wanara. Sedangkan selanjutnya dari Pangrenyep, ia memiliki anak bernama Kamarasa atau (Hariang/Arya) Banga. Banga sendiri diyakini sebagai anak hasil hubungan gelap antara Tamperan dan Pangrenyep. Sehingga saat Permana Dikusuma wafat (konon dibunuh atas perintah Tamperan) yang diangkat menjadi raja Galuh adalah Banga. Ia diberi gelar Prabu Kretabuwana Yasawiguna Aji Mulya.

Saat diadakan pesta sabung ayam di Galuh yang dihadiri juga oleh Tamperan yang saat itu sudah menjadi raja Sunda, Manarah melakukan kudeta terhadap Banga. Kudeta ini dilakukan dengan sokongan dari Bimaraksa dan bantuan Indraprahasta serta Kuningan. Dalam serangan ini Tamperan dan Pengrenyep tewas. Sehingga Sanjaya/Mataram mengirimkan pasukan untuk membalas dendam sekaligus membantu Banga. Peperangan pun akhirnya berubah menjadi peperangan yang besar.

Dalam peperangan tersebut, Harya Banga terdesak. Perang besar tersebut akhirnya didamaikan oleh Demunawan yang saat itu sudah menjadi Resi. Dalam perdamaian itu Sunda Galuh kembali menjadi terpisah. Sunda diberikan kepada Banga dan Galuh diberikan kepada Manarah. Selanjutnya untuk memperkuat perdamaian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan cicit Demunawan. Manarah dengan Kancanawangi dan Banga dengan Kancanasari adik dari Kencana Wangi.

Sang Manarah setelah menjadi raja mendapat gelar Prabu Jayaprakasa Mandaleswara Salakabuwana. Manarah memiliki 7 anak, namun kesemuanya perempuan. Tahta akhirnya turun ke anak perempuannya yang ke-7 yang bernama Purbasari yang bersuamikan Guruminda Sang Ministri. Kisah ratu Purbasari lebih dikenal di masyarakat dengan cerita pantun Lutung Kasarung. Namun selain cerita pantun tersebut, tidak ada catatan lain yang lebih lanjut untuk menjelaskan keadaan pemerintahannya pada waktu itu.

Keturunan Manarah putus hanya sampai cicit dari Purbasari yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891). Sedangkan rakeyan Wuwus merupakan cicit dari Harya Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852, Galuh dan Sunda kembali bersatu dibawah kekuasaan Rakeyan Wuwus dan selanjutnya disebut jaman Sunda Galuh.

Masa Sunda Galuh sampai Sunda Pajajaran

Sunda Galuh terus bertahan dalam perjalanan waktu, hingga pada suatu masa dalam kepemimpinan Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030-1042) raja Sunda ke-20, terjadi kejadian yang disebut Pralaya. Pralaya adalah penyerangan besar besaran Wurawuri/Sriwijaya terhadap kerajaan Medang. Peristiwa ini menjadi istimewa karena Ia beribu seorang puteri Sriwijaya saudara dari Raja Wurawuri. Adapun istri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan juga merupakan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga.

Penerus Sri Jayabupati yang ke-5 adalah Prabu Dharmasiksa. Seyogyanya Prabu Dharmasiksa akan digantikan oleh Rakeyan Jayadarma. Jayadarma adalah suami Singamurti (Dyah Lembu Tal) yang merupakan anak Mahisa Campaka yang berarti cicit dari Ken Arok. Mereka memiliki anak yang bernama Sang Nararya Sanggrama Wijaya (Raden Wijaya). Namun sang putera mahkota Jaya Dharma meninggal sebelum dinobatkan. Akibat meninggalnya Jaya Dharma, Singamurti kembali ke negerinya bersama Raden Wijaya. Di negerinya setelah dewasa, Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit.

Kedudukan putera mahkota Jayadarma akhirnya digantikan oleh adiknya yang bernama Ragasuci (1297-1303). Ragasuci merupakan suami dari Dara Puspa puteri Kerajaan Melayu (Jambi) adik dari Dara Kencana istri Kertanegara, penguasa Singasari. Dan akhirnya Ragasuci dinobatkan menjadi raja kerajaan Sunda.

Selanjutnya keturunan ke-5 Ragasuci adalah Prabu Linggabuana (1350-1357). Prabu Linggabuana adalah raja Sunda yang tewas dalam perang Bubat. Sebagai penghargaan atas keberaniannya melawan Majapahit saat itu, Linggabuana diberi gelar Prabu Wangi. Kedudukan Linggabuana digantikan sementara oleh adiknya Bunisora selaku Pemangku Jabatan. Hal ini dikarenakan anak Linggabuana (Niskalawastukancana) waktu itu belum dewasa. Setelah dewasa maka Niskalawastu dinobatkan menjadi raja Sunda. Diperkirakan sejak saat Prabu Niskalawastu gelar Siliwangi muncul. Silih wangi berarti pengganti Prabu Wangi selanjutnya raja-raja penggantinya juga disebut sebagai Siliwangi.

Niskalawastu mempunyai anak dari Lara Sakarti yang bernama Susuktunggal dan dari Mayangsari bernama Dewaniskala. Kedua anaknya masing-masing diwarisi bagian kerajaan. Akibat pembagian waris tersebut Sunda kembali menjadi dua kerajaan. Bekas kerajaan Sunda di berikan kepada Susuktunggal, sedangkan bekas kerajaan Galuh diberikan kepada Dewa Niskala.

Dewa Niskala memiliki anak yang bernama Jaya Dewata (=Sri Baduga Maharaja). Jaya Dewata dinikahkan dengan Kentring Manik Mayang Sunda anak dari Susuktunggal. Saat Jayadewata mewarisi Galuh (1482-1521), Susuktunggal pun memberikan tahtanya kepada menantunya tersebut sehingga Sunda Galuh kembali menyatu. Beliau memindahkan ibukota dari kawali (Galuh) ke Pakuan. Dimasa Jaya Dewata inilah Sunda lebih dikenal dengan sebutan Pajajaran. Sebutan Pajajaran sendiri merupakan kependekan dari Pakuan Pajajaran. Pakuan Pajajaran kurang lebih berarti Istana(=Pakwwan) yang berjajar. Ini gambaran dari keadaan ibukota yang terdiri dari banyak istana yang rapi berjajar. Sehingga kerajaan tersebut dinamai Pakuan Pajajaran dengan lebih singkatnya Pajajaran.

Selain dengan Kentring Manik Mayang Sunda, Jaya Dewata pun menikah dengan Ambetkasih puteri Ki Gedeng Sindang Kasih juga dengan Subanglarang puteri Ki Gendeng Tapa raja Singapura (daerah sekitar Cirebon). Subanglarang adalah murid dari Pondok Pesantren Quro pimpinan Syekh Hasanuddin di Karawang. Dari Subanglarang ini Jaya Dewata memiliki anak yang bernama Kian/Rakean Santang/Walangsungsang/Pangeran Cakrabuana, Rara Santang dan raja Sangara (Haji Mansyur). Rara Santang kemudian memiliki anak yang bernama Syarif Hidayatullah yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati.

Penerus tahta Jaya Dewata adalah Surawisesa anak dari Kentring Manik Mayang Sunda. Sedangkan Kian Santang diberikan kekuasaan untuk mengkontrol pelabuhan Cerbon menggantikan kakeknya Ki Gendeng Tapa. Selanjutnya Cerbon berkembang dari asalnya kerajaan bawahan menjadi sebuah kesultanan setelah mendapat dukungan Demak. Kekuasaan Kian Santang turun kepada menantu sekaligus keponakannya anak dari Rara Santang yang bernama Syarif Hidayatullah. Dalam masa kepemimpinan Syarif Hidayatullah, Cirebon menyatakan melepaskan diri dari Pajajaran. Pernyataan ini ditandai dengan tidak lagi melakukan pengiriman upeti ke Pajajaran.

Pada masa pemerintahan Surawisesa (1521 – 1535) dia membangun kerjasama dengan Portugis. Kerjasama ini dibangun oleh Surawisesa yang saat itu sudah merasa terancam oleh kesultanan Cerbon yang mendapat dukungan Kesultanan Demak. (Tome Pires). Portugis diberi keleluasaan oleh Sunda untuk beroperasi di Sunda Kelapa. Kekhawatiran Surawisesa terbukti, 1524 Cirebon dibantu Demak merebut Banten. Selanjutnya anak Sunan Gunung Jati yang bernama Maulana Hasanuddin diangkat sebagai Sultan Banten. Maulana Hasanuddin sendiri merupakan anak sunan dari istrinya yang bernama Nyai Kawunganten. Ia adalah anak dari Surasowan yang merupakan adik kandung dari Surawisesa.

Tahun 1527 Sunda Kalapa diserang Cirebon dengan tujuan untuk membalas serangan portugis atas Malaka (1511). Serangan dipimpin oleh Fatahillah/Tubagus Pasai yang merupakan veteran perang Malaka yang juga menantu Sunan Gunung Jati, dibantu Banten dan Demak. Serangan menyebabkan Sunda Kelapa jatuh ke Cirebon dan kemudian namanya di ubah menjadi Jayakarta. Sejak masa tersebut perselisihan antara Sunda dan para sultan (Cerbon+Banten) pun semakin membesar.

Akhirnya pada 11 Wesaka 1501 tahun Saka (8 Mei 1579) Kerajaan Sunda Pajajaran akhirnya benar-benar runtuh. Kejadian ini pada masa Raja Sunda keturunan Jaya Dewata yang ke-5 yaitu Prabu Surya Kancana/Ragamulya/Nusyamulya (1567-1579). Sunda runtuh setelah beberapa kali diserang Kesultanan Banten dan Cirebon. Keruntuhan ditandai dengan dibawanya Watu Gigilang/Palangka Sriman Sriwacana batu tempat penobatan raja Sunda ke istana Surosowan Banten. Sejak itu tidak ditemukan lagi catatan mengenai keberadaan sang Prabu Surya Kancana. Di masyarakat Sunda peristiwa ini dikenal dengan peristiwa ”Ngahyang”. Sehingga sampai saat ini masih dipercayai sebagian besar masyarakat Sunda bahwa Prabu Siliwangi (yang terakhir) Ngahyang.

Pada masa Kerajaan Pajajaran sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kesultanan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf anak Maulana Hasanuddin. Prabu Surya Kancana sebelum meninggalkan Pakuan, mengutus empat prajurit pilihan (Kandaga Lante) untuk pergi ke Kerajaan Sumedang Larang untuk mencari perlindungan. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang). Dengan diberikannya pusaka tersebut kepada Prabu Geusan Ulun (1580-1608), maka dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran telah menyerahkan kekuasaan kepada Kerajaan Sumedang Larang.

Sementara itu, kesultanan Banten dikarenakan telah memiliki batu Gigilang serta merupakan keturunan langsung Jaya Dewata dari kakeknya (=Sunan Gunung Jati), Maulana Yusuf mengklaim sebagai pewaris sah atas tahta Pajajaran. Sehingga Banten pun bersitegang dengan Sumedang. Namun secara de facto, wilayah sisa kerajaan Sunda waktu itu tidak pernah berada dalam administrasi kekuasaan kesultanan Banten.

Pada masa Surya Kancana sudah keluar dari Pakuan (Ngahyang), Istana Pakuan jatuh ke tangan pasukan koalisi Islam (Demak, Banten + Cirebon). Dalam perjanjian terakhir, Sunan Gunung Jati selaku tetua (keturunan dekat Siliwangi) meminta bagi para penghuni kota pakuan yang tidak mau beragama Islam untuk keluar. Hasil perjanjian ini mengakibatkan 40 orang anggota pasukan elit kerajaan sunda keluar dan akhirnya bermukim di Cibeo dan konon menjadi Masyarakat Kanekes (=”Urang Baduy”).

Masa Sumedang Larang sampai Jatuh ke Tangan Belanda

Pada saat pemerintahan Sumedang berada di tangan Prabu Geusan Ulun/Angkawijaya, Mataram (=Sultan Agung) sedang dalam masa kejayaannya. Sehingga demi kepentingan politik (terutama untuk menghadapi Banten) Sumedang menyatakan bergabung dengan Mataram. Pada masanya pula terjadi perselisihan yang menimbulkan peperangan dengan Cirebon. Peperangan ini berhasil didamaikan oleh Mataram. Hasil perdamaian menyebabkan Sumedang kehilangan wilayah Majalengka. Namun Geusan Ulun mendapatkan Ratu Harisbaya (puteri kerabat Mataram) yang menandakan kedekatan dengan Mataram serta kemerdekaan dari Cerbon (akibat kejatuhan Pajajaran).

Penerus Geusan Ulun adalah anak tirinya dari Ratu Harisbaya yaitu Rangga Gempol Kusumah Dinata atau Raden Aria Suradiwangsa (1620-1624). Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, Mataram semakin kuat. Pada tahun 1620 M Sumedang Larang tunduk kepada Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' diubahnya menjadi 'kadipaten'.

Suatu saat Rangga Gempol diperintahkan oleh Sultan Agung untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Namun sejak saat itu Rangga Gempol tidak pernah kembali ke Sumedang, konon ia selanjutnya diangkat menjadi orang dalam istana Mataram. Pemerintahan Sumedang kemudian diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.

Dalam masa pemerintahannya Sumedang Larang diserang pasukan Kesultanan Banten. Karena Rangga Gede/Rangga Gempol II tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menangkap dan menghukum penjara Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.

Sebagai tanda bakti, Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa untuk menyerang dan merebut pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta). Serangan tersebut mengalami kegagalan (1628) dan Bahureksa pun tewas. Karena menolak untuk dihukum akibat kekalahan ini, Dipati Ukur memberontak terhadap kekuasaan Mataram. Namun pemberontakan ini dapat dipatahkan dan menyebabkan Dipati Ukur akhirnya dihukum oleh Sultan Agung (1632).

Dengan dihukumnya Dipati Ukur, Pemerintahan dikembalikan kepada Rangga Gede. Saat itu wilayah Sunda telah kehilangan kekuasaan atas Cerbon dan Majalengka (Sultan Cerbon), Banten (Sultan Banten), Jakarta (VOC) dan Galuh (Mataram). Sehingga sisa wilayah Sunda yang masih dipimpin oleh pewaris tahta yang ”sah” tinggal empat kadipaten yaitu Sumedang, Sukapura (=Tasikmalaya), Parakan Muncang dan Tatar Ukur (=Bandung). Keempat kadipaten ini lebih dikenal dengan nama Priangan. Namun demikian sisa wilayah ini pun sebenarnya tunduk kepada Mataram. Adapun kadipaten lain yang langsung dibawah kontrol Mataram (Amangkurat I) adalah Karawang, Imbanagara, Kawasen, Wirabaja (Galuh), SekacĂ© (Sindangkasih), Banyumas, Ayah (Dayeuhluhur), jeung Banjar (Panjer).

Pada saat kekuasaan Mataram mulai menurun, wilayah Priangan sisa kerajaan Sunda yang terakhir diserahkan oleh Mataram kepada Belanda (1677). Dan tahun 1705 Belanda juga berhasil menguasai Cerbon dan Priangan Timur (Galuh) melalui perjanjian dengan Mataram. Sehingga wilayah Sunda kecuali Banten telah berada dalam kontrol Belanda. Disusul tahun 1808 Istana Surosowan Banten jatuh ke tangan Raffless/Belanda (saat itu dibawah Inggris). Tahun 1813 Banten sepenuhnya dikuasai Belanda. Sehingga sejak saat itu, secara otomatis wilayah kerajaan Sunda telah sepenuhnya dikuasai Belanda.

(Disarikan oleh : Firman Raharja - 090108)

Keterangan:

1. Dari berbagai sumber yang konon berasal dari Naskah Wangsakerta, Carita Parahyangan, prasasti-prasasti, Bujangga Manik, Babad Pajajaran, Carita Warunggu Guru, Naskah Sukapura, Caruban dsb. dengan acuan utama tulisan ini adalah situs Wikipedia.

2. Tulisan ini merupakan analisa bebas dari penulis dari beberapa interpretasi sejarah dari berbagai sumber. Tidak berdasarkan atas ilmu sejarah yang valid. Hanya ditujukan untuk kepuasan penulis sendiri.

3. Jika ada yang penasaran dengan cerita lebih valid maka disarankan untuk membaca sumber langsung seperti yang tercantum dalam poin 1.

Leave a respond

Posting Komentar