Penelitian jenis antropologi yang dilakukan Clifford Geertz di Mojokuto mulai Mei 1953 sampai September 1954 ini menghasilkan konstruksi nalar Jawa yang sangat berpengaruh bagi perkembangan sosial, politik, dan budaya di Indonesia. Dalam laporannya, Geertz menyuguhkan fenomena Agama Jawa ke dalam tiga varian utama: abangan, santri, dan priyayi. Trikotomi Agama Jawa itulah yang sampai sekarang terus disebut-sebut dalam wacana sosial, politik, dan budaya di Indonesia dan menjadikannya referensi induk atas upaya ilmuwan sosial di belakangnya yang membedah tentang Jawa. Kekuatan utama Geertz mengungkap fenomena Agama Jawa adalah kemampuan mendeskripsikan secara detail ketiga varian tersebut dan menyusun ulang dalam konklusi hubungan konflik dan integrasi yang logis dan utuh atas ketiga varian tersebut.
Metode kerja yang dipakai Geertz dalam pengumpulan data-data selama penelitiannya di Mojokuto, kota kecil di Jawa Timur, adalah penguasaan bahasa lokal, pemanfaatan banyak informan local, pembagian tugas dengan tim peneliti lain, pendalaman topik-topik tertentu yang membutuhkan detail, dan pengumpulan data-data statistik. Dan bagian terbesarnya digunakan untuk kegiatan observasi-partisipatif. Prinsip kerjanya berdasarkan proposisi “...bahwa ahli etnografi itu mampu mencari jalan keluar dari datanya, untuk membuat dirinya sendiri jelas agar para pembaca dapat melihat sendiri bagaimana tampaknya fakta-fakta itu, dan dengan demikian bisa menilai kesimpulan dan generalisasi ahli etnografi itu sesuai dengan persepsi aktualnya sendiri� (hal. 9). Meskipun Jawa adalah Jawa yang stereotip penunjukannya jelas, namun perhatian Geertz mengungkap adanya varian agama Jawa lebih kepada adanya kompleksitas masyarakat Jawa.
Pengamatan Geertz tentang Mojokuto terkait profesi penduduk setempat, penggolongan penduduk menurut pandangan masyarakat Mojokuto berdasarkan kepercayaan, preferensi etnis dan pandangan politik, dan ditemukannya tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe kebudayaan: abangan, santri dan priyayi. Struktur sosial desa –biasanya diasosiasikan kepada para petani, pengrajin dan buruh kecil- yang penuh dengan tradisi animisme upacara slametan, kepercayaan terhadap makhluk halus, tradisi pengobatan, sihir dan magi menunjuk kepada seluruh tradisi keagamaan abangan. Sementara pasar –terlepas dari penguasaan etnis Cina yang tidak menjadi pengamatan Geertz- diasosiasikan kepada petani kaya dan pedagang besar dari kelompok Islam berdasarkan kondisi historis dan sosial di mana agama Timur Tengah berkembang melalui perdagangan dan kenyataan yang menguasai ekonomi Mojokuto adalah mereka memunculkan subvarian keagamaan santri. Yang terakhir adalah subvarian priyayi. Varian ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan dari tradisi Keraton Hindu-Jawa. Sebagaimana halnya Keraton (simbol pemerintahan birokratis), maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi, dan mistisisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya.
Varian Abangan
Bagi sistem keagamaan Jawa, slametan merupakan pusat tradisi yang menjadi perlambang kesatuan mistis dan sosial di mana mereka berkumpul dalam satu meja menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk untuk memenuhi setiap hajat orang atas suatu kejadian yan ingin diperingati, ditebus, atau dikuduskan. Misalnya kelahiran, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, ganti nama, sakit, dll. Struktur upacaranya terdiri dari hidangan khas, dupa, pembacaan doa Islam, dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa Jawa tinggi yang resmi. Dan bagi kalangan abangan yang terdiri dari petani dan proletar, slametan adalah bagian dari kehidupannya.
Dalam tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan: (1) yang berkisar krisis kehidupan (2) yang berhubungan dengan pola hari besar Islam namun mengikuti penanggalan Jawa (3) yang terkait dengan integrasi desa, bersih desa (4) slametan sela untuk kejadian luar biasa yang ingin dislameti. Semuanya menunjukkan betapa slametan menempati setiap proses kehidupan dunia abangan. Slametan berimplikasi pada tingkah laku social dan memunculkan keseimbangan emosional individu karena telah di_-slamet-_i (hal. 17).
Kepercayaan kepada roh dan makhlus halus bagi abangan menempati kepercayaan yang mendasari misalnya perlunya mereka melakukan slametan. Mereka percaya adanya memedi, lelembut, tuyul, demit, danyang, dan bangsa alus lainnya. Hal yang berpengaruh atas kondisi psikologis, harapan, dan kesialan yang tak masuk akal. Semuanya melukiskan kemenangan kebudayaan atas alam, dan keunggulan manusia atas bukan manusia (hal. 36). Gambarannya adalah kebudayaan orang Jawa berkembang dan hutan tropis yang lebat berubah menjadi persawahan dan rumah, makhlus halus mundur ke sisa belantara, puncak gunung berapi, dan Lautan Hindia.
Kalau kepercayaan mengenai roh dan berbagai slametan merupakan dua sub katagori daripada agama abangan, maka yang ketiga adalah kompleks pengobatan, sihir dan magi yang berpusat pada peranan seorang dukun (hal.116). Ada beberapa macam dukun: dukun bayi, dukun pijet, dukun prewangan, dukun calak, dukun wiwit, dukun temanten, dukun petungan, dukun sihir, dukun susuk, dukun japa, dukun jampi, dukun siwer, dukun tiban. Masyarakat Mojokuto secara umum mengakui adanya dukun, namun apakah mereka percaya kepada kemampuan dukun merupakan masalah lain. Ada konsep lain yang menyertainya yaitu kecocokan (cocog).
Varian Santri
Mojokuto yang berdiri pada pertengahan akhir abad ke-19, jemaah muslimnya terkristal dalam latar abangan yang umum. Sementara mereka yang terdiri dari kelas pedagang dan banyak petani muncul dari utara Jawa memunculkan varian santri. Perbedaan yang mencolok antara abangan dan santri adalah jika abangan tidak acuh terhadap doktrin dan terpesona kepada upacara, sementara santri lebih memiliki perhatian kepada doktrin dan mengalahkan aspek ritual Islam yang menipis (hal. 172). Santri juga lebih peduli kepada pengorganisasian sosial umat di sekeliling mereka. Di Mojokuto, ada empat lembaga sosial yang utama; parpol Islam, sistem sekolah agama, birokrasi pemerintah/Depag, dan jamaah masjid/langgar. Keempatnya berpautan baik pada santri yang modern dan kolot. Ada tiga titik komunitas santri di Mojokuto: yakni petani santri desa yang kaya, pedagang kecil kota, dan keluarga penghulu/aristokrasi santri. Perbedaaan sosial inilah yang menyebabkan timbulnya konflik-konflik di antara mereka. Konflik itu dapat terpecahkan oleh kesamaan agama santri (hal. 182). Antara tahun 1953-1954, ada satu PSII yang menyisakan beberapa orang SI yang asli dan kerabat keluaraga, partai NU sebagai Orsos dan Parpol yang digabungkan dalam satu kesatuan organisasi yang agak lemah, Masyumi sedikit lebih baik dalam organisasi yang dipimpin orang Muhammadiyah, dan Muhammadiyah sendiri sebagai organisasi sosial (hal. 199).
Pembagian santri modern dan konservatif oleh Geertz didasarkan pada 5 perbedaan tafsir keduanya; kehidupan yang ditakdirkan lawan kehidupan yang ditentukan sendiri, pandangan yang totalistik lawan terbatas, Islam sinkretik lawan Islam murni, perhatian kepada pengalaman religius lawan penekanan aspek instrumental agama, pembenaran atas tradisi dan madzhab lawan pembenaran purifikasi secara umum dan pragmatis (h. 217). Sehingga pandangan dunia santri kolot sebenarnya lebih dekat kepada abangan. Hubungan santri modernis dan konservatif lebih kepada penyikapan terhadap abangan. Jika modernis menekankan disasosiasi dan purifikasi dalam sebuah kelompok kecil pemimpin agama kaum konservatif mencoba mengambil jalan tengah yang selaras dengan tradisi yang berlaku.
Pandangan keagamaan santri modernis vis a vis konservatif mempolakan pengorga-nisasian politik yang sama. Ada Masyumi-Muhammadiyah dan PSII sebagai progresif-modernis dan NU yang konservatif. Jika NU mengalami konflik antara generasi mudanya yang terpelajar dan terpengaruh kota dengan kiai-kiai pedesaan yang lebih tua, sementara konflik dalam Masyumi-Muhammadiyah antara yang saleh dan sekuler atau mengatur agar Islam modernis tidak menjadi sekuler. (hal. 227).
Untuk mempertahankan doktrin santri mereka mengembangkan pola pendidikan yang khusus dan terus menerus. Di antaranya pondok (pola santri tradisional), langgar dan masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat (mistik Islam tradisonal) dan model sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan modernis. Pertemuan antara pola pondok dan sekolah memunculkan varian pendidikan baru dan upaya santri memasukkan pelajaran doktrin pada sekolah negeri/sekuler.
Terkait ide negara Islam, santri konservatif memahaminya sebagai teokrasi di mana para kyailah yang berkuasa. Sementara modernis berpandangan ada jaminan non muslim tidak menjadi kepala negara dan konstitusi yang mencantumkan hukum harus sesuai dengan jiwa al-Quran dan Hadis dan menyerahkan pelaksanaannya pada pembuat Undang-undang. Geertz memandang Depag merupakan kompromi kedua santri terhadap keberadaan negara nasional. Pada akhirnya terjadi rivalitas kedua santri menguasai birokrasi di Depag.
Pola ibadat santri yang meliputi sembahyang, shalat Jumat dan puasa di Mojokuto dalam beberapa masalah masih terpengaruh oleh perbedaan santri modernis dan konservatif. Di antaranya persoalan khutbah, teraweh, tadarus dan akhir liburan puasa. Terkait shalat itulah yang secara tegas membedakan antara santri dengan abangan dan priyayi.
Varian Priyayi
Priyayi mewakili aristokrasi Jawa. Kebanyakan mereka berdiam di kota yang disebabkan ketidakstabilan politik dalam kerajaan masa pra-kolonial, karena filsafat mereka yang melihat ke dalam yang lebih menghargai prestasi mistik daripada keterampilan politik, upaya Belanda merangkul petani. Mereka adalah birokrat, klerk/juru tulis, guru bangsawan yang makan gaji. Priyayi asalnya adalah keturunan raja-raja besar Jawa yang tersisa merupakan hasil dari kehidupan kota selama hampir 16 abad., namun berkembang oleh campur tangan Belanda kepada kelompok instrumen administrasi pemerintahan.
Priyayi memandang dunia ini dengan konsep alus dan kasar. Alus menunjuk pada murni, berbudi halus, tingkah laku yang halus, sopan, indah, lembut, beradab dan ramah. Simbolnya adalah tradisi kromo-inggil, kain bagus yang alus, musik alus. Dan konsep alus ini bisa menunjuk apa saja yang semakna dengan alus. Lawan dari alus adalah kasar dan merupakan kebalikan dari alus, bahasa kasar, tingkah laku kasar. Konteks priyayi bertemu dengan abangan dalam hal alus dan kasar. Sementara titik kehidupan “keagamaan� priyayi berpusat etiket, seni dan mistik. Yang menggabungkan unsur ketiganya adalah rasa.
Ada empat prinsip pokok yang menjiwai etiket priyayi yakni bentuk yang sesuai untuk pangkat yang tepat, ketidak langsungan, kepura-puraan, dan menghindari perbuatan yang ngawur atau tak menguasai diri. Ada banyak cara yang ditunjukkan oleh priyayi untuk menunjukkan sesuatu namun tetap berpegang pada prinsip tadi. Hal ini yang mengesankan priyayi adalah kaku, bertingkat dan formal.
Priyayi menganggap bahwa wayang, gamelan, lakon, joged, tembang dan batik adalah perwujudan kesenian yang alus. Berbeda halnya dengan ludrug, kledek, jaranan, dan dongeng sebagai kesenian yang kasar. Dan kesenian itu mengekspresikan nilai-nilai priyayi. Tidak mungkin bagi priyayi Mojokuto (camat misalnya) mengundang ludrug untuk pesta pernikahan anaknya.
Pandangan dunia priyayi terhadap aspek religius disebut dengan mistik. Mistik yang dimaksud adalah serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan batin orang yang didasarkan pada analisa intelektual atau pengalaman. Tujuan pencarian mistik adalah pengetahuan tentang rasa dan itu harus dialami oleh priyayi. Ritual yang dilakukan adalah bentuk tapa dan semedi dalam keadaan ngesti (menyatukan semua kekuatan individu dan mengarahkannya langsung pada tujuan tunggal, memusatkan kemampuan psikologis dan fisiknya ke arah satu tujuan yang sempit (hal. 430).
Sekte-sekte mistik Mojokuto dalam bentuknya yang formal mengambil anggota dari pejabat (wedana), aparat (mantri polisi), penilik sekolah, juru gambar dan sejenisnya dari kalangan priyayi.
Konflik dan Integrasi
Agama tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial tapi juga peranan memecah masyarakat. Dengan demikian ketiga varian agama Jawa di Mojokuto itu mempunyai peranan yang saling kontradiksi. Geertz menyimpulkan (hal. 476-477):
1.Ada banyak antagonisme diantara para pemeluk berbagai orientasi keagamaan; dan antagonisme ini mungkin sedang meningkat
2.sekalipun ada perbedaan antagonisme, semua/hampir semua orang Jawa memegang nilai-nilai yang sama yang cenderung melawan efek memecah dari penafsiran-penafsiran yang berbeda thd nilai-nilai ini. Lagipula, ada berbagai mekanisme sosial yang cenderung mencegah konflik nilai mempunyai akibat-akibat yang mengganggu.
3.faktor yang mempertajam konflik:
* konflik ideologis yang hakiki karena ketidak senangan terhadap nilai-nilai kelompok lain.
* Sistim stratifikasi sosial yang berubah dan mobilitas status yang cenderung untuk memaksakan adanya kontak diantara individu-individu dan kelompok-kelompok yang secara sosial dulunya sedikit terpisah
* Perjuangan untuk kekuasaan politik yang makin meningkat secara tajam untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan pemerintiah kolonial yang cenderung untuk menyuburkan perbedaan-perbedaan agama dengan kepentingan politik
* Kebutuhan akan kambing hitam untuk memusatkan ketegangan yang dibangkitkan oleh perubahan sistim sosial yang cepat
Hal-hal yang meredakan konflik antara lain termasuk:
* Perasaan berkebudayaan satu, termasuk makin pentingnya nasionalisme, yang menitikberatkan pada kesamaan yang dipunyai orang Jawa (atau bangsa Indonesia) ketimbang pada perbedaannya
* Kenyataan bahwa pola-pola keagamaan tidak terwujud secara langsung dalam bentuk-bentuk sosial, secara murni dan sederhana, melainkan dalam banyak cara yang berliku-liku, hingga janji keagamaan dan janji-janji lainnya –kepada kelas, tetangga, dsb- cenderung untuk seimbang, dan berbagai individu dan kelompok “tipe campuran� timbul, yang bias memanikan perantara.
* Toleransi umum yang didasrkan atas suatu “relatifisme kontekstual� yang menganggap nilai-nilai tertentu memang sesuai dengan konteksnya dan dengan demikian memperkecil “misionisasi�.
* Pertumbuhan mekanisme sosial yang tetap untuk bentuk-bentuk integrasi sosial yang pluralistic dan nonsinkretis dimana orang yang berasal dari berbagai pandangan sosial dan nilai dasar yang berbeda dapat bergaul dengan cukup baik satu sama lain dan menjaga agar masyarakat tetap berfungsi.
Ketegangan sosial antara ketiga varian itu adalah priyayi dan santri tidak sepakat dalam banyak hal, dan kebencian petani terhadap aristokarasi yang memerintah yang eksploitatif dan pedagang santri kota sudah berlangsung lama. Sementara ketegangan ideology abangan dengan priyayi diungkapkan lebih halus dibanding keduanya dengan santri. Untuk konflik kelas terjadi antara priyayi dengan abangan dengan tuduhan “orang desa�. Stratifikasi sosial masa setelah revolusi ini tidak sekaku masa kolonial dimana abangan dapat meraih status yang lebih tinggi karena prestasinya sudah terjadi dan karena abangan sudah lebih terorganisir.
Faktor yang mengintegrasi diilhami adanya keyakinan semua varian tentang ide kerukunan dan memakai simbol slametan, kepercayaan yang berbeda adalah relativ (tidak memaksa jika tidak cocog), saling kecocokan (cocog) diantara mereka jika dibandingkan dengan orang Cina atau Eropa, adanya nasionalisme dan proyeksi kebudayaan bersama yang baru, tidak selalu liniernya perubahan sistim tiap varian, adanya toleransi dan integrasi sosial yang pluralistic, munculnya hari-hari besar nasional dan hari 1 Mei dan 17 Agustus, dan faktor pemersatu yang menghilangkan semua perbedaan ketiga varian karena ketiganya merasa memiliki faktor itu adalah Riyaya. Yakni hari besar Jawa (dan Indonesia) akhir libur puasa.
Penutup
Membaca laporan Geertz nampak adanya pertautan yang kuat antar setiap varian. Mungkin hal ini terkait kompleksitas individu dalam kelompok dan tidak adanya komunitas yang benar-benar terpisah yang mewakili varian itu. Ditemukan misalnya orang abangan yang santri, begitu juga santri yang priyayi dan abangan yang priyayi, juga misalnya ada dukun abangan, dukun priyayi. Kemampuannya mengungkap secara detail objek yang dikaji, di samping orisilitas temuannya menjadikan kekuatan laporan penelitian Geertz ini. Di tangan dialah teori trikotominya bermula.
(Disampaikan oleh Daniel Zuchron dalam Diskusi Bulanan Staf PP. LAKPESDAM NU, 30 Mei 2006 di Gedung Perpustakaan PBNU
http://www.lakpesdam.or.id/index.php?id=82
Metode kerja yang dipakai Geertz dalam pengumpulan data-data selama penelitiannya di Mojokuto, kota kecil di Jawa Timur, adalah penguasaan bahasa lokal, pemanfaatan banyak informan local, pembagian tugas dengan tim peneliti lain, pendalaman topik-topik tertentu yang membutuhkan detail, dan pengumpulan data-data statistik. Dan bagian terbesarnya digunakan untuk kegiatan observasi-partisipatif. Prinsip kerjanya berdasarkan proposisi “...bahwa ahli etnografi itu mampu mencari jalan keluar dari datanya, untuk membuat dirinya sendiri jelas agar para pembaca dapat melihat sendiri bagaimana tampaknya fakta-fakta itu, dan dengan demikian bisa menilai kesimpulan dan generalisasi ahli etnografi itu sesuai dengan persepsi aktualnya sendiri� (hal. 9). Meskipun Jawa adalah Jawa yang stereotip penunjukannya jelas, namun perhatian Geertz mengungkap adanya varian agama Jawa lebih kepada adanya kompleksitas masyarakat Jawa.
Pengamatan Geertz tentang Mojokuto terkait profesi penduduk setempat, penggolongan penduduk menurut pandangan masyarakat Mojokuto berdasarkan kepercayaan, preferensi etnis dan pandangan politik, dan ditemukannya tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe kebudayaan: abangan, santri dan priyayi. Struktur sosial desa –biasanya diasosiasikan kepada para petani, pengrajin dan buruh kecil- yang penuh dengan tradisi animisme upacara slametan, kepercayaan terhadap makhluk halus, tradisi pengobatan, sihir dan magi menunjuk kepada seluruh tradisi keagamaan abangan. Sementara pasar –terlepas dari penguasaan etnis Cina yang tidak menjadi pengamatan Geertz- diasosiasikan kepada petani kaya dan pedagang besar dari kelompok Islam berdasarkan kondisi historis dan sosial di mana agama Timur Tengah berkembang melalui perdagangan dan kenyataan yang menguasai ekonomi Mojokuto adalah mereka memunculkan subvarian keagamaan santri. Yang terakhir adalah subvarian priyayi. Varian ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan dari tradisi Keraton Hindu-Jawa. Sebagaimana halnya Keraton (simbol pemerintahan birokratis), maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi, dan mistisisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya.
Varian Abangan
Bagi sistem keagamaan Jawa, slametan merupakan pusat tradisi yang menjadi perlambang kesatuan mistis dan sosial di mana mereka berkumpul dalam satu meja menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk untuk memenuhi setiap hajat orang atas suatu kejadian yan ingin diperingati, ditebus, atau dikuduskan. Misalnya kelahiran, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, ganti nama, sakit, dll. Struktur upacaranya terdiri dari hidangan khas, dupa, pembacaan doa Islam, dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa Jawa tinggi yang resmi. Dan bagi kalangan abangan yang terdiri dari petani dan proletar, slametan adalah bagian dari kehidupannya.
Dalam tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan: (1) yang berkisar krisis kehidupan (2) yang berhubungan dengan pola hari besar Islam namun mengikuti penanggalan Jawa (3) yang terkait dengan integrasi desa, bersih desa (4) slametan sela untuk kejadian luar biasa yang ingin dislameti. Semuanya menunjukkan betapa slametan menempati setiap proses kehidupan dunia abangan. Slametan berimplikasi pada tingkah laku social dan memunculkan keseimbangan emosional individu karena telah di_-slamet-_i (hal. 17).
Kepercayaan kepada roh dan makhlus halus bagi abangan menempati kepercayaan yang mendasari misalnya perlunya mereka melakukan slametan. Mereka percaya adanya memedi, lelembut, tuyul, demit, danyang, dan bangsa alus lainnya. Hal yang berpengaruh atas kondisi psikologis, harapan, dan kesialan yang tak masuk akal. Semuanya melukiskan kemenangan kebudayaan atas alam, dan keunggulan manusia atas bukan manusia (hal. 36). Gambarannya adalah kebudayaan orang Jawa berkembang dan hutan tropis yang lebat berubah menjadi persawahan dan rumah, makhlus halus mundur ke sisa belantara, puncak gunung berapi, dan Lautan Hindia.
Kalau kepercayaan mengenai roh dan berbagai slametan merupakan dua sub katagori daripada agama abangan, maka yang ketiga adalah kompleks pengobatan, sihir dan magi yang berpusat pada peranan seorang dukun (hal.116). Ada beberapa macam dukun: dukun bayi, dukun pijet, dukun prewangan, dukun calak, dukun wiwit, dukun temanten, dukun petungan, dukun sihir, dukun susuk, dukun japa, dukun jampi, dukun siwer, dukun tiban. Masyarakat Mojokuto secara umum mengakui adanya dukun, namun apakah mereka percaya kepada kemampuan dukun merupakan masalah lain. Ada konsep lain yang menyertainya yaitu kecocokan (cocog).
Varian Santri
Mojokuto yang berdiri pada pertengahan akhir abad ke-19, jemaah muslimnya terkristal dalam latar abangan yang umum. Sementara mereka yang terdiri dari kelas pedagang dan banyak petani muncul dari utara Jawa memunculkan varian santri. Perbedaan yang mencolok antara abangan dan santri adalah jika abangan tidak acuh terhadap doktrin dan terpesona kepada upacara, sementara santri lebih memiliki perhatian kepada doktrin dan mengalahkan aspek ritual Islam yang menipis (hal. 172). Santri juga lebih peduli kepada pengorganisasian sosial umat di sekeliling mereka. Di Mojokuto, ada empat lembaga sosial yang utama; parpol Islam, sistem sekolah agama, birokrasi pemerintah/Depag, dan jamaah masjid/langgar. Keempatnya berpautan baik pada santri yang modern dan kolot. Ada tiga titik komunitas santri di Mojokuto: yakni petani santri desa yang kaya, pedagang kecil kota, dan keluarga penghulu/aristokrasi santri. Perbedaaan sosial inilah yang menyebabkan timbulnya konflik-konflik di antara mereka. Konflik itu dapat terpecahkan oleh kesamaan agama santri (hal. 182). Antara tahun 1953-1954, ada satu PSII yang menyisakan beberapa orang SI yang asli dan kerabat keluaraga, partai NU sebagai Orsos dan Parpol yang digabungkan dalam satu kesatuan organisasi yang agak lemah, Masyumi sedikit lebih baik dalam organisasi yang dipimpin orang Muhammadiyah, dan Muhammadiyah sendiri sebagai organisasi sosial (hal. 199).
Pembagian santri modern dan konservatif oleh Geertz didasarkan pada 5 perbedaan tafsir keduanya; kehidupan yang ditakdirkan lawan kehidupan yang ditentukan sendiri, pandangan yang totalistik lawan terbatas, Islam sinkretik lawan Islam murni, perhatian kepada pengalaman religius lawan penekanan aspek instrumental agama, pembenaran atas tradisi dan madzhab lawan pembenaran purifikasi secara umum dan pragmatis (h. 217). Sehingga pandangan dunia santri kolot sebenarnya lebih dekat kepada abangan. Hubungan santri modernis dan konservatif lebih kepada penyikapan terhadap abangan. Jika modernis menekankan disasosiasi dan purifikasi dalam sebuah kelompok kecil pemimpin agama kaum konservatif mencoba mengambil jalan tengah yang selaras dengan tradisi yang berlaku.
Pandangan keagamaan santri modernis vis a vis konservatif mempolakan pengorga-nisasian politik yang sama. Ada Masyumi-Muhammadiyah dan PSII sebagai progresif-modernis dan NU yang konservatif. Jika NU mengalami konflik antara generasi mudanya yang terpelajar dan terpengaruh kota dengan kiai-kiai pedesaan yang lebih tua, sementara konflik dalam Masyumi-Muhammadiyah antara yang saleh dan sekuler atau mengatur agar Islam modernis tidak menjadi sekuler. (hal. 227).
Untuk mempertahankan doktrin santri mereka mengembangkan pola pendidikan yang khusus dan terus menerus. Di antaranya pondok (pola santri tradisional), langgar dan masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat (mistik Islam tradisonal) dan model sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan modernis. Pertemuan antara pola pondok dan sekolah memunculkan varian pendidikan baru dan upaya santri memasukkan pelajaran doktrin pada sekolah negeri/sekuler.
Terkait ide negara Islam, santri konservatif memahaminya sebagai teokrasi di mana para kyailah yang berkuasa. Sementara modernis berpandangan ada jaminan non muslim tidak menjadi kepala negara dan konstitusi yang mencantumkan hukum harus sesuai dengan jiwa al-Quran dan Hadis dan menyerahkan pelaksanaannya pada pembuat Undang-undang. Geertz memandang Depag merupakan kompromi kedua santri terhadap keberadaan negara nasional. Pada akhirnya terjadi rivalitas kedua santri menguasai birokrasi di Depag.
Pola ibadat santri yang meliputi sembahyang, shalat Jumat dan puasa di Mojokuto dalam beberapa masalah masih terpengaruh oleh perbedaan santri modernis dan konservatif. Di antaranya persoalan khutbah, teraweh, tadarus dan akhir liburan puasa. Terkait shalat itulah yang secara tegas membedakan antara santri dengan abangan dan priyayi.
Varian Priyayi
Priyayi mewakili aristokrasi Jawa. Kebanyakan mereka berdiam di kota yang disebabkan ketidakstabilan politik dalam kerajaan masa pra-kolonial, karena filsafat mereka yang melihat ke dalam yang lebih menghargai prestasi mistik daripada keterampilan politik, upaya Belanda merangkul petani. Mereka adalah birokrat, klerk/juru tulis, guru bangsawan yang makan gaji. Priyayi asalnya adalah keturunan raja-raja besar Jawa yang tersisa merupakan hasil dari kehidupan kota selama hampir 16 abad., namun berkembang oleh campur tangan Belanda kepada kelompok instrumen administrasi pemerintahan.
Priyayi memandang dunia ini dengan konsep alus dan kasar. Alus menunjuk pada murni, berbudi halus, tingkah laku yang halus, sopan, indah, lembut, beradab dan ramah. Simbolnya adalah tradisi kromo-inggil, kain bagus yang alus, musik alus. Dan konsep alus ini bisa menunjuk apa saja yang semakna dengan alus. Lawan dari alus adalah kasar dan merupakan kebalikan dari alus, bahasa kasar, tingkah laku kasar. Konteks priyayi bertemu dengan abangan dalam hal alus dan kasar. Sementara titik kehidupan “keagamaan� priyayi berpusat etiket, seni dan mistik. Yang menggabungkan unsur ketiganya adalah rasa.
Ada empat prinsip pokok yang menjiwai etiket priyayi yakni bentuk yang sesuai untuk pangkat yang tepat, ketidak langsungan, kepura-puraan, dan menghindari perbuatan yang ngawur atau tak menguasai diri. Ada banyak cara yang ditunjukkan oleh priyayi untuk menunjukkan sesuatu namun tetap berpegang pada prinsip tadi. Hal ini yang mengesankan priyayi adalah kaku, bertingkat dan formal.
Priyayi menganggap bahwa wayang, gamelan, lakon, joged, tembang dan batik adalah perwujudan kesenian yang alus. Berbeda halnya dengan ludrug, kledek, jaranan, dan dongeng sebagai kesenian yang kasar. Dan kesenian itu mengekspresikan nilai-nilai priyayi. Tidak mungkin bagi priyayi Mojokuto (camat misalnya) mengundang ludrug untuk pesta pernikahan anaknya.
Pandangan dunia priyayi terhadap aspek religius disebut dengan mistik. Mistik yang dimaksud adalah serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan batin orang yang didasarkan pada analisa intelektual atau pengalaman. Tujuan pencarian mistik adalah pengetahuan tentang rasa dan itu harus dialami oleh priyayi. Ritual yang dilakukan adalah bentuk tapa dan semedi dalam keadaan ngesti (menyatukan semua kekuatan individu dan mengarahkannya langsung pada tujuan tunggal, memusatkan kemampuan psikologis dan fisiknya ke arah satu tujuan yang sempit (hal. 430).
Sekte-sekte mistik Mojokuto dalam bentuknya yang formal mengambil anggota dari pejabat (wedana), aparat (mantri polisi), penilik sekolah, juru gambar dan sejenisnya dari kalangan priyayi.
Konflik dan Integrasi
Agama tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial tapi juga peranan memecah masyarakat. Dengan demikian ketiga varian agama Jawa di Mojokuto itu mempunyai peranan yang saling kontradiksi. Geertz menyimpulkan (hal. 476-477):
1.Ada banyak antagonisme diantara para pemeluk berbagai orientasi keagamaan; dan antagonisme ini mungkin sedang meningkat
2.sekalipun ada perbedaan antagonisme, semua/hampir semua orang Jawa memegang nilai-nilai yang sama yang cenderung melawan efek memecah dari penafsiran-penafsiran yang berbeda thd nilai-nilai ini. Lagipula, ada berbagai mekanisme sosial yang cenderung mencegah konflik nilai mempunyai akibat-akibat yang mengganggu.
3.faktor yang mempertajam konflik:
* konflik ideologis yang hakiki karena ketidak senangan terhadap nilai-nilai kelompok lain.
* Sistim stratifikasi sosial yang berubah dan mobilitas status yang cenderung untuk memaksakan adanya kontak diantara individu-individu dan kelompok-kelompok yang secara sosial dulunya sedikit terpisah
* Perjuangan untuk kekuasaan politik yang makin meningkat secara tajam untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan pemerintiah kolonial yang cenderung untuk menyuburkan perbedaan-perbedaan agama dengan kepentingan politik
* Kebutuhan akan kambing hitam untuk memusatkan ketegangan yang dibangkitkan oleh perubahan sistim sosial yang cepat
Hal-hal yang meredakan konflik antara lain termasuk:
* Perasaan berkebudayaan satu, termasuk makin pentingnya nasionalisme, yang menitikberatkan pada kesamaan yang dipunyai orang Jawa (atau bangsa Indonesia) ketimbang pada perbedaannya
* Kenyataan bahwa pola-pola keagamaan tidak terwujud secara langsung dalam bentuk-bentuk sosial, secara murni dan sederhana, melainkan dalam banyak cara yang berliku-liku, hingga janji keagamaan dan janji-janji lainnya –kepada kelas, tetangga, dsb- cenderung untuk seimbang, dan berbagai individu dan kelompok “tipe campuran� timbul, yang bias memanikan perantara.
* Toleransi umum yang didasrkan atas suatu “relatifisme kontekstual� yang menganggap nilai-nilai tertentu memang sesuai dengan konteksnya dan dengan demikian memperkecil “misionisasi�.
* Pertumbuhan mekanisme sosial yang tetap untuk bentuk-bentuk integrasi sosial yang pluralistic dan nonsinkretis dimana orang yang berasal dari berbagai pandangan sosial dan nilai dasar yang berbeda dapat bergaul dengan cukup baik satu sama lain dan menjaga agar masyarakat tetap berfungsi.
Ketegangan sosial antara ketiga varian itu adalah priyayi dan santri tidak sepakat dalam banyak hal, dan kebencian petani terhadap aristokarasi yang memerintah yang eksploitatif dan pedagang santri kota sudah berlangsung lama. Sementara ketegangan ideology abangan dengan priyayi diungkapkan lebih halus dibanding keduanya dengan santri. Untuk konflik kelas terjadi antara priyayi dengan abangan dengan tuduhan “orang desa�. Stratifikasi sosial masa setelah revolusi ini tidak sekaku masa kolonial dimana abangan dapat meraih status yang lebih tinggi karena prestasinya sudah terjadi dan karena abangan sudah lebih terorganisir.
Faktor yang mengintegrasi diilhami adanya keyakinan semua varian tentang ide kerukunan dan memakai simbol slametan, kepercayaan yang berbeda adalah relativ (tidak memaksa jika tidak cocog), saling kecocokan (cocog) diantara mereka jika dibandingkan dengan orang Cina atau Eropa, adanya nasionalisme dan proyeksi kebudayaan bersama yang baru, tidak selalu liniernya perubahan sistim tiap varian, adanya toleransi dan integrasi sosial yang pluralistic, munculnya hari-hari besar nasional dan hari 1 Mei dan 17 Agustus, dan faktor pemersatu yang menghilangkan semua perbedaan ketiga varian karena ketiganya merasa memiliki faktor itu adalah Riyaya. Yakni hari besar Jawa (dan Indonesia) akhir libur puasa.
Penutup
Membaca laporan Geertz nampak adanya pertautan yang kuat antar setiap varian. Mungkin hal ini terkait kompleksitas individu dalam kelompok dan tidak adanya komunitas yang benar-benar terpisah yang mewakili varian itu. Ditemukan misalnya orang abangan yang santri, begitu juga santri yang priyayi dan abangan yang priyayi, juga misalnya ada dukun abangan, dukun priyayi. Kemampuannya mengungkap secara detail objek yang dikaji, di samping orisilitas temuannya menjadikan kekuatan laporan penelitian Geertz ini. Di tangan dialah teori trikotominya bermula.
(Disampaikan oleh Daniel Zuchron dalam Diskusi Bulanan Staf PP. LAKPESDAM NU, 30 Mei 2006 di Gedung Perpustakaan PBNU
http://www.lakpesdam.or.id/index.php?id=82
Leave a respond
Posting Komentar