1 Juni Hari Kesaktian Pancasila

PIDATO PRESIDEN
[01 Juni 2006]

"Dalam deskripsi singkat ini, saya ingin mengikuti jalan pikiran Bung Karno pada 1 Juni 1945. Karena menurut saya, masih tetap relevan dan juga masih tetap menjadi kerangka dan sumber inspirasi dan solusi menghadapi permasalahan kebangsaan dewasaini. Pertama, mari kita bicara kembali tentang kebangsaan Indonesia atau nasionalisme, dan internasionalisme atau peri kemanusiaan ", Presiden Susilo Bambang yudhoyono pidato 1 juni 2006.



Saudara-saudara,

Hari ini, di tempat ini, pada hari yang bersejarah ini, saya akan menyampaikan bagian kedua dari pidato saya. Pandangan dan ajakan saya kepada seluruh rakyat Indonesia dalam kaitan itu semua, dengan topik “Menata Kembali Kerangka Kehidupan Bernegara Berdasarkan Pancasila ”.

Ada dua hal yang ingin saya sampaikan, berkaitan dengan tema besar ini: Pertama, mari sejenak kita lakukan refleksi Pancasila dan pikiran-pikiran besar para Pendiri Republik. Yang kedua, mari kita identifikasi tantangan-tantangan ideologis terhadap Pancasila, masa kini dan masa depan, serta bagaimana Pancasila dan kebangsaan kita, atau nasionalisme kita, menjawab semuanya itu.

Saya mulai dari yang pertama. Kita semua mengenal dan mengetahui bahwa Pancasila adalah ideologi nasional bangsa Indonesia. Dasar Negara Republik Indonesia. Falsafah bangsa: welthanchaung. Pandangan hidup bangsa (way of life). Jati diri bangsa. Perekat dan pemersatu bangsa. Saya tidak menguraikan itu semua, karena perjalanan sejarah bangsa ini, perjalanan kehidupan kita, sama-sama kita kenal dan rasakan.

Untuk menjadi catatan kita, pada tahun 1998, awal reformasi, awal perubahan besar di negeri ini, Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia telah mengeluarkan TAP MPR RI nomor 18/MPR/1998 yang mencabut TAP MPR nomor 2/MPR/1978 tentang P4. tetapi, sekaligus secara eksplisit menetapkan Pancasila sebagai Dasar Negara. Dengan demikian, marilah kita sudahi perdebatan anak bangsa tentang Pancasila sebagai Dasar Negara.

Mari, sebagaimana saya sampaikan tadi, sejenak kita melakukan refleksi kesejarahan. Pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 dan pikiran para founding fathers yang lain. Ketika para Pendiri Republik itu berdialog, berdebat dan akhirnya berkonsensus, bagaimana negara ini di bangun menuju masa depannya.

Saya ingin mengambil intisari dan menyampaikan esensi dari Pancasila. Saya kaitkan sekaligus dengan isu aktual masa kini. Saya tidak bermaksud untuk mendeskripsikan Pancasila secara panjang dan lebar, dan Pancasila bukan untuk diperlakukan seperti itu.
Yang ingin saya sampaikan adalah, pertama ada wacana yang hangat sekarang ini menyangkut hubungan nasionalisme dan internasionalisme, atau globalisasi. Pancasila, 1 Juni 1945, telah mengangkat, memberikan kerangka solusi menyangkut masalah itu.

Yang kedua, hubungan demokrasi, demokrasi yang tengah mekar sekarang ini, dengan kesejahteraan dan keadilan sosial. Ada pertanyaan besar, bagaimana bangsa ini misalnya menyikapi paham global yang kian meluas sekarang ini, yang disebut dengan open market democracy.

Dan yang ketiga, sesuatu yang sangat penting dan dalam urutan Pancasila justru kita sepakati menjadi sila yang pertama, yaitu bagaimana hubungan antara negara dan agama, atau makna tentang Ketuhanan, dan bagaimana agama harus dijalankan oleh pemeluk-pemeluknya.

Saudara, kita ingat bahwa negara yang kita dirikan adalah negara yang berKetuhanan. Atas dasar itulah rumusan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dimulai dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam deskripsi singkat ini, saya ingin mengikuti jalan pikiran Bung Karno pada 1 Juni 1945. Karena menurut saya, masih tetap relevan dan juga masih tetap menjadi kerangka dan sumber inspirasi dan solusi menghadapi permasalahan kebangsaan dewasa ini. Pertama, mari kita bicara kembali tentang kebangsaan Indonesia atau nasionalisme, dan internasionalisme atau peri kemanusiaan.

Saya mengangkat butir-butir yang sangat substantif, kaya makna, filosofis, tapi juga aplikatif dari pidato 1 Juni itu. Pertama, disebutkan di situ, kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia, negara nasional, nation state. Kebangsaan itu, lebih lanjut dikatakan, kebangsaan Indonesia yang bulat, bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Kalimantan, bukan kebangsaan Sulawesi dan lain-lain.

Oleh karena itu, dalam perkembangannya, dalam alam reformasi ini, untuk kepentingan yang benar, kita melakukan desentralisasi dan otonomi daerah. Tapi pahami betul, proses yang penting itu tidak boleh menggoyangkan sendi-sendi NKRI, sendi-sendi kebangsaan, karena bisa mengoyakkan kerangka bernegara kita.
Desentralisasi dan otonomi daerah pilihan, ketika di masa lalu terasa pembangunan ini kurang merata, kurang adil, sentralistik dan konsentrik, kita bedah, kita lakukan pemberdayaan dan kita perbaiki sistem Pemerintahan seperti ini. Namun sekali lagi, jangan sampai ikatan kesukuan, ikatan keagamaan, ikatan etnis, ikatan kedaerahan dan lain-lain menabrak ikatan kebangsaan yang harus kokoh kita pertahankan.

Dikatakan di situ, nasionalisme kita, bukan Chauvinisme dan bukan kebangsaan yang menyendiri. Bung Karno mengatakan, nasionalisme kita adalah nasionalisme yang menuju pada kekeluargaan bangsa-bangsa, menuju persatuan dunia, menuju persaudaraan dunia. Mengapa harus berdebat kita, tentang ini. Ingat kata-kata beliau, internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berpijak dalam buminya nasionalisme, tidak berakar, dalam dunia nasionalisme. Sebaliknya, nasionalisme tidak akan hidup subur, jika tidak berada dalam taman sarinya internasionalisme.

Oleh karena itu, secara cerdas Presiden Pertama kita menyatukan nasionalisme dengan internasionalisme menjadi satu terminologi, sosio-nasionalisme. Tetapi ingat saudara-saudara, internasionalisme tidak boleh dimaknai sebagai kosmopolitisme. Pandangan itu tidak cocok dengan kita, karena kosmopolitisme menolak adanya kebangsaan. Tidak mengakui identitas kebangsaan.

Sekarang ada pertanyaan kritis, bagaimana hubungan antara ikatan-ikatan yang serba global dengan ikatan yang serba nasional. Misalnya, ada ikatan ke-Islam-an dunia. Penting. Tetapi tentu tetap ada ikatan kebangsaan Indonesia. Ada ikatan ke-Kristen-an dunia. Barangkali satu realitas, tetapi tetap ada ikatan kebangsaan Indonesia. Ikatan ke-Tionghoa-an Indonesia, diaspora Tionghoa yang kuat, tetapi tetap ada ikatan kebangsaan Indonesia. Dalam perkembangan hak-hak azasi manusia, demokrasi pada tingkat global, ada ikatan-ikatan komponen bangsa kita dengan organisasi internasional dalam hak azasi manusia dan demokratisasi. Tapi tetaplah ada ikatan kebangsaan Indonesia.

Kita bertanya, tidakkah absurd, tidakkah ketinggalan, kalau kita bicara nasionalisme dalam dunia yang berubah ini?. Tidak. Nasionalisme yang positif, bukan narrow nationalism, tetap perlu. Andaikan masyarakat global ini sebuah perkampungan dunia, tetap kita memerlukan rumah, rumah sendiri. Rumah itulah nasionalisme kita.

Saudara-saudara,

Dua berikutnya, tentang mufakat atau demokrasi, dengan kesejahteraan sosial. Mari kita ingat kembali, semboyan kita saudara-saudara. Semua untuk semua. Semua untuk satu, satu untuk semua. Sama artinya, “semua untuk semua”. Disitu dijelaskan, 1 Juni 1945, bahwa kita menuju ke kesejahteraan bersama, bukan kesejahteraan masing-masing. Oleh karena itu, kapitalisme, terlebih fundamentalisme kapitalisme yang tidak berwajah dan bernafaskan keadilan sosial, tidak akan menghadirkan keadilan yang sejati. Dan itu bukan pilihan bagi bangsa kita.

Kita bercita-cita, 1945 waktu itu, baca pidato 1 Juni, tidak ada kemiskinan dalam Indonesia merdeka. Oleh karena itu, kalau kita ingin mengaktualisasikan, merevitalisasikan nilai instrinsik nasionalisme, barangkali ada definisi yang mudah. Nasionalisme masa kini adalah membebaskan Indonesia dari kemiskinan dan keterbelakangan. Nasionalisme, kebanggaan kepada bangsa sendiri, harkatnya, martabatnya, kemuliaannya, itu dapat tercapai, Jika bangsa kita tidak lagi banyak yang miskin dan terbelakang. Itulah sesungguhnya salah satu aktualisasi dari nasionalisme masa kini.

Dikatakan di situ, demokrasi tidak akan hidup subur, tanpa kesejahteraan dan keadilan sosial. Jangan kita mengabsolutkan dan mendewakan demokrasi. Demokrasi itu sendiri harus bergandengan, tidak boleh jalan sendiri, dan mesti hidup bersama-sama dengan peningkatan kesejahteraan rakyat dan peningkatan keadilan sosial. Mari kita pahami betul ini. Di desa-desa, di kecamatan, di kabupaten, dan secara nasional, pikiran para pemimpin, para tokoh, saudara-saudara semua, satukan itu demokrasi yang makin mekar, dengan hadirnya keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat yang makin baik. Di situ letaknya.

Ketiga, yang sangat penting adalah tentang Ketuhanan. Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan yang kita anut, Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan, begitu kata-kata dalam pidato 1 Juni, yang hormat menghormati satu sama lain. Indonesia sendiri sebagai negara adalah negara yang ber-Tuhan. Agama dijalankan dengan cara yang berkeadaban. Hubungan antar umat beragama, kegiatan beribadahnya, toleransinya, mesti kita kembalikan pada prinsip-prinsip dasar itu. Sebagaimana yang ada dalam pidato 1 Juni.

Itulah saudara-saudara, ruh, nafas, semangat, jiwa dan intisari dari Pancasila. Tanpa saya uraikan lebih lanjut, saya yakin saudara-saudara bisa mengaitkan dengan persoalan masa kini, serta dengan polemik dan debat atas isu-isu ideologis dewasa ini.

Hadirin sekalian yang saya muliakan,
Sampailah pada bagian akhir dari pidato politik saya, yaitu berkenaan dengan tantangan-tantangan ideologis terhadap Pancasila, masa kini dan masa depan. Pancasila sering dilihat sebagai berhadapan dengan ideologi global, dalam tanda kutip. Kita merasakan bahwa kapitalisme dan liberalisme menjadi semacam ideologi global yang menembus, mempenetrasi semua bagian dari dunia ini.

Mari kita lihat bagaimana kaitannya dengan Pancasila. Pancasila sangat jelas, yang kita bangun adalah kesejahteraan bersama dan keadilan sosial. Tetapi hidup dalam globalisasi yang sarat dengan hukum dan kaidah-kaidah kapitalisme, pasar bebas, pasar terbuka, maka tetaplah kita kokoh, tetaplah kita kuat pada pendirian, bahwa semuanya itu tetap kita abdikan untuk kesejahteraan bersama dan untuk keadilan sosial.

Bangsa yang cerdas dalam era globalisasi, bukan bangsa yang terus mengeluh, menyerah, dan marah, tetapi bangsa yang secara cerdas mampu mengalirkan sumber-sumber kesejahteraan yang tersedia di arena global itu. Apakah teknologi, apakah modal, apakah informasi, yang akhirnya kita gunakan dengan baik untuk meningkatkan kesejahteraan kita, meningkatkan kepentingan kita. Sering saya katakan, don’t be a loser, jangan mau jadi orang yang kalah. Mari kita menjadi pemenang, to be a winner dalam globalisasi ini.

Liberalisme, saudara-saudara, saya katakan berkali-kali, tidak ada kebebasan mutlak menurut paham Pancasila. Itu ada dalam Deklarasi hak azasi manusia PBB, ketentuan HAM dalam Undang-Undang Dasar 1945, dalam sila ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’. Kebebasan dibatasi apabila bertentangan dengan kebebasan yang lain, nilai-nilai moral, kesusilaan, keamanan, ketertiban dan lain-lain. Begitu bunyi Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 J.

Saya ingin mengingatkan kembali, agar kehidupan kita ini sehat, damai, rukun. Maka dalam mengekspresikan kebebasan, sandingkanlah dengan kepatuhan pada aturan hukum, dan toleransi. Ada tiga pilar, freedom atau kebebasan, rule of law atau aturan hukum, dan tolerance atau toleransi.

Isu yang lain, Pancasila dengan komunisme dan sosialisme yang sangat fundamental. Sebenarnya sudah usai debat ini. Para Pendiri Republik, sudah mencarikan solusi yang tepat, dan tidak lagi harus berperang dalam stigma ideologi seperti itu. Yang jelas, Pancasila, bangun negara kita, menghadirkan keseimbangan dan kesetaraan. Mana hak negara, mana hak masyarakat dan mana hak perseorangan. Sangat jelas, tidak boleh negara mengambil semua hak itu atas nama ideologi tertentu.

Kemudian, sama dengan kapitalisme yang sangat fundamentalistik dan tidak menyisakan wajah keadilan sosial dan humanisme, maka komunisme dan sosialisme yang sangat fundamental juga tentu tidak sesuai dengan jiwa dan semangat Pancasila. Kuncinya sekali lagi adalah kesejahteraan bersama dan keadilan sosial.

Saya ingin mengangkat satu contoh besar di negeri ini. Sudah saatnya, saya undang para ekonom, para sejarawan, para ahli filsafat, para praktisi, semua, di samping Pemerintah, anggota Parlemen dan lain-lain. Mari kita lakukan review yang sehat atas pembangunan yang kita lakukan sekarang ini. Kebijakannya, strateginya. Ingat, ekonomi bukan tujuan. Pembangunan ekonomi bukan tujuan dalam dirinya. Tujuannya adalah kesejahteraan rakyat: pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, rasa tenteram dan lain-lain. Kebutuhan dasar mereka.

Kebutuhan-kebutuhan dasar, atau kesejahteraan rakyat itu bukan hanya menunggu tetesan dari pembangunan ekonomi. Bukan hanya menjadi muara, dengan sabar menunggu. Mudah-mudahan pembangunan ekonomi menetes pada semua itu. Mari kita bangun sejak awal, sejak dini. Dalam pembangunan ekonomi pun kita letakkan sekaligus, bagaimana pemberdayaan masyarakat, bagaimana kebutuhan dasar itu menjadi sasaran-sasaran dalam pembangunan ekonomi kita sejak awal.

Sebagai contoh, kalau ekonomi tumbuh, pengangguran pasti berkurang. Teorinya begitu. Negara berkembang, negara kita, tidak cukup dengan itu. Di samping kita meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan investasi, dengan ekspor, dengan konsumsi dan pengeluaran Pemerintah, mesti ada program-program khusus yang menyerap tenaga kerja secara riil, di kabupaten-kabupaten, di provinsi, di seluruh Indonesia. Begitu cara kita menyatukan antara kepentingan kesejahteraan sosial dan kepentingan pembangunan ekonomi.

Investasi datang, dari Timur Tengah misalnya. Kemarin saya datang ke Timur Tengah, insya Allah, akan ada investasi baru ke Indonesia. Pertama-tama negara dapat apa? Pajak barangkali. Ekonomi lokal, masyarakat sekitar dapat apa? Ada community development, ada infrastruktur dasar dibangun di situ, jalan-jalan, listrik dan lain-lainnya. Orang seorang dapat apa? Pekerjaan, penghidupan sehari-hari, tidak nganggur lagi dan lain-lain. Konstruksi seperti itulah yang harus kita integrasikan dalam pembangunan ke depan nanti.

Saudara-saudara,

Mari kita bicara tentang Pancasila dan ikatan solidaritas global. Saya sudah menyinggung tadi, tapi saya ulangi sekali lagi, nilai-nilai universal, yang masyarakat global bersepakat untuk mengatakan seperti itu, yaitu demokrasi, hak asasi manusia, rule of law, open market, lingkungan atau environment dan lain-lain. Sesungguhnya, tidak perlu gamang, karena Pancasila telah mengatur. Demokrasi ada, kemanusiaan ada, tatanan hukum ada, open market sudah saya katakan, tetap berwajah keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Lingkungan menjadi kebutuhan kita. Tidak perlu ada konflik apapun, sebagaimana diingatkan oleh Bung Karno tadi, hubungan antara nasionalisme dan internasionalisme. Yang penting, yang jelek-jelek, yang menjadi ancaman dari globalisasi jangan pernah kita terima.

Peluang yang ada, kesempatan yang ada, mari kita jemput, kita alirkan ke negeri kita. Diperlukan kecerdasan dan kearifan untuk menolak yang serba ancaman, mengambil yang serba peluang. Melihat globalisasi, jangan hanya dilihat itu sebagai ancaman dan keburukan semata. Lihat sisi yang lain, ada kebaikan-kebaikan dan ada keuntungan yang mesti kita alirkan.

Yang terakhir Saudara-saudara, Pancasila, kaitannya dengan yang dinamakan sub-nasionalisme, etno-ideology, kedaerahan, kesukuan dan lain-lain. Tepat tayangan gambar tadi, Bhinneka Tunggal Ika, kemajemukan. Marilah Indonesia kita jadikan ladang yang teduh bagi bertemunya anak bangsa yang penuh dengan perbedaan, untuk kita bangun konsensus, melangkah bersama dalam kehidupan yang harmonis dan penuh toleransi. Itulah yang harus kita lakukan ke depan ini.

Dan dalam transisi ini, kita merasakan ada yang disebut gaya sentrifugal. Sentrifugal dari pusat memencar ke luar. Hiruk-pikuk, hingar-bingar reformasi 1998-1999, 2000. Barangkali, tidak sadar gerakan sentrifugal itu begitu kencang. Mungkin ada yang berlebihan dan eksesif, mari kita kelola dengan baik, dengan jernih, dengan terbuka, dengan objektif. Sekali lagi, desentralisasi dan otonomi daerah sangat-sangat penting, tapi jangan mengancam NKRI, nasionalisme dan equilibrium dalam kehidupan kita. Harmoni diantara kita semua.

Saudara-saudara yang saya cintai,

Sebagai penutup, itulah Pancasila kita, itulah nasionalisme kita, dan begitulah menurut cara pandang saya. Kita membangun kerangka bernegara ke depan serta menjawab tantangan-tantangan nasional dan global dewasa ini. Akhirnya, bagaimana kita melangkah ke depan.

Pertama, dalam upaya meletakkan dan menggunakan Pancasila untuk menata kembali kerangka kehidupan bernegara. Mari kita bangun dialog, mari kita bangun konsensus bersama, semua untuk semua. Maklumat Indonesia mengatakan tidak ada yang boleh memonopoli kebenaran. Konsensus bersama itu tetaplah dijiwai oleh semangat dan kesepakatan para Pendiri Republik, ketika dulu mendirikan negara. Itu yang pertama.

Yang kedua, dalam masa transisi yang masih akan berlangsung, kita tidak tahu kapan akhir dari reformasi besar ini. Adakah sepuluh tahun lagi usai. Apakah ini unfinished agenda? Yang penting kita kelola dengan sebaik-baiknya. Maka sebagaimana saya katakan, dalam masa transisi ada kerawanan, ada tantangan, ada ancaman. Oleh karena itu, mari kita semua, utamanya negara, dapat mengawal dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk upaya besar itu. Negara dengan kewenangannya, saya harus sampaikan ke hadapan hadirin sekalian, harus kembali menegakkan konstitusi, Undang-Undang dan aturan main yang berlaku.

Proses besar reformasi, demokratisasi dan rekonstruksi tetap harus berjalan secara damai, tanpa kekerasan, secara tertib dan stabil. Hanya dengan demikianlah, kita akan mampu menata kembali kerangka kehidupan bernegara kita yang kita cita-citakan bersama.

Terima kasih saudara-saudara atas perhatiannya. Terima kasih kepada semua penyelenggara yang memberikan kontribusi, pemakalah, semua yang bisa menghadirkan simposium yang baik , dan yang telah menyelenggarakan Peringatan Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni Tahun 2006 ini. Mari terus berjuang. Kita akan mampu menjadi bangsa yang besar dan sejahtera. Insya Allah.

Sekian.

Wassalamu ’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh





Lambang Negara Garuda Pancasila


Tanggal 1 Juni 1945, Soekarno memberikan dasar filosofi negara Indonesia yang belum merdeka. Ia menyebutkan lima dasar utama, yaitu Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang berkebudayaan atau Ketuhanan Yang Mahaesa.

Tanggal 22 Juni 1945, dirumuskan kembali menjadi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mohammad Yamin kemudian menamakan rumusan baru itu sebagai Piagam Djakarta.

Dalam sidangnya sehari setelah proklamasi, 18 Agustus 1945 PPKI memutuskan menghapus tujuh kata dalam Piagam Djakarta, yaitu mengganti rumusan “dengan berdasarkan pada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” menjadi “dengan berdasarkan pada Ketuhanan Yang Mahaesa”. Pada sidang itu PPKI sekaligus meresmikan UUD 1945 yang pembukaannya memuat rumusan resmi Pancasila yang telah diperbarui.

GARUDA PANCASILA
Karya: Sudarnoto

Garuda Pancasila
Akulah pendukungmu
Patriot proklamasi
Sedia berkorban untukmu

Pancasila dasar negara
Rakyat adil makmur sentosa
Pribadi bangsaku
Ayo maju maju
Ayo maju maju
Ayo maju maju



Saat Pancasila Digantikan Ideologi Pasar Bebas



Pengantar:
Jakarta - Pada 1 Juni 2008, Pancasila genap berusia 63 tahun sejak disampaikan Bung Karno pada 1 Juni 1945. Namun, dengan usia seperti itu, justru kondisi yang ada tidak sejalan dengan nilai Pancasila. Untuk itu, Sinar Harapan menurunkan tulisan khusus dalam rangka Hari Jadi Pancasila. Selamat membaca.

Oleh
Tutut Herlina

Sudah sepekan lebih, spanduk besar berwarna putih terlihat menonjol di beberapa sisi jalan, bersaing dengan berbagai iklan produk makanan, minuman, maupun kartu kredit. Dalam spanduk itu, gambar mantan Presiden Soekarno yang mengenakan pakaian warna putih dan kaca mata hitam disandingkan dengan putrinya Megawati Soekarnoputri yang mengenakan pakaian warna merah, seragam kebesaran Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Tepat di atas gambar kedua tokoh itu, tertulis “Gebyar Pancasila”, sedangkan di bagian bawah tergores kalimat 1 Juni 1945. Ini merupakan momentum ketika Bung Karno menyampaikan pidato tentang konsep Pancasila sebagai dasar negara di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada 1 Juni 2008, usia kelahiran Pancasila sudah 63 tahun, usia yang cukup tua.
Namun, apa yang terjadi setelah 63 tahun itu? Menurut Wartawan Senior Jusuf Ishak, saat menyampaikan usulannya dalam sidang BPUPKI 63 tahun lalu, Soekarno mengatakan, dalam Pancasila terletak mimpi Indonesia merdeka. Setelah melalui perjuangan bersenjata, mimpi Indonesia merdeka itu adalah Indonesia yang mandiri, berperikemanusiaan, dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Untuk mencapainya dibutuhkan persatuan atau Bung Karno menyebutnya gotong-royong.
Namun, setelah tahun 1965, ketika Orde Baru (Orba) berkuasa dengan Soeharto sebagai pemimpinnya, cita-cita Indonesia mandiri seperti yang ada dalam Pancasila berubah menjadi Indonesia tergantung. Sejak saat itulah, Indonesia kembali didikte asing.
Kekayaan alam yang berlimpah ruah di negeri ini kemudian lebih banyak dikelola oleh asing yang bekerja sama dengan segelintir elite politik sebagai kaki tangannya kaum imperialis. Sebaliknya, rakyat yang harus mendapatkan kesejahteraan dari kekayaan alam yang berlimpah itu hanya mendapatkan remah-remah dari kelas atas.
“Bagi saya saat ini hanya ada dua periode setelah Indonesia merdeka 1945. Pada 1945–1965, Indonesia mandiri, dan setelah 1965, Indonesia tergantung. Hasil dari kekayaan alam masuk ke kantong-kantong segelintir orang, bukan masuk ke kantong rakyat,” kata Jusuf Ishak.
Ia juga tak sependapat, mengaitkan Pancasila dengan peristiwa 1 Oktober 1965. Baginya, peristiwa itu bukanlah Kesaktian Pancasila seperti yang dinyatakan rezim Orba, tetapi justru awal mula Pancasila ditunggangi Soeharto untuk berkolaborasi dengan imperialis.
Indonesia yang tergantung itu, kata Jusuf, juga tetap identik dengan bangsa ini sekalipun reformasi sudah bergulir 10 tahun sejak 1998. Buktinya, terjadi privatisasi aset-aset negara yang sangat vital, seperti Indosat di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
Selain itu, pengelolaan sumber kekayaan semakin banyak didominasi oleh asing dengan pembagian hasil yang tidak setara bagi Indonesia. Pendidikan dan kesehatan yang menjadi kebutuhan publik justru dilepas kepada pasar. Yang paling mutakhir adalah kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menaikkan harga minyak sesuai mekanisme pasar.
“Reformasi itu tetap melahirkan reformasi yang makin tergantung. Indonesia bahkan makin terjerumus pada ketergantungan. Cita-cita mandiri makin jauh,” katanya.

Elite Tak Pancasilais
Heru Nugroho, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menambahkan Pancasila kini memang sudah tidak dijiwai lagi baik oleh elite politik maupun rakyat. Bahkan kebijakan yang dibuat oleh elite politik lebih condong pada ideologi pasar bebas, dimana kesejahteraan hanya pada segelintir orang.
“Yang paling bertanggung jawab atas hilangnya nilai Pancasila adalah elite. Rakyat tetap memiliki cita-cita keadilan dan kesejahteraan. Ini mencerminkan mereka (pemimpuin) tidak Pancasilais,” kata Heru.
Bukti konkret, penguasa tidak Pancasilais itu, kata Heru, adanya privatisasi dan tidak adanya jaminan pendidikan dan kesehatan bagi rakyat. Dalam Pancasila, alat produksi dikontrol oleh rakyat, namun yang ada saat ini, perusahaan berdiri tapi tak ada keterlibatan rakyat di sana. Di setiap pendirian pabrik, tanah milik rakyat dibebaskan. Seharusnya, ketika didirikan pabrik, rakyat ikut memiliki saham.
Heru mengatakan, kebijakan pasar bebas yang digandrungi pemerintah dan elite politik itu mengakibatkan marginalisasi rakyat secara berkepanjangan. Jika ini terus berlangsung, bukan mustahil, masyarakat akan semakin apatis terhadap semua bentuk perubahan yang dilakukan pemerintah. Malah sebaliknya, radikalisme bisa semakin meningkat.
Lantas apa yang harus diperbuat?
Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, dalam kondisi kesejahteraan yang makin jauh, nilai-nilai Pancasila saat ini harus ditegakkan kembali. Nilai Pancasila yang paling utama itu adalah persatuan. Dengan demikian, negara harus mulai memberikan kebebasan bagi anak bangsa untuk mengapresisasikan pendirian politiknya.
Kalaupun nasakom tidak dikehendaki, pemerintah seharusnya tidak alergi dengan nasional agama dan sosialisme. Terlebih lagi, Soekarno sudah membuat konsep sosialisme yang sesuai dengan nilai-nilai di negeri ini dengan dasar gotong royong.
“Sosialisme itu tetap diperlukan, karena hanya teori inilah yang hanya bisa menjadi pisau analisa untuk merontokan kapitalisme. Nasionalisme maupun agama tanpa sosialisme tetap tidak bisa jalan, karena hanya sosialisme yang memberikan konsep nyata mengenai tatanan masyarakat,” paparnya.

Persatuan
Meskipun ada persatuan, Jusuf Ishak mengatakan persatuan itu tidak boleh dilakukan dengan status quo. Alasannya, status quo merupakan pihak yang mewakili imperialisme dan kapitalisme. Secara otomatis, mereka pun juga tidak bisa bersatu karena persatuan itu justru ditujukan untuk melikuidasi kekuatan reaksioner
Persatuan yang dibutuhkan saat ini adalah persatuan diantara elemen pembaruan yang diwakili oleh para pemuda. Namun, untuk menuju ke tahap itu, pemuda harus terlebih dahulu membenarkan cara berpikirnya.
Cara berpikir itu tidak boleh ilusif (mengawang-awang), tetapi harus berdasarkan realitas yang ada, dan secara nyata mengenali musuh bersamanya. Musuh itu bukan hanya person melainkan sistem yang secara otoriter anti perikemanusiaan dan kesejahteraan rakyat.
“Saat ini perubahan tidak ada bukan karena status quo yang kuat, tetapi elemen yang ada di barisan pembaruan tercerai berai. Mereka kadang bermusuhan dengan pihak yang seharusnya menjadi kawan. Permusuhan itu seharusnya diarahkan pada yang pokok, yakni kekuatan yang anti kesejahteraan. Tanpa itu, rakyat akan terus ditindas,” katanya. n

Leave a respond

Posting Komentar