Meneladani Bocah Angon



Lir-ilir tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar
Bocah angon
Penekna blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna kanggo seba mengko sore
Mumpung jembar kalangane
Mumpung padhang rembulane
Ya suraka surak iyo


Siapa tak kenal tembang Ilir-ilir? Bagi masyarakat Jawa, lagu tersebut menjadi semacam masterpiece yang tak lekang oleh waktu dan selalu diperdengarkan di setiap generasi.
Selain syahdu di telinga, syair dalam tembang Ilir-ilir juga mengandung makna kepemimpinan yang sangat mendalam, terutama dikaitkan dengan isyarat penyebaran (syiar) agama Islam pada masa awal pemerintahan Demak di Jawa Tengah.
Namun sesungguhnya bocah angon-lah yang menjadi ikon tersendiri dalam lagu ini. Jika kita memperhatikan bocah angon, maka didapati bahwa sang penggembala mesti berada di belakang hewan-hewan, domba atau kambing, sapi atau kerbau dan bebek, yang digembalakannya.
Lantas bagaimana jika posisi tersebut kita ubah. Sang penggembala berada di depan, sedangkan binatang gembalaan yang digembalakannya berada di belakang? Itulah isyarat bahwa sang penggemabla benar-benar memerankan tut wuri handayani terhadap yang digembalakannya.
Begitulah, dalam filosofi kepemimpinan bocah angon, pemimpin yang sejati ternyata selalu berada di belakang. Artinya, ini benar-benar menyangkut tentang rasa ngemong (menemani) sesama umat Tuhan. Pemimpin yang demikian itu sudah bisa dikatakan menyelami kehidupan msayarakat secara mendalam (nyegara, nyamodra). Bisa bergaul dengan siapa pun saja tanpa memnbeda-bedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Semua orang ditemani dan disayangi, tak membedakan antara orang-oarang yang baik maupun orang-orang yang masih berada di lembah hitam. Meski demikian, sang pemimpin sejati sama sekali tidak merasa tergoda hatinya hingga larut dalam kejahatan atau keburukan perilaku orang-orang yang masih belum baik. Itulah teknik atau metode yang fleksibel dan moderat, sehingga bisa berdakwah secara persuasif.
Pemimpin yang berada di belakang, dalam bocah angon, bukan berarti sebagai pemimpin yang ketika menghadapi peperangan lantas berada di barisan paling belakang. Ketika itu, dia justru harus berada di barisan terdepan untuk memberikan teladan kepada anak buahnya di belakangnya.
Pemimpin berada di belakang. Itu artinya, misalnya, jika giliran makan tiba, maka sang pemimpin tadi dengan rela hati berani makan paling akhir. Tidak lantas makan dengan cepat tanpa mempedulikan anak buahnya; jangan-jangan nanti ada salah satu atau beberapa orang anak buahnya yang belum mendapat bagian jatah makan. Apalagi konsep bocah angon tadi tidak sebatas dikembangkan dalam wacana saja, melainkan juga diaplikasikan secara konkret dalam kehidupan sehari-hari. Maka hasilnya akan lebih pesat lagi.
Begitu pula yang dialami oleh Nabi Muhammad saw. Pada masa kecil dulu juga penggembala domba. Pengalaman itu juga menunjukkan bahwa nabi Allah pun tidak merasa takut dalam menempuh kesulitan, lara lapa, tirakat, prihatin, atau riyadhah. Dalam kehidupan sehari-hari Nabi saw tidak mendapatkan jatah makanan lantaran sudah diberikan kepada orang lain, sehingga beliau merasakan sangat lapar. Begitu pula Rasulullah jika saat makan bersama-sama para sahabat, beliau selalu makan yang terakhir kali, bukannya malah mendahului.
Dalam khasanah Kejawen ada ungkapan dari Ki Hajar Dewantara yang bermuatan simbolik tentang kepemimpian, yakni ing ngarsa sung tuladha (di depan memberikan teladan), ing madya mangun karsa (di tengah diharapkan memberikan ide atau gagasan agar keadaan menjadi lebih maju, dan tut wuri handayani (yang dibelakang mendukung terhadap program yang telah ditetapkan).
Secara syariat, konteks ing ngarsa sung tuladha seolah-olah mengarah pada peranan sang pemimpin yang diharapkan mampu memberikan teladan kepada rakyat kecil. Misalnya, dalam kondisi krisis seperti sekarang ini hendaknya para pejabat tidak menghambur-hamburkan uang negara maupun pribadi, sebab akibatnya kurang positif. Sedangkan ing madya mangun karsa identik dengan pejabat di level menengah yang diharapkan mampu menuangkan gagasan dan ide baru sesuai dengan aspirasi masyarakat untuk dijadikan program positif. Dan dalam tut wuri handayani merupakan sikap dari rakyat kebanyakan. Rakyat itu bisa bermakna bawahan sekaligus sebagai atasan pejabat. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah rakyat sebagai bawahan yang diharapkan tunduk patuh dalam mendukung dan melaksanakan kebijaksanaan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Beberapa dasar pijakan filosofi kepemimpinan bocah angon tersebut sesungguhnya bertujuan untuk menemukan kebenaran nilai-nilai yang sejati. Sebab sebagai pemimpin tugasnya memang berat dalam mengemban amanat rakyat. Di dunia dan di akhirat pun akan diminta pertanggungjawabam oleh Tuhan. (atm)

http://harianjoglosemar.com/index.php?option=com_content&task=view&id=6129

Leave a respond

Posting Komentar