Kesultana Demak



Kesultanan Demak, adalah kerajaan Islam pertama di Jawa yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478. Raden Patah (bergelar Alam Akbar Al Fattah) adalah putra Raja Majapahit Brawijaya, dengan ibu keturunan Champa (daerah yang sekarang adalah perbatasan Kamboja dan Vietnam). (http://en.wikipedia.org/wiki/Champa)

Pada awal abad keempat-belas, Kaisar Yan Lu dari dynasti Ming mengirimkan seorang Putri kepada Brawijaya dikerajaan Majapahit sebagai tanda persahabatan kedua negara. Putri yang cantik-jelita dan pintar ini segera mendapatkan tempat istimewa dihati Raja. Raja Brawijaya sangat tunduk pada semua kemauan sang puteri jelita, yang nantinya membawa banyak pertentangan dalam istana Majapahit.

Pada saat itu, Raja Brawijaya sudah memiliki permaisuri yang berasal Champa, masih
kerabat Raja Champa dan memiliki julukan Ratu Ayu Kencono Wungu. Makamnya saat ini ada di Trowulan, Mojokerto. Sang permaisuri memiliki ketidak cocokan dengan putri pemberian Kaisar Yan Lu.

Akhirnya Raja Brawijaya dengan berat hati harus menyingkirkan Puteri cantik ini dari Majapahit. Dalam keadaan mengandung Puteri cantik itu dihibahkan oleh Raja Brawijaya kepada Adipati Palembang, Arya Sedamar. Dan disanalah Jim-Bun atau Raden Patah dilahirkan.

Dari Arya Sedamar, putri ini memiliki seorang anak laki laki. Dengan kata lain Raden Patah memiliki adik laki laki seibu, tapi berbeda ayah.

Setelah memasuki usia belasan tahun, Raden Patah, bersama adiknya, dan diantar ibunya berlayar ke Pulau Jawa untuk belajar di Ampel Denta. Raden Patah mendarat dipelabuhan Tuban sekitar tahun 1419 Masehi.

Ibunda Raden Patah setelah mangkat disemayamkan di Rembang.


Jim-Bun atau Raden Patah sempat tinggal beberapa lama di Ngampel-delta dirumah pamannya, kakak-misan ibunya, Sunan Ngampel dan juga bersama para saudagar besar muslim ketika itu.

Disana ia pula mendapat dukungan dari rekan2 utusan Kaisar Cina, Panglima Cheng Ho atau juga dikenal sebagai Dampu-awang atau Sam Poo Tai-jin. Panglima berasal dari Xin-Kiang, pengenal Islam.

Menurut catatan digoa Batu, Semarang tujuh dari sembilan para Wali-Songo adalah keluarga dan rekan Panglima Cheng-Ho yang juga beasal dari daratan China.[rujukan?]

Saat itu pengaruh Majapahit telah memudar, dan wilayahnya hanya sebagian kecil Jawa Timur. Paden Patah meninggal tahun 1518, dan digantikan oleh menantunya, Pati Unus. Pada tahun 1521, Pati Unus memimpin penyerbuan ke Malaka melawan pendudukan Portugis. Pati Unus gugur dalam pertempuran ini, dan digantikan oleh adik iparnya, Sultan Trenggana.

Cikal Bakal Demak

Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, Secara praktis wilayah - wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah - wilayah yang terbagi menjadi kadipaten - kadipaten tersebut saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Pada masa itu arus kekuasaan mengerucut pada dua adipati, yaitu Raden Patah dan Ki Ageng Pengging. Sementara Raden Patah mendapat dukungan dari Wali Sanga, Ki Ageng Pengging mendapat dukungan dari Syech Siti Jenar.


Demak di bawah Pati Unus

Artikel utama: Invasi Kesultanan Demak ke Malaka
Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Pati Unus adalah seorang raja yang memimpikan kembalinya kejayaan Majapahit melalui Demak. Visi besarnya adalah menjadikan Demak sebagai kesultanan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka. Dengan adanya Portugis di Malaka, kehancuran pelabuhan-pelabuhan Nusantara tinggal menunggu waktu.

Demak di bawah Sultan Trenggono


Sultan Trenggono berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawah Sultan Trenggono, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu Sultan Trenggono. Sultan Trenggono meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto


Kemunduran Demak

Suksesi ke tangan Sunan Prawoto tidak mulus; Sunan Prawoto ditentang oleh adik Sultan Trenggono, Pangeran Seda Lepen. Pangeran Seda Lepen terbunuh, dan akhirnya pada tahun 1561 Sunan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh suruhan Arya Penangsang, putera Pangeran Seda Lepen. Arya Penangsang kemudian menjadi penguasa tahta Demak. Suruhan Arya Penangsang juga membunuh Adipati Jepara, ini menyebabkan banyak adipati memusuhi Arya Penangsang.

Arya Penangsang akhirnya dihabisi oleh pasukan Joko Tingkir, menantu Sunan Prawoto. Joko tingkir memindahkan istana Demak ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kesultanan Pajang.



Ronggo warsito

Raden Ngabehi Rangga Warsita (Surakarta, 14 Maret 1802 - idem, 24 Desember 1873) adalah seorang pujangga besar budaya Jawa. Beliau masih berasal dari keluarga penyair keraton Surakarta yang termasyhur, yaitu keluarga Yasadipura.

Beliau menciptakan syair-syair yang masih dikenal sampai saat ini. Salah satu syair yang terkenal adalah sebuah syair yang berupa wejangan:

amenangi jaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.


Syair ini yang merupakan petikan dari Serat Kalatidha dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai berikut: menyaksikan zaman gila, serba susah dalam bertindak, ikut gila tidak akan tahan, tapi kalau tidak mengikuti (gila), tidak akan mendapatkan bagian, kelaparan pada akhirnya, namun telah menjadi kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada. Maksud dari syair ini adalah; suatu saat akan datang zaman yang penuh dengan kekacauan, kebenaran dan kejahatan sudah tidak jelas bedanya. Pada zaman itu orang yang tidak ikut berbuat jahat tidak akan kebagian rezeki(pendapatan) atau tidak akan bisa kaya. sebaik-baik orang yang berbuat jahat, masih lebih baik orang yang tetap menjalankan dan ingat terhadap aturan/hukum.

Dalam bersyair Rangga Warsita sering dibantu oleh teman karibnya, C.F. Winter sr.. Winter adalah seorang Indo keturunan Belanda yang juga seorang pakar Sastra Jawa.

RADEN Mas Ngabehi Ronggowarsito. Demikian nama salah seorang pujangga terkenal yang pernah menorehkan jejak gemilang dalam kesusastraan Jawa di abad 19. Namanya senantiasa dikenang sebagai pujangga besar yang karya-karyanya tetap abadi hingga kini.

Dari tangan pujangga asal Keraton Surakarta ini lahir berbagai karya sastra bermutu tinggi yang sarat nilai kemanusiaan. Buku-bukunya antara lain membahas falsafah, ilmu kebatinan, primbon, kisah raja, sejarah, lakon wayang, dongeng, syair, adat kesusilaan, dan sebagainya. Namun sebagian masyarakat Jawa, terutama rakyat jelata, sering mengidentikkan Ronggowarsito dengan karangan-karangan yang memadukan kesusastraan dengan ramalan yang penuh harapan, perenungan dan perjuangan.

Karya-karya besarnya yang terkenal sampai saat ini adalah Serat Kalatidha yang berisi gambaran zaman penjajahan yang disebut "zaman edan". Ada kitab Jaka Lodhang yang berisi ramalan akan datangnya zaman baik, serta Sabdatama yang berisi ramalan tentang sifat zaman makmur dan tingkah laku manusia yang tamak.

Kekaguman terhadap Ronggowarsito akan muncul saat mengunjungi Museum Radya Pustaka di Surakarta, Jawa Tengah. Di museum yang didirikan 28 Oktober 1890 ini tersimpan koleksi buku-buku Ronggowarsito yang merupakan warisan sangat berharga.

**

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0705/16/0804.htm

PUJANGGA besar Ronggowarsito dilahirkan pada 15 Maret 1802 dengan nama asli Bagus Burham. Ayahnya seorang carik Kadipaten Anom yang bernama Raden Mas Pajangswara. Ibunya Raden Ayu Pajangswara merupakan keturunan ke-9 Sultan Trenggono dari Demak.

Bakat dan keahliannya dalam bidang kesusastraan semakin terasah dengan bimbingan kakeknya Raden Tumenggung Sastronegoro. Semenjak kecil, ia dibekali ajaran Islam dan pengetahuan yang bersandar pada ajaran kejawen, Hindu, Budha, serta ilmu kebatinan.

Nasib baik mulai bersinar ketika penguasa Surakarta Pakubuwono IV menerimanya sebagai abdi dalem. Dengan ilmu yang dimilikinya, tahun 1819 ia diangkat sebagai carik (juru tulis) Kadipaten Anom dengan gelar Mas Rangga Pajang Anom.

Kemudian ia diangkat menjadi panewu carik yang tugasnya membaca, menulis, serta memperdalam ilmu kepujanggaan. Di masa itulah terbit buku pertamanya Jayengbaya yang berarti menang atas bahaya. Karangannya berupa tembang asmarandana sebanyak 250 bait yang digubah dengan sentuhan sastra indah.

Keseriusannya dalam menggeluti dunia tulis-menulis berlanjut saat ia menikahi Raden Ajeng Gombak, putri Bupati Kediri. Pada 1825 ia kembali naik pangkat menjadi kliwon Kadipaten Anom dengan gelar resmi Raden Ngabehi Ronggowarsito.

Meski menjadi pengarang keraton yang harus memunculkan keagungan dan kekuasaan sang raja, Ronggowarsito menjadi saksi zaman penjajahan yang memilukan. Oleh karena itu, karya-karyanya dipenuhi pesan moral-kebajikan yang berguna sebagai pegangan hidup.

Karangan Ronggowarsito yang membahas nasib rakyat jelata terasa menyentuh perasaan. Yang paling berkesan tentunya karangan yang memuat bayangan dan harapan tentang perubahan zaman, ketika rakyat jelata bisa tertawa bahagia karena sandang dan pangan tercukupi.

Dari situlah namanya semakin mewangi. Dengan karya-karya sastranya, Ronggowarsito diyakini sebagai pujangga yang bisa meramal masa depan. Bahwa suatu saat nanti zaman penjajahan akan berakhir dan berganti dengan zaman kemakmuran. Namun selamanya manusia harus tetap sabar, waspada, dan pasrah pada Gusti Allah.

Selain sebagai pujangga dan juru bahasa keraton, Ronggowarsito adalah guru bahasa dan sastra Jawa. Semasa hidupnya, sekira 60 buku karangan lahir dari tangannya, baik berupa hasil karya cipta sendiri maupun karangan lain yang dianggap saduran.

Menjelang akhir hayatnya, Ronggowarsito menulis buku terakhir Sabdajati yang di antaranya berisi ramalan waktu kematiannya sendiri. Buku ini pun berisi ucapan perpisahan dan permohonan pamit karena Ki Pujangga akan segera meninggalkan dunia fana ini.

Pada 24 Desember 1873, pujangga besar dari tanah Jawa itu meninggal dunia dengan tenteram. Tempat peristirahatan terakhirnya terletak di Palar, sebuah desa kecil di wilayah Klaten.

**

UNTUK menghargai segala jasanya, pemerintah memberikan penghargaan kepada Ronggowarsito. Dalam sambutannya, Presiden Indonesia waktu itu, Ir. Soekarno mengatakan, Ronggowarsito adalah pujangga rakyat yang karyanya dipahami masyarakat luas. Ia menjadi milik masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat Jawa khususnya.

Ditambahkan Bung Karno, tulisan Ronggowarsito yang berisi ramalan tentang kemerdekaan bangsa menjadi pegangan bagi rakyat Indonesia ketika menghadapi perang kemerdekaan. Rakyat selalu tabah menghadapi segala kesulitan hidup dengan keyakinan bahwa suatu saat nanti kemerdekaan bisa diraih Indonesia.

Terlepas dari kontroversi benar tidaknya sebuah ramalan, setidaknya ramalan Ronggowarsito tentang perubahan zaman dan berakhirnya penjajahan menjadi kenyataan. Setelah melalui perjuangan panjang, Indonesia berhasil meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Secara resmi pemerintah Indonesia melalui Ir. Soekarno pada 11 November 1953, memberikan penghargaan khusus dengan mendirikan sebuah patung dada Ronggowarsito yang diletakkan di halaman depan gedung Museum Radya Pustaka Surakarta.

Di museum yng bersebelahan dengan Taman Sri Wedari ini terdapat ruang perpustakaan yang menyiman buku-buku karya Ronggowarsito dan pujangga Keraton Surakarta lainnya. Sebagian masih berbentuk naskah huruf Jawa kuno, sebagian lagi telah dialihbahasakan dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Keberadaan buku-buku kuno dalam lemari kaca itu seolah memaksa kita untuk sejenak menengok masa lalu. Bukan sekadar bernostalgia, melainkan membuka ruang kesadaran agar manusia selalu mengambil hikmah dari segala kejadian di masa lalu.

Ronggowarsito boleh saja tinggal sebuah nama, namun buah pemikirannya tak pernah musnah. Dengan menembus perbedaan ruang dan waktu, banyak telaahan Ronggowarsito yang relevan di masa sekarang. Contohnya saja masalah keadilan sosial, krisis moral, kemiskinan, serta upaya menghapus "penjajahan" gaya baru di era globalisasi ini.

**

SELAIN memiliki koleksi buku kebudayaan Jawa, museum di Jln. Slamet Riyadi No. 275 ini pun memajang benda-benda peninggalan Keraton Surakarta. Di antaranya gamelan kuno, senjata pusaka, pistol, meriam, uang kuno, aneka jenis wayang, patung perunggu dll.

Adanya pajangan hadiah khusus dari Kaisar Napoleon Bonaparte kepada Pakubuwono IV menjadi daya tarik tersendiri. Demikian pula dengan sebuah kepala perahu kuno "Kiai Rajamala" yang selalu disuguhi asap dupa karena dianggap masih bertuah.***




Raden Patah

Raden Patah ialah putera kepada Brawijaya, raja Majapahit, manakala ibunya adalah keturunan Cina. Dalam pemerintahannya, baginda banyak dibantu oleh para Walisongo yang sebilanganya berkerabat melalui jurai keturunan ibunya.

Pada awal abad ke-14, Maharaja Yongle daripada Dinasti Ming menghantar seorang puteri kepada Raja Brawijaya sebagai tanda persahabatan antara kedua-dua kerajaan. Puteri yang jelita dan pintar ini segera mendapatkan tempat istimewa dalam hati Raja. Raja Brawijaya selalu mengalah kepada puteri jelita itu sehingga mengakibatkan tentangan di dalam istana Majapahit.

Pada saat itu, Raja Brawijaya sudah mempunyai permaisuri yang berasal dari Champa (di sempadan Kemboja dan Vietnam kini). Permaisuri ini merupakan kerabat Raja Champa, dengan gelaran Ratu Ayu Kencono Wungu. (Makamnya kini berada di Trowulan, Mojokerto.) Oleh sebab permaisurinya tidak suka akan puteri Cina tersebut, Raja Brawijaya dengan berat hati terpaksa menyingkirkan puteri yang cantik ini dari Majapahit. Dalam keadaan mengandung, puteri yang cantik itu dihibahkan oleh Raja Brawijaya kepada Arya Sedamar, adipati Palembang. Dan di sanalah Jim-Bun atau Raden Patah dilahirkan.

Arya Sedamar dan puteri Cina itu dikurniakan seorang anak lelaki. Dengan kata yang lain, Raden Patah mempunyai seorang adik lelaki seibu, tetapi berbeza ayahnya. Selepas mencapai usia belasan tahun, Raden Patah, bersama adiknya, dihantar oleh ibunya belayar ke Pulau Jawa untuk belajar di Ampel Denta. Raden Patah mendarat di pelabuhan Tuban pada sekitar tahun 1419. Ibu Raden Patah selepas mangkat disemayamkan di Rembang.

Raden Patah tinggal buat satu tempoh di Ngampel-delta di rumah bapa saudaranya, dan di rumah Sunan Ngampel, kakak sepupu ibunya, serta juga dengan para saudagar besar Muslim ketika itu. Di sana, beliau mendapat dukungan daripada rakan-rakan utusan maharaja Cina, Panglima Zheng He (Cheng Ho), juga dikenali sebagai Dampu-awang atau Sam Poo Tai-jin, yang berasal dari Kunyang di provinsi Yunan kini.

Raden Patah memiliki dua orang putera, iaitu Pangeran Sekar Seda Lepen dan Pangeran Trenggono, serta bermenantukan Pati Unus dan Fatahillah. Baginda mangkat pada tahun 1518, dan digantikan oleh menantunya, Pati Unus.

Leave a respond

Posting Komentar