Cibadak, Rancabadak, dan Tempat Badak Berkubang

The most exotic animal in the world  the unicorn Java RhinocerosOleh : T. Bachtiar*  
  
HASIL penelitian Stehn dan Umbgrove tahun 1929, di gawir Ci Tarum (kini terendam Danau Saguling), dilaporkan adanya fosil vertebrata besar, seperti badak, gajah, kerbau, dan rusa. R.W. van Bemmelen dan Th. H.F. Klompe, seperti yang dikutip JA. Katili menyatakan bahwa di Cekungan Bandung ada hippopotamus (kuda nil). Fosil vertebrata besar itu mati lemas terkubur material dari letusan Gunung Sunda.
Walau tinggal hanya 50 ekor lagi, badak cula tunggal (Rhinoceros sundaicus) masih tetap hidup melewati seleksi alam dan keserakahan manusia. Badak itu kini hidup alami di Taman Nasional Ujung Kulon, Provinsi Banten.
Dalam catatan orang Eropa, sampai tahun 1700-an, di Bandung juga masih terdapat badak. Masyarakat masih sering menyaksikan jejak badak, paling tidak tempat berkubangnya. Oleh karena itu, jangan heran bila banyak nama tempat yang memakai kata badak, seperti Cibadak, Rancabadak, Kawah Pangguyanganbadak, Rawabadak, Lapangan Badakputih, dan lain-lain.
Bukan hanya dijadikan nama tempat, badak pun banyak digunakan sebagai simbol yang menunjukkan kekuatan. Kata badak pun terdapat dalam perbendaharaan kata dalam bahasa Sunda, seperti: ngaladog (bermain jauh). Ladog nama lain untuk badak. Badak disebut juga gandol atau menur. Ada juga sebutan ngabadak (ngabaladah, mencangkul membuka sawah), hamperubadak, ceulibadak, letahbadak (nama tumbuhan), badakheuay (arsitektur bangunan yang tidak memakai wuwungan), heuaybadak (lubang asap di atas dapur), babadak (bambu yang diiris besar, dianyam membentuk bronjong, berguna untuk membendung sungai atau untuk menahan uruk/longsor). Atau, siga badak Cihea (seperti badak Cihea), untuk menggambarkan orang yang jalannya menyeruduk.
Bahkan, anak-anak di Pameungpeuk, Kabupaten Garut, sampai tahun 1960-an, kalau memanggil teman-temannya untuk bermain itu, pastilah dengan cara melagukan:

Rombongan A:
“Euleung, euy, euleung, barudak urang ka jami!”
“Hai teman-teman, yu kita main ke tegalan!”

Rombongan B:
Embung, euy, embung, sieun badak nu kamari!”
“Ga mau, ah, ga mau, takut badak yang kemarin!”

Rombongan A:
“Euweuh, euy, euweuh, geus ditembak ku si Jendil!”
“Ga ada, teman, sudah ditembak oleh si Jendil!”

Rombongan A jeung B:
“Dil dil long, dil, di long, si Jendil di rawu kelong!”
“Dil dil long, dil, di long, si Jendil diambil kelong!”
Saat melagukan “Dil dil long, dil, di long, si Jendil di rawu kelong!” anak-anak dari dua kelompok itu sambil pakaleng-kaleng, berjalan melingkarkan tangan di pundak kawannya, dan terus bermain. Biasanya bermainnya bukan ke lapangan, ke mana saja sesuka hatinya, apakah mandi di sungai, bermain perang-perangan di sawah dengan cara saling lempar lumpur, atau mengambil bambu seukuran telunjuk untuk main bedil-bedilan.
 Hewan bercula ini telah memengaruhi pola pikir masyarakat saat menentukan atau memilih tempat, karena tempat berkubangnya menjadi ciri suatu kawasan yang dinilai baik sebagai tempat untuk manusia. Ketika Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels ngotot untuk memindahkan ibu kota Kabupaten Bandung dari Karapyak di pinggir Ci Tarum (Dayeuhkolot sekarang) ke dekat jalan raya pos, jalan yang dibangun sejak 1809 yang menghubungkan kota-kota di Pulau Jawa dari Anyer hingga Panarukan sepanjang 1000 km. Tujuan pemindahan itu untuk memudahkan kontrol dari penjajah, sehingga tugasnya untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris dapat dikendalikan.
 Keinginannya itu ditegaskan kembali saat meresmikan jembatan Ci Kapundung di timur alun-alun sekarang. Jembatan itu diresmikan oleh Daendels yang bergelar Maarschalk, oleh masyarakat dipelesetkan menjadi Mas Galak, rajanya galak, bersama Bupati Bandung R.A. Wiranatakusumah II. Setelah berjalan melewati jembatan ke arah timur, Daendels yang sudah ingin segera memindahkan Ibu kota, lalu berhenti dan menancapkan tongkat, berkata setengah mengancam, “Coba usahakan, bila aku datang kembali, di tempat ini telah dibangun sebuah kota”. Tempat ini sekarang menjadi kilometer nol Bandung/Provinsi Jawa Barat.
 Maka secara terencana ada usaha untuk memindahkan ibu kota dari Karapyak ke sekitar jala raya pos. Patih Batulayang, Rd. Djajakusumah menulis, “Pada tahun 1809, Bupati Bandung R.A. Wiranatakusumah II beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Karapyak ke daerah sebelah utara dari bakal Ibu kota. Konon, penentuan Ibu kota Bandung pun dipilih di sekitar alun-alun saat ini karena di sana ada tempat berkubangnya badak.
 Bukan hanya itu, bagian-bagian dari tubuh badak pun dipercaya mempunyai khasiat dalam pengobatan, sehingga orang selalu berusaha untuk memburu satwa yang sudah terdesak ke pojokan Pulau Jawa di Ujung Kulon. Umumnya orang memburu badak hanya untuk diambil culanya. Tawaran dan iming-iming mendapatkan imbalan puluhan juta rupiah, telah melupakan segala risikonya, termasuk dipenjara, seperti yang terjadi pada bulan Agustus 1987 di Ujung Kulon.
 Djahari, namanya, ditemani Apid dan Sukariyah, setelah menjelajahi Ujung Kulon berhari-hari, akhirnya sampai di Blok Keusikluhur. Terlihat ada jejak badak menuju sungai. Djahari terdiam, lalu memanjatkan jampi-jampi:
 Dewi Sang Sara Ratu
Dewi Mantajaya
Maya sing ilang Satu
Ing tar ir pada sujud
Pada nyembah marina Nabi Sulaeman
Salebihan jebul putri para muti sajawa
Naon badak aprak rek dua rek tilu
Da eta nu diwudah
Jauh deukeut-deukeutkeun
Wawahna wani
Wawahna ojeg
Wawahna.

Dengan tiga kali tembakan, terkaparlah badak di pinggiran sungai itu. Peristiwa yang sama terjadi pada 1985, telah mengantarkan Djahari masuk penjara. Karena iming-iming mendapatkan uang Rp 50 juta itulah Djahari dan kawan-kawan nekat untuk memburu badak. Sebelum uang puluhan juta itu didapat, penjara mendahuluinya.
 Cula badak yang sesungguhnya merupakan kumpulan rambut yang kemudian mengeras ini, telah lama dipercaya berkhasiat, sehingga laris diperjual-belikan. Perdagangan cula badak dunia telah melampaui rasa takut manusia. Hong Kong, Singapura, Taiwan, menjadi tujuan perdagangan gelap berkuintal-kuintal cula badak.
 Cula, sesungguhnya berarti gunung. Jadi bagian kerucut yang tumbuh di kepalanya itu menyerupai gunung, menyerupai cula yang mencuat. Maka disebutlah cula badak.
*(Anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung)

1 comment

Yudi Darmawan 14 Juli 2010 pukul 08.49

terima kasih beritanya,

keren,
follow aah..

Posting Komentar